Soloensis

Durhaka, Istri Berbeda Pandangan Politiknya Dengan Suami

family-parents-living-room-scene_24877-49972
Gambar: Freepik

     Evita (bukan nama sebenarnya) adalah seorang guru sekolah dasar yang berstatus ASN di salah satu kabupaten  di Jawa Tengah yang terkenal dengan kandang salah satu partai politik terbesar di republik ini. Alhasil, pimpinan daerahpun dipegang oleh konstituen  pendukung partai politik tersebut.  Partai politik pemenang pemilu tentu saja akan menguasai lembaga-lembaga pemerintahan dan menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi opini publik.

     Proses hegemoni kekuasaan politik inipun berjalan tanpa ada protes dari masyarakat di kabupaten ini sendiri maupun dari pemerintahan di tingkat atasnya di tingkat propinsi maupun pusat. Fenomena telah membuktikan adanya hegemoni kekuasaan politik seperti yang filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik Antonio Gramsci dalilkan telah berjalan dengan sukses karena cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah  telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.

     Di kabupaten ini, kaum yang dipimpin  senantiasa tunduk  dengan kebijakan kaum yang memimpin. Apabila ada laporan masuk dari pihak tertentu,  pegawai di pemerintahan ini, baik yang berstatus  ASN maupun non-ASN akan segera mendapatkan sanksi  diluar kekuasaannya. yang tidak masuk akal seperti dimutasi ke daerah yang terpencil atau jauh dari tempat tinggal mereka bagi pegawai biasa. Apabila mereka memiliki jabatan khusus, mereka akan dicabut jabatan strukturalnya dan dipindahkan diwilayah yang  jauh dari tempat tinggal mereka. Parahnya lagi, mereka tidak diberikan tugas apapun alias non-job.

     Melihat dan mendengar praktek-praktek yang mengerikan ini, Evita yang notabene adalah seorang sarjana dan berpendidikan tinggi yang seharusnya mampu mempertahankan idialismenya pun berada dalam ketakutan yang luar biasa. Untuk mengantisipasi kejadian ini terjadi pada dirinya, Evita seringkali membatasi suaminya untuk tidak melakukan kegiatan yang bisa mengamcam eksistensi dirinya sebagai pegawai pemerintah di kabupaten ini.

     Pilkada 2020

     Dalam pemilihan kepala daerah atau yang terkenal dengan akronim pilkada  yang terjadi   empat tahun lalu contohnya. Pada pilkada tahun tersebut, salah satu calon bupati di kabupaten dimana si istri bekerja adalah teman akrab si suami ketika mereka menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas terbesar di propinsinya. Si calon bupati tersebut diusung oleh partai oposisi dari partai yang berkuasa.

     Sebagai seksi pembangunan di pengurus RT, Wahyudi, si suami, merasa bertanggung jawab penuh terhadap pembangunan balai RT yang sudah berdiri kokoh. Namun, bangunan tersebut masih dikatakan kurang layak untuk dijadikan tempat pertemuan menginggat lantainya saja belum diplester apalalagi di keramik. Jangankan keramik, balai inipun belum memiliki kusen-kusen  untuk pintu maupun cendela.

     Karena tanggung jawabnya inilah, Wahyudi akhirnya memberanikan diri untuk membuat proposal untuk diajukan kepada temannya sekaligus calon bupati yang diusung oleh partai oposisi tersebut. Mengambil kesempatan dalam kesempitan begitulah peribahasa yang tepat untuk mengambarkan apa yang si suami lakukan.

     Namun apa yang menjadi niat baik belum tentu mendapatkan respon yang positif dari pihak lain. Untuk mendapatkan bantuan finansial ini, si suami harus menjadi partisan pasif untuk kegiatan kampanye si calon bupati tersebut demi donasi yang dijanjikan. Beliau juga tidak bisa melakukan lebih dari itu menginggat Evita, si istri, juga merupakan seorang ASN di kabupaten dimana mereka tinggal.

     Ketika si calon bupati mengadakan kunjungan ke lokasi, yaitu balai Rt tersebut, tidak satupun warga yang berani mendekat. Padahal,  ada beberapa warga yang yang sepaham dengan si suami kala itu bersedia untuk mendampingi kunjungan tersebut. Namun di hari kunjungan tiba, tidak seorang warga yang berani atau bersedia untuk mendampinginya. Dengan kata lain, mereka beralasan tidak bisa hadir karena memiliki janji dengan kliennya di luar kota. Hanya si suami yang menemui calon bupati tersebut dan dilanjutkan sesi foto kunjungan. Dan foto itupun diupload  di grup media sosial pihak calon yang bersangkutan. Dengan keberaniannya mendampingi calon bupati dan melalukan sesi foto bersama, si suami mendapatkan predikat baru yaitu sebagai kader partai yang mengusung calon bupati tersebut dimata rivalnya.

     Mengetahui kondisi ini tidaklah mengurangi semangat Wahyudi untuk berjuang mempertahankan idealismenya walaupun beliau merasa harus  berjuang seorang diri. Mulai saat itu, setiap pergerakannya selalu dipantau oleh pihak tertentu.

     Mengetahui apa yang telah dilakukan oleh si suami, Evita langsung saja mengajukan keberatan apa yang telah dilakukan oleh si suami. Si istri meminta agar si suami tidak melakukan kegiatan seperti yang bisa membahayakan eksistensinya sebagai pegawai pemerintah kabupaten. Justeru inilah yang menjadi  buah pikirnya.  Begitu emosionalnya si istri, beliau meminta si suami untuk tidak melakukan kegiatan yang mencolok seperti menghadiri undangan dari calon bupati yang diusung dari partai oposisi yang notabenya  si istri juga kenal dekat dengat calon tersebut.

     Sementara dipihak suami, beliau merasa sebagai suami yang tidak diakui otoritasnya sebagai pimpinan keluarga. Si istri lebih mementingkan kesetiaanya pada atasan dari pada nasehat suami. Pasalnya, dalam ajaran yang dianut oleh keluarga ini, pimpinan keluarga adalah si suami.  Selain bertindak sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, si suami  juga bertanggung jawab mendidik anggota keluarganya untuk mengenal nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Untuk menyikapi hal tersebut, si suami akhirnya memilih untuk berdamai, yaitu bersikap moderat terhadap keinginan istri.

     Tekanan tidak hanya  berhenti dari si istri saja.  Sikap ketua RT yang kala itu hanya apatis melihat perkembangan yang ada. Hal ini berbeda dengan yang ditunjukkan oleh ketua RW yang jelas-jelas berpihak pada calon bupati yang diusung oleh partai berkuasa. Dalam kondisi seperti ini, si suami menyadari bahwa mereka adalah perpanjangan tangan birokrasi pemerintah yang terkecil dalam struktur pemerintahan di republik ini.

     Hal ini sangat terlihat jelas ketika hari Hnya pemilihan, Ketua RW tidak menyapa sama sekali ketika mereka bertemu di TPS. Padahal dalam kehidupan sosial kesehariannya, mereka sering berintereaksi satu sama lainnya. Kondisi ini tidak membuat si suami kecil hatinya. Yang ada dipikirannya adalah beliau berjuang demi warga untuk mendapatkan bantuan finansiil dalam merampungkan proyek balai RTnya.

     Konflik internal rumah tangga itupun terjadi hingga saat pemilihan kepala daerah dilaksanakan.  Dan hasil pemilu kepada daerah itupun akhirnya dimenangkan oleh si istri dari Bupati yang berkuasa dengan sekitar 56 persen total suara sementara calon bupati tersingkir mendapatkan sisanya, yaitu 46 persen. Ada yang lebih menarik dari pemilu kali ini bahwa di tingkat TPS, desa/kalurahan, dan kecamatan dimana keluarga ini dimenangkan oleh calon bupati yang diusung oleh partai oposisi.

     Dari hasil pilkada kali ini, pihak isteri masih merasa insure karena hasil perolehan hasil suara di tempat mereka tinggal mengalami kekalahan walaupun jumlah total perolehan suara telah memenangkan calon yang si istri pilih. Dalam obrolan singkat dengan suami, si isteri sempat mengutarakan kegelisahannya.” Tinggal nunggu nasib” ucapnya kepada si suami setelah menceritakan tentang nasib salah satu pejabat struktural yang dimutasi ke daerah yang jauh dari tempat tinggalnya dan menjadi guru biasa tanpa jabatan apapun. Padahal, beliau adalah guru berprestasi di tinggal nasional sebelum menjadi kepala sekolah dan diberikan jabatan struktural di tingkat kecamatan.

     Pemilihan Capres/cawapres dan pemilu 2024

     Konflik politik rumah tangganya terjadi lagi ketika pemilu 2024 berlangsung. Namun perdebatan si suami istri ini tidak sedasyat ketika pemilu kepala daerah. Si Suami yang notabene seorang ASN dan ketua RT baru terpilih beberapa bulan  tidak bisa berbuat seperti yang dia lakukan empat tahun yang lalu.

     Pertama, sebagai ASN, Si Suami sadar sesadarsadarnya bahwa sebagai seorang ASN beliau harus bersifat netral tidak berpihak dan atau berkampanye untuk salah satu partai. Terlebih, si suami juga sudah sudah menanda tangani pakta netralitas sebelum pemilu dilaksanakan.

     Sebagai ASN, si suami harus memegang teguh sumpahnya sebagai abdi negara sebagaimana diamanatkan pada UU No 5 Tahun 2014 Pasal 2 yang menjelaskan bahwa setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu. Itulah pijakan hukum dalam menentukan pandangan politiknya.  

     Alasan kedua adalah karena si suami adalah ketua RT. Sebagai orang yang dituakan dan menjadi panutan warganya, si suami tidak ingin memberikan kesan kepada warganya bahwa beliau berpihak kepada salah satu partai politik atau calon presiden tertentu. Beliau ingin menjadi seorang bapak yang tidak membeda-bedakan perhatian atau kasih sayang kepada anak-anaknya yang memiliki perbedaaan dalam banyak hal. Di ruang lingkup keluargapun, si suami memberikan kebebasan anak-anaknya untuk memilih siapapun yang penting mereka tahu dan sadar pada pilihan partai politiknya ataupun kandidat presiden yang mereka anggap mewakili idealismenya.

     Disisi lain, si suami juga menyadari bahwa posisinya sebagai ketua RT juga sangat berdekatan dengan kebijakan pimpinan daerah. Dengan kata lain, ketua RT adalah perpanjangan tangan terakhir dalam  birokrasi pemerintah kabupaten. Tidaklah mustahil, banyak ketua RT yang menjadi kader partai yang berkuasa. Pasalnya, mereka selalu berhubungan dengan program kerja pemerintah dan  mendapatkan bantuan dana  aspirasi  dari dewan yang berasal dari asal derah pemilihan setiap tahunnya.

     Pada akhirnya, ketua RT dan warganyanya secara langsung maupun tidak langsung terinformasikan siapa dan kontribuasinya terhadap lingkungan  mereka. Alhasil, warga secara umum musti akan memilih si dewan untuk menjadi wakil mereka di tingkat kabupaten daripada memilih calon lain yang belum tahu juntrungnya. Hasilnyapun dapat ditebak bahwa calon kepada daerah dari partai yang berkuasa akan dengan mudah melenggang kakung di kursi kepala daerah.

     Menyadari  posisinya sebagai  ketua RT merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah desa dan kecamatan, dan kabupaten dan sebagai ASN yang sudah mengikrarkan untuk bersifat netral dalam pemilu kali ini, Si suami lebih bersikap netral dengan memberikan kebebasan berpolitik kepada warga dan keluarganya. Kepada warganya dalam suatu pertemuan rutin setiap bulannya, si suami menandaskan kepada seluruh warga untuk bebas memilih partai politik atau calon presiden yang mereka pilih.  Satu hal yang penting adalah setelah pemilu ini berakhir, warga masih rukun dan guyub dalam melaksanakan kegiatan di  masyarakat.

     Dalam pandangan si suami berseberangan dengan sikap politiknya ketua RW, Danang (nama samaran) bertindak kapasitasnya sebagai Ketua RW, beliau sangat menyolok memihak salah satu partai dan bahkan menjadi tim sukses calon presiden tertentu yang diusung oleh partai berkuasa. Dimata atasannya, beliau memiliki ethos kerja yang tidak diragukan lagi dalam mengalang perolehan suara. Namun di pihak akar rumput, termasuk penilaian si suami ini, beliau bertindak kurang dewasa mengingat beliau adalah sosok seorang bapak bagi warga tiga RT yang berada dibawah kekuasaannya.

     Praktek-praktek yang dilakukan oleh ketua RW ini akan membuat dikotomi-dikotomi dalam warga masyarakat yang tinggal di kompleks perumahan ini  dan akhirnya mereka tidak bisa hidup rukun dan guyup di dalam masyarakat yang heterogen secara sosial, ekonomi, etnis,  dan tingkat pendidikannya. Masyarakat di perumahan cenderung memiliki heteroginitas yang relatif tinggi dari pada masyarakat yang tinggal di perkampungan.

     Dalam pandangan si suami juga, kehidupan bermasyarakat di RT dimana ketua RW bertempat tinggal tidak menunjukkan kehidupan sosial yang sehat karena banyaknya kelompok kelompok warga yang tidak saling mendukung. Akibatnya, kegiatan-kegiatan kemasyarakatn di RT ini kurang berjalan dengan semestinya. Disisi lain, di RT ini memiliki catatan kas keuangan ini relatif tinggi dibanding denga dua RT lainnya.

     Berbeda dengan si istri, secara politis, dia tidak bisa terlepas dari anjuran para pemegang kekuasaan saat ini. Dia berkeyakinan bahwa beliau bisa berkontribusi secara finansial pada kelangsung rumah tangganya  selama ini adalah karena  karena gaji yang dia terima dari pemerintah. Pemerintah menurutnya adalah bupati yang berkuasa saat ini. Mau tidak mau, si istri harus setia dan taat pada keputusan dari pimpinannya. Karena pandangan ini, si suami pernah memberikan pernyataan sindiran kepada si istri bahwa apakah dia juga akan berhenti jadi ASN apabila calon yang dia usung mengalami kekalahan dalam pemilu mendatang? 

     Hal ini berbeda dengan sikap salah satu warga yang militan terhadap salah partai. Berdasarkan hasil pemilu di pileg dan pilpres di tahun tahun sebelumnya yang selalu unggul dalam perolehan suara, Trisno (nama samaran) berkeyakinan bahwa pemilu kali ini juga akan berakhir sama dengan dua pemilu sebelumnya, yaitu partai yang dia usung akan mendulang emas. Dengan sedikit arogan dan didukung oleh ketua RW, beliau dengan terus terang telah berani mengawasi pergerakan warga lainnya dan berkeyakinan penuh akan memenangkan pesta demokrasi kali ini.

     Karena memiliki pandangan politik yang berbeda, akhirnya sepasang suami istri inipun membuat kesepakatan bersama yaitu berjalan dengan pandangan politik mereka sendiri-sendiri. Satu hal yang si istri minta dengan sangat adalah bahwa si suami tidak boleh terlihat mengkanpanyekan salah satu partai yang dia dukung termasuk kepada anak anaknya. Ketakutan si istri sangat bisa masuk akal karena dia menganggap bahwa si suami masih seperti berperilaku seperti pemilu kepala daerah empat tahun yang lalu.

     Pasalnya, terciumnya si suami apabila berpihak pada salah satu partai bisa  menjadi komoditas yang mengiurkan bagi  kader partai yang berkuasa untuk  membuat laporan merah tentangnya. Apalagi kalau perolehan suara dari partainya mengalami penurunan atau kalah dalam pemilu kali ini. Alhasil, si istri akan mendapatkan sanksi seperti para pendahulunya walaupun dia sudah setia dan taat pada atasannya. Tetapi karena adanya salah satu anggota keluarga yang  kedapatan berbeda pandangan, si istripun akan terkena getahnya juga.

     Waktu berlalu dan hari pemunggutan suarapun tiba. Masyarakat datang ke TPS masing masing dengan antusias. Para petugas TPS nampak sibuk dan kecapekan karena mereka harus mensetting tempat dan mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan di hari sebelumnya. Ditambah lagi, mereka harus mengecek jumlah kartu suara sesuai dengan jumlah pemilih dan pernak pernik yang dibutuhkan dalam proses penghitungan suara. Pukul 7 tepat, sudah ada sebagian pemilih sudah hadir di TPS, mereka harus mengambil sumpah untuk bekerja profesional, jujur, dan adil di hadapan pemilih yang hadir dan baru melakukan perhitungan kartu suara. Setelah selesai perhitungan kartu itu, para pemilih sudah mulai dipersilahkan untuk melakukan pencoblosan dan akan diakhiri pukul 13.00.

     Perhitungan suarapun dimulai pukul 15.00 dihadapan saksi-saksi partai yang mengirimkan. Penghitungan calon presiden dilakukan pertama kali, disusul dengan calon legislatif pusat, Dewan Perwakilan Daerah, calon legislatif propinsi, dan terakhir adalah calon legislatif kabuapaten/kota. Namun yang menjadi pusat perhatian masyarakat luas adalah hasil pemungutan suara calon presiden dan calon legislatif kabupaten/kota.

     Setelah dilakukan perhitungan suara untuk calon preseiden, hasilnyapun sangat diluar dugaan. Dalam perhitungan sementara secara nasional, calon presiden yang diusung oleh partai berkuasa hanya meraup sekitar 17 persen dari total suara. Hal ini juga banyak terjadi di daerah pemilihan yang notabenenya adalah kantong suara dari partai yang berkuasa seperti di daerah sepasang suami istri ini tinggal. Sementara itu, calon presiden yang memenangkan pemilu kali ini meraup sekitar 56 persen dari totol suara dan sisa suara untuk calon presiden lainnya. Namun demikian, perolehan suara untuk partai berkuasa masih mendominasi walaupun mengalami penurunan secara umum.

     Sambil makan malam dan mengobrol secara santai suami istri ini dengan ditemani ketiga anaknya membicarakan hasil pemilu tahun 2024 dalam suasana yang damai.  Dalam akhir percakapan, si istri mengungkapkan bahwa menang atau kalah bukan masalah baginya. Yang terpenting dia sudah menjalankan amanat yang diberikan atasannya dengan taat dan bertanggung jawab. Sebagai suami yang baik, beliau tidak memprovokasi amarah si istri tentang hasil pemilu itu. Contohnya:  “Apakah kamu akan berhenti jadi ASN apabila calon yang kamu pilih kalah?”

     Hal senada juga dirasakan oleh si suami bahwa menang atau kalah partai yang diusung beliau juga harus bekerja seperti biasanya tanpa mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Life still goes on!. Dalam hal ini, Wahyudi memiliki pandangan politik yang berbeda dengan khayalak umum semenjak dia remaja. Beliau akan cenderung memilih partai oposisi untuk mengimbangi partai berkuasa. Pasalnya, partai yang berkuasa akan cenderung korup dan absolut dalam menentukan kebijakannya apabila pendukungnya mayoritas.

     Apa yang dilakukan oleh Danang sebagai ketua RW atau Trisno setelah melihat hasil pemilu itu. Di satu sisi, mereka jelas terpukul telak karena calon presiden yang mereka pikir akan melenggang dengan mulus di kursi kepresidenan ternyata justeru berada pada posisi juru kunci dalam perolehan hasil suara. Disisi lain, calon legislatif kabupaten yang mereka usung menuai kemenangan  mayoritas di TPS daerah pemilihannya.

     Ibarat pasukan perang, ketua RW telah bekerja dengan totalitas sebagai avant garde. Danang sebagai manusia biasa pun mesti merasa kecewa dengan hasil tersebut. Begitu pula apa yang dirasakan oleh Trisno. Untuk meratapi kekalahan tersebut, beliau harus rela berminggu minggu tidak muncul di kayalak umum.

 

Nama: Budi Purnama

Sekolah: SMPN 3 Surakarta

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment