Soloensis

PIKSON BUKAN ANAK NAKAL

1000107556

Pikson remaja asal Papua memiliki perawakan tinggi, berambut keriting. Penampilannya sama sekali tidak rapi, wajahnya terlihat tegas, dan keras. Tatapan matanya tajam seakan ingin menerkam mangsa.

Awal mula saya kenal pikson itu di depan rumah Pikson. Kebetulan dia adalah tetangga baru di desaku. Awalnya aku merasa takut untuk berkenalan. Berbanding terbalik dengan Pikson perawakanku kecil dan aku memiliki wajah yang manis. Aku takut bila ada penolakan darinya.

Aku memberanikan diri menyapa dan berkenalan. Rasanya kurang etis bila ada tetangga baru kita hanya cuek saja. Ternyata apa yang aku pikirkan tentang Pikson tidak lah benar. Ia menyambutku hangat dengan Bahasa khasnya.

 Aku merasa tidak enak dengan Pikson karena berprasangka terhadapnya. Hanya karena penampilan aku beranggapan bahwa Pikson adalah anak yang nakal. Lantas aku berusaha untuk jujur dan meminta maaf.

Pikson tidak keberatan denga napa yang telah aku lakukan terhadapnya. Kemungkinan ia sudah memahami. Aku pun tidak membahasnya lagi agar dalam berkomunikasi, kami lebih akrab.

Sangat kotras dengan penampilannya. Pikson ternyata memiliki sifat baik hati dan tidak pelit. Ia sering berbagi makanan. Meskipun bahasanya keras tetapi kemanuasiannya tidak diragukan.

Pada waktu itu, aku dalam kondisi yang gabut. Pikson mempunyai ide untuk pergi berpetualang. Lebih tepatnya berburu. Kami berburu tidak menggunakan senapan. Aku yang sama sekali tidak memiliki pengalaman berburu, banyak diajari Pikson. Ia mengajarkan berburu yang benar tanpa harus rusuh. Ia mengajariku cara memasang perangkap, memancing hewan darat memakai suara samaran. Sangat kreatif. Aku sangat berkesan.

Azan berkumandang. Waktunya salat duhur. Aku memutuskan untuk pulang duluan. Baru sadar ternyata Pikson mengikutiku. Ia ingin menungguku salah duhur sambil menghabiskan jambu yang dimakannya sekaligus mengambil senar.

Sesampai di rumah aku bergegas mengambil air wudhu dan sarung untuk menjalankan salat duhur. Setetelah itu, saya menghampiri Pikson untuk melanjutkan berburu. Kami melihat perangkap hewan yang tadi dipasang. Ternyata perangkap itu belum mengenai mangsanya.

Saya merasa kecewa. Berbeda dengan Pikson, ia lebih terlihat biasa saja, seakan sudah terbiasa. Ia berjiwa besar dan sangat bijaksana. Ia mengajak pulang tanpa ada raut penyesalan.

Hari ke hari kita bermain bersama. Meskipun aku Jawa, ia Papua, kami tidak pernah dibuat pusing karena masalah. Ia sangat menghargaiku. Aku pun demikian. Ini pertama kalinya aku berkawan dengan orang Papua. Penampilan fisik tidak dapat menjadi ukuran sifat seseorang.

Pikson membuka pengetahuanku bahwa orang Papua tidak semuanya kasar. Ia justru banyak mengalah dan lebih dewasa. Kini aku tidak bisa bermain dengan Pikson lagi. Pikson Kembali ke tanah Papua bersama keluarganya. Persahabatanku dengan Pikson sangat bermakna.

Persahabatan kami masih berlanjut hingga saat ini meskipun hanya lewat udara. Kita tidak bisa menghakimi karakter orang dari asal daerah, warna kulit, cara berpakaian, dan gaya bicara.

Nama : Maulana Zuhad Firmansyah

Asal Sekolah : SMKN 3 KLATEN

Kelas : X Perhotelan 2

Email : yuhadfirmansyah@gmail.com

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    MAULANA ZUHAD FIRMANSYAH

    Add comment