Soloensis

Harmoni Toleransi: Nyadran Tradisi Bersama Menuju Ramadan

IMG-20240306-WA0015

Beberapa tahun lalu sebelum corona mewabah di Indonesia, tepatnya di tahun 2019, Desa saya menggelar acara Nyadran. Makna Sadranan/Nyadran sendiri adalah guna menyambut bulan puasa dan mengirim doa kepada leluhur yang telah tiada. Acara itu diikuti oleh 4 dukuh yang terdapat di 2 desa dan dihadiri oleh banyak warga lintas agama. Nyadran di daerah saya identik dengan kenduri, namun waktu itu para pemuda desa membuat acara semakin meriah dengan mengundang penyanyi beserta elektune nya. 

Acara dimulai dengan para warga yang datang berkunjung untuk nyekar para leluhur, sembari membawa makanan untuk acara kenduri. Setelah para warga nyekar, mereka mencari tempat duduk untuk mengikuti acara nyadran. Nyadran dimulai ketika arak arakan gunungan berisi aneka ragam pangan seperti buah, sayur, dan lauk seperti tempe dan gembus. Gunungan di bawa oleh pemuda Karang Taruna desa saya. Arak-arakan gunungan dilakukan dengan meriah dan diiringin irama gamelan oleh bapak-bapak desa saya. Ada 2 pemuda yang menari mengiringi jalannya Gunungan. 

Arak-arakan juga membawa sebuah Jodang yang berisi masakan jawa, seperti gudangan, tempe goreng, kerupuk, dan beberapa jajanan pasar. Sajian es pun dibuat untuk menuntaskan dahaga para pemuda dan warga yang ingin mengambil makanan di jodang. Semua masakan itu dimasak oleh organisasi kewanitaan ibu-ibu di desa saya. Saat proses memasak juga para ibu-ibu sangat menikmati dan senang melakoni karena dilakukan bersama-sama.

Sebelum prosesi doa dimulai, terdapat beberapa sambutan, uniknya pada kesempatan tersebut para panitia mengundang 2 kepala desa sebagai salah satu tamu penting. Hal itu dilakukan karena tradisi Nyadran diikuti oleh 2 desa yang berkumpul menjadi 1 di desa saya. Kedua Kepala Desa mengapresiasi jalannya kegiatan ini, karena banyaknya keberagaman acara ini dapat berlangsung dengan lancar, penuh suka cita, dan dapat menanamkan rasa toleransi antar warga.

Singkatnya saat memasuki prosesi doa bersama. Walaupun doa hanya dipimpin oleh pemuka agama muslim, namun umat agama lain tetap berdoa dengan hikmat sesuai kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Tidak terjadi kericuhan atau diskriminasi dalam prosesi doa bersama ini. 

Setelah doa selesai, kami semua menyerbu gunungan yang sudah ditempatkan di depan makam. Kami sangat antusias mencabut ragam pangan yang ada pada gunungan. Selain itu, orang tua kami juga saling bertukar menu makanan, tanpa melihat dan membeda bedakan orang yang mendapat bagian itu. 

      Ketika gunungan sudah habis, kami para remaja pun menyantap makanan yang kami dapat dari berbagai warga yang membawa kenduri. Kami senang karena bisa berbair dengan remaja lain tanpa memandang latar belakang keluarga, ras, agama dan suku. Salah satu teman kami pun ada yang berasal dari luar Jawa. Hal ini menjadi sarana kita untuk saling tanya jawab mengenai keberagaman yang ada. 

Sadranan dilanjutkan dengan acara musik dangdutan. Para pemuda karang Taruna baik laki-laki maupun perempuan ikut ber-euforia dan berdendang menikmati irama lagu dangdut. Para orang tua pun tak mau kalah, beberapa menyumbangkan sebuah lagu untuk memeriahkan hiburan pada saat itu. 

Acara berlangsung dengan kondusif dan aman. Walau diikuti oleh 4 dukuh dan berbagai warga lintas agama, kami semua menanamkan rasa toleransi dan saling menghargai perbedaan tersebut. Momen ini juga menjadi lahan untuk kami menjalin interaksi yang baik antar sesama warga dan membangun tali persaudaraan 2 desa yang berbeda. 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    GALINDRA DWI HANUNG HERRYANTI GALINDRA

    Add comment