Soloensis

“Menggapai Kesatuan dalam Keanekaragaman: Cerita Kehangatan dan Toleransi dalam Keluarga Saya”

WhatsApp Image 2024-03-30 at 20.20.59

Halo Semuanya, perkenalkan nama saya Alvin Wijaya. Saya lahir pada tanggal 14 April 2008, jadi di tahun ini saya berumur 16 tahun. Saya masih duduk di bangku SMK lebih tepatnya kelas X di di salah satu SMK di Klaten, Jawa Tengah  yaitu SMK N 3 KLATEN. Saya berasal dari keluarga Kristen dan keturunan Tionghoa. Ayah saya berasal dari keluarga yang memiliki keturunan Tionghoa, dan ibu saya berasal dari keluarga keturunan Jawa. Disaat says menceritakan keberagaman dari keluarga kami terasa sangat seru.

Simbah saya dulu-nya beragama Islam, tetapi kemudian berpindah agama menjadi Kristen. Sedangkan saudara yang lain keturunan dari simbah saya beragama Islam. Namun perbedaan keyakinan tidak menjadi masalah bagi mereka, karena mereka masih bersatu, saling menghormati dan tidak saling menjatuhkan. Yang perlu diketahui, Simbah saya punya anak berjumlah 3. Anak pertama perempuan, anak kedua laki-laki, dan yang terakhir anak perempuan, yaitu ibu saya. Dulunya mereka semua beragama Kristen. Tetapi setelah menikah, mereka berganti agama menjadi Islam, yang tetap bertahan Kristen hanya ibu saya.

 

Ibu saya tidak pernah menyangka akan menikah dengan ayah saya, karena memang dulu mereka saling tidak suka. “Dulu padahal ibu dan ayah saya tidak saling mencintaii, tapi ibu sabar dan menyuruh ayahmu tetap jalani semuanya,” ucap ibu saya. Begitulah jodoh, yang tidak disangka-sangka akhirnya terjadi. Ibu pun menikah dengan ayah yang merupakan keturunan Tionghoa.

Kami sekeluarga sering berkunjung ke desa, dan berkumpul dengan keluarga besar yang beragama Islam. Kami tidak ada rasa canggung pada saat berkumpul, sering kali keluarga besar kami mengadakan makan bersama di luar, untuk membangun keakraban. Momen indah juga terjadi pada saat hari Lebaran, yang mana keluarga saya pasti kembali ke desa dan berkumpul bersama keluarga besar di sana.

Walaupun simbah beragama Kristen, om dan tante saya yang Islam tetap mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri dan tetap disambut dengan gembira. Suasana pada keluarga kami pun juga terasa nyaman, hangat, dan tentram. Kami sekeluarga juga mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada keluarga besar kami yang beragama Islam.

Keberagaman juga terjadi di keluarga ayah saya yang merupakan keturunan Tionghoa. Walaupun ibu saya keturunan Jawa, namun pada saat perayaan Tahun Baru China (Imlek) keluarga engkong (panggilan kakek dalam Tionghoa) dan semua saudara tidak ada yang membedakan ibu saya, sehingga ibu saya pun merasa nyaman berada di sana. Pada saat Tahun Baru China, salah satu suster engkong saya yang beragama Islam tetap bisa membaur dengan keluarga engkong saya yang beragama Kristen semua. Kami berkumpul dan membagikan kue kranjang beserta jeruk mandarin, suster yang mengasuh engkong tak lupa diberi. Sehingga dapat menjaga ketentraman dan keberagaman tanpa menimbulkan suatu konflik yang dapat memecah belah keluarga.

Latar belakang keberagaman dari keluarga ibu dan ayah saya menjadi saksi betapa kokoh ikatan saling memiliki. Beruntung dapat dilahirkan di rumah dengan tiang berbeda, namun dapat merasakan kedamaian yang nyata. Semoga selamanya saling terjaga dalam keberagaman yang ada.

    Apakah tulisan ini membantu ?