Soloensis

Ketika Semua Sama Di Mata Tuhan

Ketika Semua Sama Di Mata Tuhan
Ketika semua sama di mata tuhan, hendaknya kita untuk saling menghargai dan menghormati bukan malah berdebat mana agama yang benar.

Ketika Semua Sama Di Mata Tuhan

(Rintan Ramadhani/ SMK Negeri 3 Klaten)

         Di saat usiaku menginjak 16 tahun aku baru sadar dan mengalaminya sendiri betapa indahnya keberagamaan itu. Kisah ini senyata keberagaman yang ada di tengah-tengah kita. Di mana ketika aku sholat dengan latar belakang kamar yang didindingnya berhias tanda salib.

           Ku tengok kanan-kiri kamar yang furniturnya termasuk asing di mataku. Ada lilin yang cukup besar dua biji tergeletak gagah di atas meja sebelah pojok kiri ruangan yang kelihatannya telah dibakar tapi sudah ditiup sebelum lilin tersebut habis. Ada juga foto Yesus Kristus yang terpampang di dinding sebelah kanan tempatku sholat. Tanpa berlama-lama berfikir aku bergegas memakai mukena dan melaksanakan sholat dhuhurku.

 “Mbak aku takut banget ishh” Aku lari karna tiba-tiba ada anjing yang menyambutku di depan pintu kamar.

      “Jangan lari, ga papa gausah lari. Nanti kamu malah dikejar.” Ujar Kakak kandungku Mbak Noosi yang berusaha menghalang anjing yang barusan mengejarku.

          “Loh kok keluar lagi si Kiko, Mbak?” Kata Mbak Vera, adik ipar dari Mbak Noosi yang datang lantas menggendong anjingnya.

 “Tadi padahal udah ku kurung sebelum Mbak Noosi sama Rintan ke sini loh.” Lanjutnya sambil membawa anjing itu pergi dan mengurungnya kembali.

Aku heran kok bisa Mbak Noosi betah tinggal di sini, ya walau cuma beberapa hari pas mudik aja. Tapi yang lebih membuat kepikiran lagi keluarga dari Mas Kristi, suaminya Mbak Noosi. Mereka selalu menghargai aku, Mbak Noosi sementara kita berbeda agama.

 “Ayo makan siang dulu Rintan, sama kamu Noo.” Ucap Ibu dari mas Kristi yang berjalan dari arah dapur.

 “Ya buu.” Balasku bersamaan dengan Mbak Noosi.

Kami pun makan siang bersama dengan keluarga Mas Kristi yang diiringi dengan kehangatan dan tanpa sedikitpun ada kecanggungan yang terjadi. Semua tidak membeda bedakan antara kami yang berbeda agama dengan mereka.

Selesai makan siang, Aku, Mbak Noosi, dan Mas Kristi memutuskan untuk pulang. Mbak Noosi dengan Mas Kristi harus membagi waktu antara pulang ke rumah keluarga Mas Kristi dan pulang ke rumah keluarga Mbak Noosi. kebetulan tadi aku ikut main Ke rumah Mas kristi.

 “Ini titip bingkisan buat mamamu ya Noo, sama titip salam selamat hari raya Idhul Fitri (2023), mohon maaf jika ibu dan keluarga ada salah ya.” Pesan Ibu Mas Kristi untuk keluarga besannya.

 “Ya Bu, nanti Noosi sampaikan.” Ujar Mbak Noosi dan kami pun pulang setelah pamit dan salam kepada Ibu Mas Kristi.

Begitu sampai rumah, Mbak Noosi pun langsung menyampaikan bingkisan dan salam dari ibu mertuanya tadi. Mama pun menerima dengan senang hati dan menitipkan bingkisan dan salam juga untuk keluarga Mas Kristi kepada Mbak Noosi jika besok kembali ke sana.

Malam harinya, aku masih saja memikirkan kejadian tadi di rumah keluarga kakak iparku. Ternyata apa yang kupikirkan selama ini salah. Ku kira, jika aku main ke sana, aku akan mengalami hal yang tidak mengenakkan. Dikucilkan atau mungkin didiamkan. Tapi aku salah, ternyata mereka semua baik dan sangat menghormati. Pantas saja Mbak Noosi mau menikah dengan Mas Kristi yang dulunya berbeda agama.

Kriet… suara pintu terbuka yang membuatku refleks menoleh. Terlihat Mbak Noosi masuk dengan membawa bantal, mungkin dia kangen tidur dan ngobrol bareng dengan aku. Karena setelah menikah, dia hanya pulang saat lebaran dan itupun tidak lama.

 “Kenapa tan? Serius amat mukanya?” Kata Mbak Noosi sambil duduk di sebelahku.

 “Mbak dulu kok bisa sama Mas Kristi? Sedangkan kalian kan beda agama. Terus keluarganya juga kok bisa kaya biasa-biasa saja gitu. Padahal kan setauku kalo cinta beda agama itu sulit, jarang yang bisa sampai menikah.” Semua pertanyaan yang ada dipikiranku akhirnya bisa kuluapkan.

 “Ya buktinya Mbak bisa tu sampai nikah.” Jawaban Mbak Noosi yang sama sekali tidak aku inginkan, karna itu jawaban yang terlalu menyebalkan.

 “Jawab yang bener dong Mbak!!!” Rengekan sebalku.

 “Iya iya, jadi dulu itu awal ketemu cuma karena main-main saja. Waktu itu tahun baru pacar baru, dan setelah menjalani hubungan mbak nanya dong sama mas Kristi mau beneran serius atau berhenti aja. Walau ini agak egois, mbak ngga mau kalo disuruh untuk pindah agama. Alhasil Mas Kristi mau mualaf dan belajar agama Islam sungguh-sungguh. Trus pada akhirnya menikah deh. Dan untuk keluarga Mas Kristi, mereka nggak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka malah menerima mbak sebagai keluarganya dengan sangat baik. Mbak merasa sangat beruntung.” Itulah penjelasan Mbak Noosi yang cukup jelas dan bisa aku terima.

Semua ini sudah menjadi takdir dari Tuhan. Yang namanya jodoh tidak mungkin ada yang tau. Dan kita hanya bisa menerima, menghormati, toleransi, serta selalu bersikap baik terhadap sesama.

Seperti kisahku diantara keluarga kakak iparku. Mereka memahami aku sebagai seorang muslim tidak akan mau berdekat-dekat dengan anjing. Mereka seorang kristiani yang membiarkan kakakku untuk menjadi seorang muslim dan menjalankan ibadah dengan khusyuk. Aku senang dengan pembelajaran berharga ini. Kita sama di mata Tuhan. Malam semakin larut dan aku memutuskan untuk segera tidur.

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment