Soloensis

Jilbab dalam Pendidikan, Norma atau Dogma?

IMG_2623 (1)
Ketentuan seragam di SMP Negeri

Ketika saya masih berkuliah 10 tahun yang lalu, seorang dosen pernah bertanya kepada saya, “Kamu muslim bukan? Kenapa tidak memakai jilbab?” Pertanyaan itu diajukan ketika saya sedang mengikuti ujian lisan di ruang dosen bersama beberapa teman saya.

Ketika mendapat pertanyaan tersebut, perasaan saya campur aduk- kaget, bingung dan takut. Saya tidak menyangka akan mendapat pertanyaan di luar materi kuliah yang diujikan. Kalau bisa mengulang waktu, saya ingin menjawab bahwa saya tidak memakai jilbab karena pada saat itu memang saya tidak ingin memakai jilbab. Namun karena takut, saya akhirnya menjawab, “Saya belum siap, Bu.”

Saya mengira beliau akan menerima jawaban saya, tapi ternyata tidak. “Lho, memakai jilbab itu dogma. Siap tidak siap kamu harus memakai.” Sejujurnya, saya agak takut melihat reaksi beliau. Saya juga merasa sangat malu karena mendapat teguran tersebut di depan teman-teman dan para dosen. Pada akhirnya saya hanya mengiyakan kalimat beliau agar tidak memancing perdebatan yang lebih panjang.

Setelah mengalami kejadian tersebut, saya menyimpan banyak pertanyaan. Memang kenapa kalau saya tidak berjilbab? Apakah di kampus ini semua mahasiswi muslim wajib memakai jilbab? Tapi, kampus saya adalah kampus negeri di mana saya diberikan kebebasan dalam hal berpakaian selama itu masih rapi dan sopan. Apakah saya akan mendapat perlakuan yang berbeda jika saya berjilbab atau tidak berjilbab?

Pada Januari 2020, viral sebuah kasus tentang seorang siswi di SMA negeri yang menerima intimidasi dari anggota Rohani Islam (Rohis) karena tidak memakai jilbab. Mengutip dari laman Solopos, pelaku intimidasi menggunakan kalimat yang sama dengan yang pernah ditujukan untuk saya. “Kandanono, hijab bukanlah pilihan yang dengannya dia bisa memilih, tapi kuwi kewajiban. Siap ora siap, kudu berhijab.”

Sekitar 2 tahun kemudian di SMA negeri yang berbeda, ada seorang siswi yang enggan masuk sekolah selama beberapa hari setelah dipaksa memakai memakai jilbab oleh gurunya. Siswi tersebut juga dimarahi di depan teman-temannya, seperti yang diberitakan oleh Solopos (15/11/2022). Bisa saya bayangkan betapa takut dan malunya siswi tersebut saat mengalami kejadian itu.

Seorang teman guru SMP dari daerah lain bercerita bahwa tindakan intoleransi memang benar adanya. Di sekolahnya, semua siswi akan diberi jilbab ketika membeli seragam sekolah, sepaket dengan atribut lainnya tanpa memperhatikan anak tersebut memakai jilbab atau tidak. Tidak salah, tapi rasanya aneh saja mengingat sekolahnya adalah sekolah negeri.

Teman saya adalah seorang muslim dan dia adalah satu-satunya guru perempuan di sekolahnya yang tidak berjilbab. Dirinya kerap mendapat pertanyaan dari sesama rekan guru tentang kapan dirinya akan memakai jilbab. Meskipun pertanyaan tersebut terkadang disampaikan dalam konteks bercanda, namun dirinya mengaku merasa terganggu dan risi.

Ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk memakai jilbab pada tahun 2013, semester kelima saya berkuliah, saya masih memiliki banyak pertanyaan di dalam hati. Apakah saya benar-benar ingin berjilbab atau saya hanya menjadi people pleaser yang berusaha menyenangkan orang-orang di sekitar saya? Apakah saya bisa istiqomah atau saya akan punya keinginan melepas jilbab pada suatu hari nanti?

Ketika saya dewasa dan mengerti sedikit lebih banyak hal, mendengar berbagai persektif dan pendapat, saya menyadari beberapa hal atas pengalaman yang saya alami dan kasus-kasus serupa yang terjadi.

Saya bisa saja memakai jilbab tanpa harus mengalami kejadian tak menyenangkan itu. Beragama seharusnya tidak semenakutkan ini. Keimanan kita tidak hanya dilihat dari atribut apa yang kita pakai. Sebagai seorang perempuan muslim pun saya berhak atas pilihan atas diri saya sendiri karena Islam pun mengenal konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Islam juga mengajarkan keadilan dan kesetaraan, termasuk dalam menentukan pilihan dan berpendapat.

Tentu banyak perdebatan mengenai topik ini. Argumen yang sering saya temui adalah bahwa sebagai sesama muslim harus saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Tentu saya sangat setuju dengan hal tersebut. Namun, banyak orang yang terkadang lupa bahwa mengingatkan dan memaksakan itu jelas bedanya.

Jika seseorang memutuskan untuk mengikuti saran kita tentu kita akan senang melihatnya. Namun, jika dia mempunyai pilihan lain, itu juga sah-sah saja selama tidak merugikan kita. Kewajiban kita hanya sebatas mengingatkan, tidak perlu memaksa apalagi sampai mengintimidasi. Terkadang beda pendapat sedikit saja sudah dianggap salah besar atau melanggar aturan. Padahal di negara pluralis, perbedaan pendapat adalah hal yang seharusnya sudah biasa.

Ketika seorang siswi bertanya kepada saya bagaimana jika suatu saat dirinya ingin melepas jilbab, saya menjawab, “Lakukan apa yang kamu percayai, pakailah sesuatu yang membuatmu nyaman, selama itu rapi dan sopan saya rasa tidak jadi masalah.”

Saya yakin akan banyak guru-guru lain yang tidak setuju dengan jawaban saya. Mungkin mereka menganggap saya bukan guru yang baik atau muslimah yang solihah. Selama ini, guru dianggap sebagai sosok yang harus bisa dijadikan panutan, sehingga apa yang dilakukan harus selalu benar dan sesuai dengan apa yang “umum” dilakukan.

Namun kembali lagi kepada keyakinan yang saya percaya bahwa beragama seharusnya tidak menakutkan. Semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, lalu kenapa kita tidak bisa bersikap baik terhadap sesama? Belajar untuk saling menghargai, menerima perbedaan dan tidak meributkan hal-hal yang bukan urusan kita.

Perempuan bebas untuk memakai apa saja sesuai dengan kenyamanan mereka, entah memakai jilbab atau tidak. Perkara tubuh, rambut dan cara berpakaian seharusnya jadi urusan personal dan tidak perlu menjadi urusan publik karena di dunia ini ada pilihan-pilihan hidup yang tidak perlu kita hakimi.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment