Soloensis

Aku Dibentuk dari Lingkungan Masyarakat Homogen dan Heterogen

Aku Dibentuk dari Lingkungan Masyarakat Homogen dan Heterogen jpg

Normal
0

false
false
false

EN-ID
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-font-kerning:1.0pt;
mso-ligatures:standardcontextual;
mso-fareast-language:EN-US;}

Aku Dibentuk dari Lingkungan Masyarakat Homogen dan Heterogen

Oleh Dwi Endah Aryani, S.Pd.

 

            Tepatnya empat puluh tiga tahun yang lalu aku dilahirkan di sebuah kota kecil yang padat penduduknya. Orangtuaku adalah orang biasa yang bekerja dan berpenghasilan seperti orang-orang pada umumnya. Bapakku hanyalah seorang buruh di perusahaan jamu yang terkenal sejak dulu sedangk

an ibuku hanyalah ibu rumah tangga. Penghasilan bapakku yang tidak seberapa harus cukup untuk menghidupi keluarga kecil yang terdiri dari ibu, bapak, dan tiga orang anak. Namun begitu kadang-kadang ibu membantu bapakku mencari tambahan uang dengan cara berjualan makanan gorengan yang dititip-titipkan di warung. Selain itu ibuku juga punya keahlian lain yaitu sebagai penjahit baju.

Aku sangat bangga memiliki ibu yang luar biasa hebat. Beliau tanpa mengeluh terus berusaha membantu ekonomi keluarga dengan bakat dan keterampilan yang ibu miliki. Berapapun uang yang diterima dari hasil berjualan atau menjahit selalu disimpan untuk biaya sekolah kami bertiga. Ibu hanyalah lulusan Sekolah Dasar, makanya ibu tidak ingin anak-anaknya tidak berpendidikan, cita-cita ibu harus kandas di tengah jalan karena ekonomi sulit  pada waktu itu. Ibu ingin kami bisa sekolah sampai lulus sarjana, memiliki penghasilan dan kelak kehidupan kami bisa mapan. Meskipun aku dan adikku seorang perempuan, ibu tidak pernah membeda-bedakan, baginya pendidikan sangatlah penting baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Ibu tidak ingin apa yang terjadi padanya menimpa anak-anaknya. Saat itu ibu berkeinginan untuk sekolah tetapi apalah daya selain ekonomi sulit, ibu memiliki banyak saudara sehingga diantara mereka harus mengalah tidak melanjutkan pendidikan. Akhirnya ibu hanya sampai di bangku sekolah dasar. Dari situlah aku termotifasi dari semangat juang ibu yang pantang menyerah terutama dengan keadaan. Tak dihiraukan cibiran tetangga atau saudara tentang keinginannya untuk menyekolahkan aku dan kedua saudaraku sampai lulus sarjana. Pendapat tentang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi apalagi nanti akhirnya juga hanya di sumur, kasur, dan dapur tidak berlaku bagi ibu. Beliau selalu berdoa dan berharap kelak anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik.

Semasa kecil aku tinggal di sebuah perkampungan katakanlah kampungku dengan sebutan Rjs. Kampungku sangat padat dan penduduknya juga beragam. Keberagaman itu bisa dilihat dari segi agama dan kepercayaan, profesi, pendidikan, ras, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi. Ya, menurut konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, apa yang dimaksud keberagaman adalah kondisi suatu masyarakat yang terdiri berbagai macam kewilayahan, suku bangsa, budaya, agama dan adat istiadat. Perbedaan dalam masyarakat merupakan keberagaman Indonesia yang dapat dirangkai dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, seperti itulah gambaran keberagaman yang ada di kampungku saat aku kecil hingga sekarang. Penduduk yang heterogen tentu saja memiliki banyak permasalahan dan memicu munculnya konflik antara penduduk yang satu dengan yang lainnya. Pada kesempatan ini, aku akan berkisah tentang kehidupanku semasa kecil hingga dewasa yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang masyarakatnya homogen dan heterogen. Dari sisi manakah mayarakat yang aku maksud homogen dan heterogen? Simak penjelasan berikut.

Di atas tadi sekilas telah aku uraikan bahwa lingkungan tempat tinggalku di kampung Rjs yang penduduknya heterogen. Bisa aku katakan penduduknya heterogen karena kampung Rjs terletak di sebuah kota kecil yaitu kota Solo, dimana kota Solo penduduknya tergolong heterogen. Masyarakat heterogen adalah masyarakat yang beragam atau bervariasi. Oleh karena itu, masyarakat yang demikian ini mempunyai bahasa, suku, dan budaya yang berbeda-beda. Masyarakat (penghuni) dan keaneka ragamannya (heterogenitas) terbentuk karena adanya perbedaan, sementara perbedaan sendiri menjadikan kehidupan dalam bermasyarakat menjadi lebih hidup dan lebih menarik. Dengan keberadaannya yang sangat heterogen terbentuk stratifikasi sosial masyarakat di Indonesia.

Di kampungku penduduknya ada yang beragama islam, kristen, katolik, kong huchu, bahkan aliran kepercayaan. Kebanyakan penduduknya juga berasal dari suku jawa juga Cina. Pendidikan yang dimili juga cukup beragam, ada yang hanya lulusan SD, SMP, SMA, Sarjana, bahkan yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikanpun juga ada. Selain itu profesi mereka juga bermacam-macam, guru, pedagang, pegawai kantoran, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, dokter, pemuka agama, tukang service, buka warung, dll. Status ekonomi juga bermacam-macam dari golongan bawah, menengah, dan atas.

Masyarakat yang heterogen dan penduduk yang banyak memiliki keberagaman membuat kampung Rjs tidak luput dari berbagai macam masalah atau konflik. Dari masalah ekonomi menengah ke bawah, pertengkaran antar tetangga bahkan antar saudara di satu lingkungan yang sama, perkelahian anak-anak, pencurian, mabuk-mabukan, bahkan judi acap kali menghiasi kondisi di lingkunganku. Kondisi lingkungan yang terjadi setiap hari membuat aku menyadari betapa pentingnya sebuah kerukunan dan kebersamaan. Masing-masing harus menyadari dan berusaha untuk menjaga dan bertoleransi agar kondisi lingkungan tempat tinggal tetap aman dan damai. Suguhan yang tidak layak untuk ukuran anak kecil seperti aku pada waktu itu sangatlah tidak baik, selain bisa mengganggu mental tapi secara tidak langsung lingkungan telah memberikan pengalaman buruk bagi perkembangan anak-anak seusiaku.

Suatu hari aku pernah menyaksikan suatu kejadian yang bagiku itu sungguh tidak mengenakkan. Ada beberapa keluarga yang berpindah agama hanya karena kesulitan ekonomi. Mereka dijanjikan dengan kehidupan yang layak jika mengikuti agama mereka. Ya, tentu itu sah-sah saja bagi mereka sepanjang tidak mengganggu orang lain. Mereka yang tidak teguh pendirian dan tidak kuat imannya tentu saja akan mudah untuk berpindah keyakinan. Untung saja peristiwa tersebut tidak berdampak pada orang lain, maksudnya apa yang sudah menjadi pilihan mereka, itu hak mereka dalam hal keyakinan. Toleransi dalam beragama pada waktu itu sangatlah baik sehingga tidak memicu perselisihan atau permusuhan di lingkungan tempat tinggalku.

Kondisi lingkungan yang tidak baik-baik saja membuat aku tidak nyaman dan ingin rasanya meninggalkan kampung halamanku. Lalu pertanyaan muncul di benakku, bagaimanakah cara untuk meninggalkan kampung halamanku? Semenjak kecil aku memang bercita-cita ingin menjadi seorang guru, entah guru apa saja karena pada saat itu aku belum paham apa itu guru dan bagaimana. Aku hanya teringat adik kandung ibuku yang berada nun jauh di pulau seberang dan terobsesi dengan kepandaiannya. Kata ibu, beliau bekerja sebagai guru dan suaminya juga berprofesi sebagi guru juga. Aku berharap bahwa jika besar nanti aku bisa seperti adik kandung ibuku, menjadi seorang guru.

Mungkin sudah takdir, singkat cerita aku lulus dari bangku sekolah dasar pada tahun 1993 lalu aku hijrah ke Sumatera Utara. Di sana aku tinggal bersama bulik adik perempuan ibuku yang berprofesi sebagai guru. Aku berfikir bahwa di tempat baru nanti semuanya sama, makanannya, kebiasaannya, juga penduduknya. Di tempat yang baru tentu aku merasa sangat asing terutama dengan budaya, adat istiadat dan masyarakatnya yang homogen. Masyarakat homogen adalah masyarakat yang komunitas pembentuknya dapat berwujud satu etnis atau satu golongan, satu ras, satu agama, dan satu pola pikir dalam pengertian absolut. Pada masyarakat seperti ini, yang dipentingkan adalah kesamaan, keseragaman.

Kesamaan dan keseragaman yang tampak pada masyarakat di sana adalah mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Kebanyakan mereka menggarap sawah dan ladang. Ada juga beberapa yang bekerja di perkebunan kelapa sawit milik sebuah perusahan atau milik pribadi atau perseorangan. Aku yang selama ini hidup di kota Rjs hanya bisa menjadi penonton karena saat itu aku baru tumbuh remaja dan tidak pernah melakukan aktifitas baik di sawah, ladang, maupun perkebunan. Selain itu mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari, berbeda saat aku tinggal di kota Rjs, bahasa Jawa menjadi bahasa nomor satu untuk berkomunikasi. Kadang-kadang aku seperti menjadi bahan ejekan karena logat  bahasa Jawaku yang kental. Mereka kebanyakan berasal dari keturunan orang Jawa tapi besar dan tumbuh di Sumatera, maka tak heran mereka di kenal dengan sebutan Jawa-Deli (Jadel) orang Jawa yang tumbuh dan dibesarkan di tanah Deli, Sumatera Utara. Maka logat bahasa Jawanya tidak sekental diriku. Selain dari suku Jawa, mereka juga dari suku Batak dan orang Melayu. Hidup di tempat asing dan serba berbeda tidaklah mudah. Aku harus beradaptasi dan berjalan seirama mengikuti kondisi dan situasi yang ada di lingkungan tersebut.

Saat tinggal di tanah Deli, aku juga menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu adat istiadat yang mereka jalankan, seperti pernikahan. Di jawa kebanyakan saat pesta hajatan berlangsung dalam hal ini pernikahan, busana yang dipakai khas dengan adat Jawa. Tamu undanganpun kebanyakan menggunakan kebaya yang dimodifikasi dengan jarik sedangkan di tanah Deli pada waktu itu, tamu undangan menggunakan pakaian apa saja, memakai celana jins atau berpakaian bebas, hanya dari pihak yang punya hajatan saja yang menggunakan pakaian khas untuk pernikahan. Makanan yang disajikanpun tidak semewah di kampungku. Durasi yang dilakukan juga tidak secepat di kampungku antara 2 sampai 3 jam, di sana waktu yang dibutuhkan relatif lama bisa seharian.  Seperti ungkapan Deso mowo coro, negoro mowo tata yang artinya sebuah desa memiliki cara dan kebiasaan yang berbeda-beda dan sebuah negara memiliki aturan atau tata cara yang berbeda pula.

Aku tinggal di tanah Deli mulai tahun 1993 sampai dengan 1999. Selama 6 tahun aku memiliki banyak  pengalaman, aku juga sudah terbiasa dengan makanan yang ada di sana seperti mie rebus yang bahannya dari mie lidi, rendang jengkol, sayur nanas pajri dan masih banyak lagi. Adat atau kebiasaan yang kulihat di tanah Deli menjadi pengalaman hidup yang berharga. Satu hal yang aku ingat dan tak bisa kulupakan adalah aku bisa lebih dekat dengan alam pedesaan, suasana yang tenang, lingkungan yang nyaman membuat aku betah dan kerasan tinggal di tanah Deli. Masyarakat yang tidak lagi homogen menambah daftar panjang pengalaman hidupku di sana.

Tahun 1999 aku kembali ke tanah Jawa. Saat itu aku sudah lulus dari bangku SMU. Sekembalinya dari tanah Deli, aku kembali seperti menjadi orang asing hanya bedanya kalau saat itu aku asing di tanah orang sedangkan kali ini aku asing di tanah kelahiranku sendiri. Maklum saja aku telah menempuh pengalaman hidup selama 6 tahun di tanah Deli di tanah rantau orang meskipun saat itu aku tinggal bersama Bulikku yang tinggal dan menetap di sana. Aku kembali meneruskan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah di perguruan tinggi. Ya meskipun aku harus sedikit kecewa karena tidak bisa masuk di perguruan tinggi negeri, tapi aku harus puas dan ikhlas belajar di perguruan tinggi milik swasta.

Singkatnya aku memasuki gerbang perkuliahan di salah satu perguruan tinggi swasta bonafit yang ada di kota Surakarta mengambil jurusan keguruan lebih tepatnya Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Bahasa Indonesia. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan dunia asing. Ya, aku berada di sebuah masyarakat yang homogen. Homogen dalam hal keyakinan atau agama. Aku berada di lingkungan yang semua warganya beragama islam. Aku mengenyam bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mulai tahun 1999-2003 kurang lebih selama 4 tahun. Di situlah awal aku mulai mengenal ajaran Muhammadiyah. Baiklah, akan aku ceritakan sedikit tentang Muhammadiyah.   

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam reformis yang lahir di Indonesia pada awal abad ke-20. Muhammadiyah merupakan gerakan islam yang berpatokan pada Al-hadist dan Al Qur’an. Secara umum arti Muhammadiyah adalah umatnya nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 November 1912 di kota Yogyakarta, yang diprakarsai oleh seorang ulama bernama KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah hadir sebagai gerakan yang ingin memperbarui ajaran Islam dan memajukan umat Muslim. Salaha satu tujuan organisasi Muhammadiyah adalah untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan umat muslim serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu fokus utama Muhammadiyah adalah pendidikan. Organisasi ini mendirikan sekolah-sekolah modern yang mengkombinasikan ajaran islam dengan pengetahuan umum. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Itulah sekilas tentang Muhammadiyah.

Seiring berjalannya waktu, semenjak aku mengenal Muhammadiyah aku merasa ilmu agama yang kudapatkan semakin bertambah. Aku yang nota bene dibesarkan dari tempat yang satu ke tempat lainnya dengan segala kondisi masyarakat yang heterogen tentu saja hal ini menambah daftar panjang pengalaman hidupku. Jika kembali ke masa lalu, dimana aku dilahirkan dan dibesarkan di kampung Rjs dengan segala kondisi lingkungan yang ada saat itu, tentu saja aku jauh dari ilmu agama karena penduduk yang majemuk dan keyakinan beragama yang sangat heterogen tetapi di satu sisi toleransi antar umat beragama sangat tinggi terlihat saat perayaan hari-hari keagaman. Lantas setelah aku berada dilingkungan yang homogen, berada pada satu lingkungan yang mayoritas muslim, tentu saja lebih mudah saat melakukan ibadah dibandingkan dengan masyarakat yang bermacam-macam agama dan keyakinan. Selama kurang lebih 4 tahun, aku banyak belajar tentang ilmu agama islam. Bukan berarti sama sekali tidak mengerti tentang islam, tetapi lebih tepatnya meningkatkan lagi ilmu agama yang aku miliki.

Singkat cerita setelah aku selesai menempuh pendidikan S-1 di UMS, aku melamar pekerjaan sebagai guru. Pada saat itu aku melamar lebih dari 10 sekolah yang terdiri dari jenjang SD, SMP, SMA, bahkan ada juga bimbingan belajar. Dari semua sekolah yang aku lamar, semua sekolah swasta karena pada waktu itu  susah sekali melamar di sekolah negeri.  Lalu aku diterima di sekolah swasta tetapi di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan kebetulan lagi di sekolah Muhammadiyah. Ya, sejak aku mengenal Muhammadiyah di perguruan tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di lingkungan Muhammadiyah.

Aku mulai mengabdikan diri menjadi guru di sekolah muhammadiyah mulai tahun 2005 menjadi seorang guru tidak tetap (GTT) di lingkungan Muhammadiyah. Tentu saja sejak saat itu aku sudah terbiasa dengan lingkungan yang homogen. Dimana siswa dan gurunya beragama yang sama,  Sangat mudah bagiku untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim di tambah lagi lingkungan sekolah yang sangat mendukung yang mayoritas muslim, rekan sejawat sesama muslim dan memiliki pola fikir yang sama, di tambah dengan aktivitas sehari-hari yang tidak hanya tentang ilmu duniawi tetapi juga ilmu untuk akhirat sehingga menambah semangat hidupku dalam menjalankan roda kehidupan.

Setiap hari rutinitas yang dilakukan di sekolah tidak luput dari bagian ibadah, seperti muroja’ah atau tadarus al Qur’an, sholat dhuha, shalat berjamaah, kajian keislaman dan masih banyak lagi. Satu tahun mengajar di sekolah dasar lalu tahun 2006 mengajar di jenjang sekolah atas (SMA) tetapi masih di lingkungan muhammadiyah sampai tahun 2021. Aktifitas yang saya lakukan di lingkungan sekolah Muhammadiyah menjadi rutinitas atau kebiasaan sekaligus sebagi benteng diri dalam hal keyakinan.

Tahun 2022 aku masih bergelut dalam dunia pendidikan sebagai guru, hanya saja kali ini aku tidak lagi dilingkungan Muhammadiyah. Aku mengajar di salah satu sekolah negeri yang berada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Selama kurang lebih 16 tahun aku mengabdikan diri menjadi guru di lingkungan yang homogen, dimana guru dan siswanya semua beragama islam. Tentu saja aku sangat senang karena bisa dengan mudah menjalankan ibadah keagamaan, kadang-kadang teman-teman juga sering mengingatkan jika sudah waktunya sholat. Budaya salam, senyum, sapa antara guru dan siswa sudah biasa dilakukan tetapi tidak perlu berjabat tangan terutama antara laki-laki dan perempuan karena memang bukan muhrim. Lantas bagaimana kondisi di tempat yang baru?

Awal memasuki gerbang di sekolah baru tentu saja sangat berbeda. Seperti pepatah orang Jawa bilang, “deso mowocoro negoro mowo toto “ bahwa setiap desa atau wilayah memiliki adat istiadat masing-masing dan setiap negara memiliki aturan masing-masing, artinya kita harus menghormati dan mentaati setiap aturan yang berlaku di sana dan jika melanggarnya akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang sudah diberlakukan.

Kebiasaan yang aku lakukan selama ini memang tidak banyak kutemukan di tempat baru, tetapi toleransi yang tercipta antar umat beragama sangatlah kental. Di tempat yang baru aku sering melihat adanya kebebasan dalam hal menjalankan ibadah. Tidak seperti di sekolah swasta yang homogen karena hanya ada satu agama, sedngkan di sekolah baru selain agama islam ada kristen, katholik, hindu, bahkan aliran kepercayaan. Semua memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan waktu yang mereka tentukan. Keberagaman yang tercipta di tempat baru kembali membuka cakrawala pengetahuanku tentang artinya toleransi, saling menghargai satu sama lain dan masih banyak lagi. Hal-hal lain yang tidak aku temukan di sana aku bisa menemukannya di sekolah baru.

Saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan budaya yang ada di sekolah baru, tentu saja aku tidak bisa memaksakan diri untuk menerapkan kebiasaan yang selalu aku lakukan saat di sekolah swasta. Aku cukup mengerti dan memahami bahwa keberagaman itu sangatlah indah jika masing-masing individu bisa saling menjaga toleransi dan menghormati hak-hak orang lain. Meskipun di awal-awal aku masih sering lupa melakukan kebiasaan saat di sekolah lama tapi aku langsung sadar bahwa tidak semua hal baik bisa aku bawa dan aku terapkan di sekolah baru. Sejak kecil hingga dewasa, kepribadianku yang terbentuk akibat berada di lingkungan homogen dan heterogen sudah cukup memberikan pengalaman hidup dan modal untuk terus menjalankan kehidupan ini dengan baik. Menjaga dan memberi kesempatan orang lain saat beribadah menurut kepercayaannya itu hal yang sangat mulia. Satu hal yang paling penting adalah dimana bumi dipijak di situlah langit di junjung, artinya dimanapun kita berada kita harus mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan sekitarnya agar tetap terjalin hubungan yang harmonis kepada sesama.

 

Penulis:Dwi Endah Aryani, S.Pd.

SMKN 3 Klaten

Email dwiendah525@gmail.com

No Hp 081327554507

  

 

 

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment