Soloensis

Hidup di Tengah Hutan, Warga Kampung Tuwon Wonogiri Harus Berdamai dengan Kera

tuwon kampung di tengah hutan wonogiri

Solopos.com, WONOGIRI — Hidup nyaris terisolasi di tengah hutan dan menggantungkan hidup dari hasil pertanian, warga Kampung Tuwon, Dusun Ngrapah, Desa Setren, Kecamatan Slogohimo, Wonogiri, harus berhadapan dengan banyak tantangan dan kesulitan hidup.

Selain jarak yang jauh dari pusat kota dan akses menuju kampung yang bisa bikin pengendara motor menjerit, warga kampung ini juga menghadapi tantangan serangan hewan liar. Di hutan sekitar Kampung Tuwon banyak kera liar yang kerap mengganggu, terutama merusak tanaman pertanian. 

Padahal, mayoritas warga Tuwon menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam. Hal itu karena wilayah di dataran tinggi lereng Gunung Lawu selatan tersebut memang diuntungkan dengan kesuburan tanahnya.

Kendati begitu, tidak serta merta pertanian di Kampung Tuwon selalu menghasilkan panen yang baik. Nyatanya, tanaman mereka sering kali dijarah kawanan kera liar hutan. Kera-kera itu merusak tanaman-tanaman pertanian warga hingga menyebabkan gagal panen. 

Bahkan tidak jarang kawanan kera masuk ke pemukiman kampung di tengah hutan Setren, Slogohimo, Wonogiri, yang hanya dihuni 51 jiwa itu. Warga dan kawanan itu pun terpaksa seperti berperang. Warga sering menjaga lahan pertaniannya dengan membawa senapan angin. 

Asih, salah satu warga Kampung Tuwon yang ditemui Solopos.com saat mengunjungi wilayah tersebut belum lama ini, mengaku sudah kerap mendapati kawanan kera yang menginvasi lahan pertaniannya. Kera-kera itu ia anggap sebagai hama.

Kerugian yang timbul akibat ulah kera liar itu pun terlalu banyak bagi Asih. Untuk meminimalkan kerusakan tanamannya, Asih harus sering-sering pergi ke lahan pertaniannya meski kadang masih kecolongan oleh kelompok kera liar.

Sesepuh Kampung Tuwon, Jaiman, salah satu warga pertama yang mendiami Kampung Tuwon pada 1975-an, menyebut serangan hama kera di Kampung Tuwon semakin agresif dalam satu dasawarsa terakhir. Minimnya bahan makanan di hutan menjadi penyebab kawanan kera itu mencuri tanaman pertanian warga kampung itu. 

Hidup Berdampingan

Warga kampung di tengah hutan Slogohimo, Wonogiri, itu pun enggan menanam pohon-pohon buah. Hal itu menjadi sasaran empuk bagi kera. Kendati begitu, ia tak bisa berbuat banyak selain harus mengakui keberadaan mereka dan hidup berdampingan dengan kelompok kera. “Ketheke kathah. Mangani tanduran,” katanya.

Alternatif lain warga untuk menambah pemasukan ekonomi yaitu dengan beternak sapi, kambing, atau ayam. Beternak sapi dan kambing menjadi hal paling masuk akan dilakukan warga Kampung Tuwon karena pakan tersedia banyak.

Kedua jenis ternak itu biasanya dianggap sebagai tabungan warga jika. Ternak baru akan dijual jika benar-benar sedang membutuhkan uang banyak. “Duwene nggih mung niku,” tutur Jaiman.

Warga lain, Jiyono, 25, juga memutuskan bertani sekaligus beternak sapi serta kambing di rumahnya di Kampung Tuwon. Jiyono merupakan satu dari segelintir warga Tuwon yang berhasil menyelesaikan pendidikan SMK di Kecamatan Jatipurno, Wonogiri.

Kebanyakan warga Kampung Tuwon yang nyaris terisolasi di tengah hutan Slogohimo, Wonogiri, itu hanya lulus SD atau SMP. Sayangnya, Jiyono harus cukup puas dengan pendidikan SMK yang ia selesaikan delapan tahun lalu itu. Yono, sapaan akrabnya, tak melanjutkan pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi.

Apalagi tak ada warga Kampung Tuwon yang berkuliah yang bisa memberinya motivasi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Seperti warga lain di Kampung Tuwon, Yono tak punya banyak pilihan selain bertani atau merantau.

Yono pun sebenarnya pernah terbesit untuk keluar dari kampung. Bekerja di luar kota. Tetapi dia sudah telanjur nyaman bekerja di rumah. Di samping itu, orang tuanya juga menginginkan dia agar tetap bekerja di Kampung Tuwon.

Jane nggih pengin medal. Tapi nggih pripun, sampun nyaman. Orang tua juga ingin saya kalau bisa tetap di rumah,” kata Yono kepada Solopos.com, Rabu (22/2/2023). 

Yono dan warga lain di Kampung Tuwon yang tersembunyi di tengah hutan Setren, Wonogiri, itu menanam berbagai tanaman empon-empon seperti kunir, jahe, dan sereh. Tanaman hortikultura di antaranya cabai, bawah merah, dan buncis. Selain itu juga tanaman pangan seperti jagung. 

Akses Jalan Jauh dan Sulit

Warga biasanya menjual hasil bumi pada para tengkulak. Ada dua mekanisme penjualan hasil bumi. Pertama, warga menjemput bola mendatangi tengkulak. Biasanya mereka menjualnya di Desa Kembang.

Dia mencontohkan penjualan kunir. Harga pasaran kunir sekitar Rp1.700/kg. Jika warga menjualnya dengan sistem jemput bola, harga jual kunir sesuai harga pasaran. Tetapi ketika tengkulak yang mengambil sendiri di Kampung Tuwon, harga jual kunir turun menjadi Rp1.500/kg. 

“Katanya itu sebagai semacam biaya transportasi karena akses jalannya jauh dan susah,” ujar dia. Kondisi itu memaksa warga memilih menjualnya dengan sistem jemput bola meski berisiko jatuh karena jalan licin saat mengangkut hasil bumi menggunakan sepeda motor.

Produksi kunir sekali panen bisa mencapai belasan gebang atau ikatan. Satu gebang sekitar 40 kilogram. “Tapi biasanya warga sini panennya sesuai kebutuhan. Engga panen besar. Kalau kunir gitu masa tanamnya sekitar tujuh bulan,” ucapnya.

Sebagai informasi, secara administrasi kampung di tengah hutan itu masuk wilayah Desa Setren, Slogohimo, Wonogiri. Namun secara sosial dan kultural, warga kampung ini justru lebih dekat dengan warga Desa Kembang, Kecamatan Jatipurno.

Sebab satu-satunya akses keluar masuk kampung ini harus melewati Desa Kembang. Jarak antara Kampung Tuwon dengan pemukiman Desa Kembang lebih kurang 4 km.

Sementara jarak Kampung Tuwon dengan pemukiman di Desa Setren lain sejauh 10 km ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Padahal jarak Setren ke pusat kota Kabupaten Wonogiri sekitar 33 km dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam.

Jalan menuju Kampung Tuwon pun masih berupa jalan tanah dan tidak ada penerangan jalan. Jika hujan, jalan itu menjadi becek dan berlumpur. Kendaraan bermotor sulit melintas dan harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment