Soloensis

Pelanggaran Nilai Pancasila: Kasus Kekerasan Seksual

WhatsApp Image 2023-05-08 at 08.10.03

Kemajuan zaman telah banyak mempengaruhi cara masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Masyarakat menjadi lebih cerdas dalam menyikapi berbagai masalah baik dalam konteks ekonomi maupun sosial dan budaya. Namun, kemajuan ini tidak menjamin adanya peningkatan moral dalam seluruh lapisan masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di sekitar kita telah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat mengenai dampak sexual harassment masih sangat minim. Keadaan ini sangat memprihatinkan karena kekerasan seksual sudah sering terjadi di manapun bahkan di lingkungan pendidikan seperti kampus bahkan sekolah dasar. Lingkungan yang seharusnya menyediakan kenyamanan dalam menuntut ilmu malah menjadi tempat direnggutnya hak-hak kemanusiaan dari para korbannya.

Kekerasan seksual sendiri dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual berupa fisik maupun verbal yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain (Paradiaz & Soponyono, 2022). Dikutip dari website resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, kasus kekerasan seksual yang terjadi sejak Januari 2023 hingga Mei 2023 sebanyak 3.922 kasus dengan dominasi korban perempuan sebesar 80%. Mirisnya, kelompok usia perempuan yang menjadi korban terbanyak adalah remaja berumur 13-17 tahun. Korban seringkali disalahkan atas terjadinya kekerasan tersebut karena lalai dalam menjaga diri, kurangnya pengawasan orang tua, bahkan cara berpakaian perempuan yang mengundang hawa nafsu dari si pelaku. Masyarakat sekitar biasaya juga akan menganggap korban kekerasan seksual adalah wanita kotor yang sudah tidak suci lagi. Kehormatannya dipertanyakan karena perbuatan keji dari orang tak berakal yang tega melecehkannya. Lalu pertanyaanya, kenapa kasus ini selalu terjadi dan berulang pada kelompok korban yang sama?

Kasus kekerasan seksual merupakan suatu bentuk penyimpangan moral Pancasila. Dari prespektif kehidupan bangsa, Pancasila dijadikan norma tindak dan perilaku dalam kehidupan sehari hari oleh masyarakat Indonesia, sebab pada hakikatnya pancasila merupakan nilai adat, budaya serta agama yang terkandung dalam kehidupan bangsa Indonesia (Ratri & Najicha, n.d.). Nilai-nilai yang ada dalam setiap sila dalam Pancasila merupakan aturan hidup yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap warga negara. Pelaku kekerasan seksual sendiri telah melanggar nilai-nilai tersebut yaitu nilai Ketuhanan pada sila pertama dan nilai Kemanusiaan pada sila kedua. Bahkan proses peradilan hukum terhadap pelaku terkadang tidak dapat memenuhi nilai keadilan bagi korban pada sila kelima Pancasila itu sendiri.

Dalam sila pertama Pancasila terkandung nilai Ketuhanan, yang berarti manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan wajib melakukan perintahnya dan menghindari larangannya sesuai keyakinan yang dianut (Afgrinadika Wibowo et al., 2022). Pelanggaran nilai sila pertama dalam kasus ini yaitu adanya pengingkaran terhadap perintah Tuhan untuk memuliakan seorang wanita. Dalam ajaran agama manapun tidak ada yang membenarkan kekerasan terhadap orang lain apalagi kekerasan seksual pada perempuan. Seorang wanita harus dijaga kehormatan serta harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia.

Selanjutnya, pelanggaran nilai Pancasila dalam kasus kekerasan seksual terdapat pada nilai kemanusiaan pada sila kedua. Kemanusiaan yang adil ini memiliki makna bahwa sebagai makhluk sosial yang hakikatnya tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain maka kita tidak boleh mementingkan diri sendiri dan harus bersikap adil, baik terhadap diri sendiri, orang lain, bangsa, negara, serta adil terhadap lingkungan sekitar dan adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Sari et al., 2022). Sebagai sesama makhluk hidup, kita memiliki kewajiban untuk memiliki rasa saling menghargai dan menghormati. Pelaku kekerasan seksual telah melanggar nilai Kemanusiaan tersebut karena menganggap wanita adalah makhluk yang lemah sehingga dia berhak berbuat semena-mena untuk menyakiti dan melecehkan perempuan. Penerapan nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari dapat menciptakan lingkungan hidup yang nyaman karena adanya rasa saling mengasihi antara sesama tanpa membeda-bedakan gender, suku, agama, dll. Sebaliknya, pelanggaran nilai sila kedua menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan dari jiwa manusia itu sendiri.

Pelanggaran yang terakhir terdapat pada perlindungan hukum terhadap korban dari kasus kekerasan seksual yang tidak memenuhi nilai keadilan dalam sila kelima Pancasila. Banyaknya kesulitan dalam penanganan kasus kekerasan seksual menyebabkan banyak kasus yang tidak dibawa ke ranah pengadilan, bahkan tak jarang kita melihat berita bahwasanya laporan korban pelecehan atau kekerasan seksual ditolak oleh aparat penegak hukum karena sulitnya pembuktian (Paradiaz & Soponyono, 2022). Setiap warga negara memiliki kesamaan hak di mata hukum. Korban dari kasus kekerasan seksual berhak mendapat perlindungan hukum baik dalam peradilan hukuman terhadap pelaku serta dukungan dari sisi hukum dan moral untuk memulihkan kondisi mental korban pasca kejadian tersebut. Akan tetapi, hukum dan perundang-undangan yang ada di Indonesia justru menyulitkan pihak korban untuk menyuarakan kasus kekerasan yang dialaminya karena rumitnya proses pembuktian di pengadilan. Setidaknya terdapat sebelas undang-undang yang mengatur tentang kasus kekerasan seksual. Namun, keberadaan UU tersebut kurang memadai proses peradilapn karena hanya mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual dan secara substansi pengaturan tersebut kurang jelas dalam mendefinisikan kekerasan yang dimaksud. Akhirnya korban kekerasan seksual akan merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan keadilan hukum dalam kasus kekerasan yang dialaminya.

Banyak faktor yang menyebabkan kasus kekerasan seksual semakin meningkat keberadaanya, bahkan di kalangan anak muda. Banyak dari generasi muda yang sudah mulai mengadopsi kebudayaan barat ke dalam kehidupan muda. Perwujudannya pun bermacam-macam, mulai dari cara berpakaian, selera makanan, film yang dilihat, dan macam-macam lagi jenisnya (Naufal Rafif Pratama et al., 2022). Meskipun faktor kekerasan seksual tidak sepenuhnya bersumber dari westernisasi, pengaruh kebudayaan barat telah sangat mempengaruhi pelaku kekerasan seksual dalam berpikir dan bertindak. Tindakan tersebut diantaranya hawa nafsu dan fantasi seksual karena menonton video porno, sikap idealis, dan kebiasaan minum minuman keras (alkohol) serta obat-obatan terlarang (narkoba).

Pada kenyataannya, pelaku kekerasan seksual kurang dapat memahami dan melaksanakan setiap nilai Pancasila dalam kehidupannya. Keadaan ini menyebabkan kasus kekerasan seksual akan terus terjadi apabila tidak ada kesadaran yang mendalam oleh setiap warga negara terhadap pengaruh dan dampak kasus ini terhadap masa depan bangsa. Bahaya kekerasan seksual akan terus membayangi setiap perempuan bahkan hingga zaman anak cucu kita nantinya apabila tidak ada tindakan yang tegas untuk memutus rantai kebiadaban ini. Oleh karena itu, nilai dan norma yang ada di dalam pancasila harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta kehidupan yang selaras dan seimbang dalam berbagai lingkup kehidupan (Olfiyani & Ulfatun Najicha, 2022).

Aktualisasi Pancasila perlu ditanamkan pada seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya terbatas pada aktualisasi Pancasila dalam peraturan perundang-undangan ataupun sistem hukum Indonesia semata (Afgrinadika Wibowo et al., 2022). Setiap masyarakat harus mampu menerapkan atau mengaktualisasikan nilai-nilai pada s etiap sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai mahasiswa kita dapat berperan aktif dalam pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila ini di lingkungan masyarakat dengan menjadi warga negara yang pancasilais dan mengedukasi masyarakat akan pentingnya pengamalan nilai Pancasila dalam mencegah kasus kekerasan seksual di sekitar kita. Mahasiswa harus mengingat bahwa implikasi dari pendidikan formal mereka adalah pengabdian pada masyarakat. Pengabdian dalam masyarakat tersebut dapat berupa berbagi ilmu dan pemahaman serta aksi nyata (Sahadewa Gentur & Ulfatun Njicha Fatma, 2022).

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment