Soloensis

Aku, kamu, kita bersaudara!.

Kultur
MariKitaSalingMenghargai

MulticulturalPerkenalkan nama saya Halim, saya bersekolah di SMPN 3 Surakarta saya adalah seorang remaja berdarah Palembang-Jawa, lahir besar di kota Solo, Jateng, dan sekarang saya tinggal di Boyolali di lingkungan tempat tinggal saya bergaul akrab dengan teman- teman yang didominasi dari suku Jawa dan sekitarnya serta orang Solo asli. Awalnya saya berpikir bahwa hidup yang saya jalani sudah bertemu dengan beragam orang, baik dari suku, agama, maupun latar belakang. Ternyata, saya salah. Saya menyadarinya sejak saya mengikuti sebuah program test latihan Kepemimpinan cilik saat duduk di bangku SD yang membuat saya bertemu orang-orang baru dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Merauke juga!

Apakah kalian pernah berjumpa dengan orang Merauke? Awalnya saya pun tidak. Itu untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan seseorang dari Merauke dan saya cukup antusias saat berkenalan dengan teman-teman lainnya walau sebenarnya saya sedikit malu karena saya menggunakan pakaian yang mungkin agak aneh di mata mereka yaitu saya menggunakan batik yang jarang mereka gunakan, mereka berasal dari berbagai daerah walaupun awalnya sedikit malu namun tetap saya jalani!. Ada yang dari Gunungsitoli, Berastagi, Nongkojajar, Seko, Bekasi, Toraja, Sumba, dan masih banyak yang lainnya. Jujur, saat berkenalan dengan mereka, saya mendengar tempat asal mereka yang tidak pernah saya dengar sebelumnya seperti sangat asing di telinga saya dan banyak dari mereka pun tidak tahu kota Boyolali, tempat dimana saya tinggal. Saya merasakan keberagaman yang kental saat berkenalan dengan mereka.

Saya akan memperkenalkan mereka, yang pertama ada Satya yang berasal dari Manokwari, lalu ada Nina dari Nias dan Gavin dari Bekasi, sebenarnya masih ada banyak lagi tapi hanya itu yang saya kenal akrab.

Beberapa di antara mereka sadar kalau saya bersuku Jawa setelah mengetahui marga saya. Tiba-tiba saja, mereka langsung berbicara menggunakan bahasa Jawa yang sama sekali saya tidak tahu, ternyata mereka sudah mempersiapkan itu semua dari awal, saya pun merasa tidak enak karna tidak menyiapkan apapun untuk mereka. Meski saya berasal dari suku Jawa, orang tua saya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dengan sedikit bahasa Jawa karena ayah saya berasal dari Palembang,Sumatera Selatan yang agak sulit berbicara Jawa. Lingkup pertemanan saya pun menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Akhirnya, saya pun memberitahukan kepada mereka bahwa saya tidak bisa berbicara bahasa Jawa secara fasih. Awalnya mereka merasa hal itu cukup lucu tetapi setelah itu mereka pun mengajari saya bahasa Jawa yang lebih rumit loh! Siapa yang sangka saya bisa sedikit-sedikit bahasa Krama karna mereka. Saya pun juga belajar bahasa daerah lainnya, seperti bahasa Toraja, Manado, Nias, dan Sasak. Meski hanya kalimat-kalimat untuk bercakapan umum, tetapi hal itu menyenangkan tidak hanya menyenangkan namun sangat menyenangkan!. Bisa bergaul akrab sambil berbagi lebih banyak budaya masing-masing.

Tidak hanya sampai di situ, kami menjalani kegiatan latihan Kepemimpinan cilik di Cikole,Lembang. Seperti namanya, latihan Kepemimpinan jelas menguras banyak tenaga, penuh dengan kedisiplinan dan aturan. Saya secara pribadi terus ditantang ego sendiri. Namun, kami dapat mengatasinya. Di saat kami dihukum karena kesalahan satu orang, di saat kami harus menambah jumlah push-up ketika ada yang tidak melakukannya dengan benar, atau melihat teman lain yang kesulitan. Kami, saya dan teman-teman, belajar untuk dapat mendahulukan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri, berbesar hati menerima konsekuensi, dan memiliki rasa empati untuk dapat menolong tanpa melihat latar belakang mereka. Saya pun merasakan satu dengan yang lain hadir bukan sebagai individu, tidak lagi soal saya, tetapi kita. Ini merupakan pengalaman baru untuk saya. Yaitu, belajar berkelompok walau banyak perbedaan di antara kita

Aktifitas yang saya jalani selama latihan Kepemimpinan sangat dekat dengan masyarakat, khususnya saat melakukan Corporate Social Responbility atau yang disingkat CSR. Masyarakat di wilayah Cibedug menjadi tempat dilakukannya kegiatan CSR ini. Kami diminta secara bebas dan mandiri mencari rumah untuk ditinggali selama 3 hari dengan ketentuan yang telah diaturkan oleh pelatih dan aparat setempat. Saya dan seorang rekan saya yang bernama Satya yang berasal dari Manokwari pun langsung mendapatkan rumah tinggal saat pencarian pertama kali. Orang tua asuh kami selama 3 hari merupakan sepasang suami istri paruh baya yang tinggal bersebelahan dengan anak-cucu mereka, yang ternyata sang Ibu beragama katolik, sang Ibu bernama Marina yang menggunakan daster ungu dan berkacamata serta sang Bapak yang menggunakan baju batik biru dengan celana pendek, Bapak tersebut bernama Basuki, tetapi setelah kami mengajak berbicara dengan Bapak Ibu tersebut ternyata si Ibu dan Bapak hanya bisa berbahasa Sunda. Saya dan Satya bingung mengenai cara berkomunikasi dengan si Ibu Marina. Lalu, cucunya yang bernama Alvin yang duduk di kelas 4 SD yang baru saja pulang sekolah dengan mengenakan seragam pramuka pun seketika langsung berlari menghampiri kami dan langsung menjadi penerjemah antara saya dan Satya dengan Ibu Marina mulai dari situ kami langsung akrab dengan keluarga Ibu Marina dan kami mempelajari bahasa Sunda dengan orang asli Sunda. Ibu Marina sangat senang dengan kehadiran kami di rumah tersebut. Meski berbeda keyakinan, tetapi Ibu Marina sangat ramah dan merawat kami dengan baik. Bahkan kami sempat di antar ke Mushola terdekat dan kami juga membantu membawakan roti untuk kegiatan Gereja yang dibawa Ibu Marina.

Selama 3 hari di Cibedug, Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Saya bisa belajar bahasa Sunda, saya bisa makan seblak buatan orang Sunda asli yang membuat kami menangis karena pedasnya yang luas biasa, anehnya orang Sunda sendiri menganggap itu tidak pedas sama sekali. Saya pun terkejut atas perkataan tersebut padahal saya dan Satya sudah berkeringat serta hampir menangis, saya juga bisa ikut pergi ke ladang dan membantu panen tomat, cabai, dan bawang merah di kebun belakang Ibu Marina saya juga jadi tahu kesulitan para petani karena pekerjaan orang tua asuh saya yang seorang petani, saya juga jadi tahu bahwa latar belakang itu tidak menjadi dasar bagi kita untuk berbuat baik dan menjalin rasa kekeluargaan. Tidak hanya orang tua asuh saya, tetapi dari masyarakat sekitar pun sangat ramah dan menolong kami selama di Cibedug. Sebagai contoh ada tetangga sebelah yang memberikan kami daging ayam hasil dari peternakannya sendiri, yang kita masak menjadi ayam goreng.

Setelah melakukan kegiatan CSR, saya dan teman-teman pun sempat melakukan kegiatan mengajar sehari di salah satu TK yang ada di, Lembang. Saya dan beberapa teman telah dibagi menjadi beberapa kelompok berisi 4 orang dan masuk ke dalam kelas yang sudah ditentukan. Kebetulan, saya bersama teman kelompok yaitu Gavin, Nina, dan Satya mengajar di kelas B. Saat masuk, saya dengan teman-teman yang lainnya dapat berbaur dengan cepat bersama dengan adik-adik di kelas B. Kami bernyanyi, belajar Menggambar bersama, dan tidak lupa kami pun mengedukasikan mengenai kebersihan lingkungan dan gaya hidup mencuci tangan dengan cara-cara asik kepada mereka juga kita mengajari mereka tentang perbedaan ras, suku, dan agama.

Adik-adik sangat kooperatif dan mengikuti dengan baik!. Saya sempat khawatir karena saya takut mereka berkemungkinan besar tidak bisa berbahasa Indonesia atau saya dan teman kelompok tidak bisa membawa suasana kelas dengan baik. Ternyata, mereka begitu menghargai kami. Rasa takut yang berlebihan membuat saya tidak percaya diri, namun karena nasihat Nina saya mulai mendapatkan kepercayaan diri saya kembali. Saat sesi terakhir di kelas, mereka sempat bertanya suatu pertanyaan yang sempat tidak terpikirkan di kepala saya. Seorang anak laki-laki mengangkat tangan dan bertanya “Kakak agamanya apa?” Saya dan teman sekelompok saling pandang. Kami pun menjawab pertanyaannya dan kami mengatakan kalau kita beragama Islam, kecuali Nina orang Nias yang beragama Kristen. Mereka tersenyum senang, mereka jarang sekali berjumpa dengan orang yang beragama non-Islam disana dan mereka suka bisa berjumpa dengan kami. Kami pun foto bersama dengan tersenyum lebar. Saya juga memberikan sebuah gelang dan pita kepada seorang murid yang bernama Sandra yang memiliki rambut keriting dengan kulit sawo matang yang terlihat imut jika tersenyum. Karena dia adalah anak paling pintar dan mengikuti pelajaran dengan baik.

Secara pribadi, ada perasaan takut tertolak atau hal buruk lainnya yang berkemungkinan terjadi di pikiran saya. Namun, semuanya tidak terjadi. Hal-hal negatif atau rasisme itu tidak saya alami selama melakukan kegiatan ini. Rasa takut tertolak atau rasa takut dikucilkan karena menjadi yang berbeda merupakan perasaan yang seharusnya tidak akan dimiliki seseorang di saat setiap kita mau terbuka dan saling menghargai perbedaan. Cara inilah yang menjadikan keberagaman Indonesia dapat berlangsung dan hidup terbuka dan menghargai.

Kisah ini senyata keberagaman Indonesia yang ada di tengah-tengah kita dan kita rasakan sendiri. Rasa aman, rasa diterima, dan rasa cinta keberagaman itu berasal dari saya, berasal dari kamu, berasal dari setiap kita yang tinggal di negara Indonesia ini. Indonesia adalah kita. Saya mau mengucapkan rasa terima kasih untuk setiap kita yang terus mau belajar menghargai, menerima dan mau menunjukan identitas kita tanpa rasa takut. Ini semua antara aku, kamu, dan keragaman Indonesia. Sekian dari saya, Halim dari SMPN 3 Surakarta

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Isla Halim Pasmawi

    Add comment