Soloensis

Perempuan dan Toleransi

IMG_0997
Birawati sedang berbagi kisah tentang puasa yang mereka jalani di waktu-waktu tertentu
Beberapa waktu yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk menghadiri acara buka bersama dengan para aktivis perempuan di lingkup provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara tersebut dilaksanakan di Postulat Novisiat Suster Carolus Borromeus di daerah Gejayan Yogyakarta. Sebenarnya, jika ditarik ke belakang, acara tersebut merupakan puncak dari serangkaian acara yang digelar oleh Perkumpulan Srikandi Lintas Iman, dengan acara sebelumnya berupa diskusi mengenai peran perempuan dalam keberagaman.  
Salah satu alasan mengapa saya cukup betah tinggal di Yogyakarta, dan sering bolak-balik dari Jogja ke rumah saya di Solo adalah, betapa kota itu mengajarkan saya tentang banyak hal, terutama tentang keberagaman. Baik soal agama, budaya, pemikiran, organisasi masyarakat, identitas gender bahkan orientasi seksual, yang dikemas dengan diskusi yang menyenangkan. Kita bisa duduk bareng, tertawa, minum kopi yang sama, sambil membicarakan latar belakang kita yang berbeda, tanpa ada salah satu pihak yang merasa diintervensi. Hal yang sulit saya temukan di rumah karena masyarakatnya yang cukup seragam. 
Dalam perjalanan saya untuk belajar, saya menemukan organisasi Srikandi Lintas Iman ini dengan visinya yang cukup konseptual, dan memang sedang dibutuhkan oleh negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja. Kita tahu, bahwa di setiap peristiwa -atau bisa saya katakan sebagai musibah- di negeri ini, perempuan kerap kali menjadi pihak yang paling dirugikan. Contohnya pada saat terjadi bencana alam, perempuan yang tidak pernah menyentuh pendidikan, dikarenakan keluarganya lebih mementingkan laki-laki untuk mengenyam pendidikan, berpotensi menjadi clueless tentang bagaimana beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, termasuk saat terjadi bencana alam. Ditambah dengan penanganan bencana alam yang sering kali kurang memperhatikan kebutuhan perempuan, menjadikan posisi perempuan semakin sulit. 
Sudahlah ditindas oleh patriarki dan kapitalisme, jangan ada lagi yang memecah belah perempuan, apalagi yang dikemas dalam narasi-narasi tafsir agama yang ekstrim, begitulah kira-kira. Acara buka bersama ini membuka pikiran saya betapa berpengaruhnya peran perempuan dalam menjaga toleransi keberagaman. Jangan dikira aktivis perempuan yang hadir pada acara ini hanya berasal dari kalangan mahasiswa, acara ini pun juga dihadiri oleh ibu-ibu, pemuka agama, womenpreneur, dengan latar belakang agaman yang berbeda-beda, bahkan juga single mom yang membawa dua anaknya sekaligus untuk hadir. Saya hampir menitikkan air mata, ketika melihat single mom, yang bahkan masih struggle untuk menghidupi anaknya, masih mau datang dan memperjuangkan nilai-nilai toleransi keberagaman. Melalui hal ini saya melihat bagaimana psikologis perempuan bekerja. Peran perempuan, terutama sebagai seorang ibu, memberikan ruang untuk menghayati pengalaman-pengalaman psikologisnya. Peran sebagai seorang ibu menjadikan perempuan terbiasa untuk tidak mementingkan diri sendiri, sabar dan rela berkorban. Perempuan juga mempunyai ciri khas berupa sifat open berupa sifat memelihara, yang mana sifat ini mendorong seorang perempua untuk tidak rnementingkan diri sendiri dan senantiasa bersedia mengorbankan segala sesuatunya untuk kelestarian lingkungannya, dalam hal ini adalah anaknya. 
Dengan adanya potensi-potensi sifat keibuan ini, tentunya kita berharap supaya kelak, sifat-sifat feminin yang mendominasi perempuan, bisa diterapkan dalam jangkauan yang lebih luas, yakni masyarakat. Dan kita berharap, semoga narasi-narasi pengarustamaan gender yang digaungkan oleh pemerintah, tidak hanya dijadikan sebagai ajang mencari suara perempuan, tapi juga benar-benar membebaskan ketertindasan perempuan oleh patriarki dan kapitalisme, yang sering kali dikemas degan wacana-wacana tafsir agama yang ekstrim. 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment