Soloensis

Menggali Makna dan Jejak Perjuangan Jurnalis Indonesia di Monumen Pers Nasional

sumber pribadi

Kunjungan mata kuliah Jurnalistik Elektronik ke Monumen Pers Nasional pada hari Kamis, 28 Maret 2024, merupakan momen berharga bagi mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kunjungan ini menjadi salah satu kegiatan yang mendukung pemahaman mahasiswa tentang sejarah dan perkembangan jurnalistik di Indonesia. Saat itu, kami tidak hanya sekadar berkunjung, tetapi juga menggali makna dan inspirasi dari sejarah panjang pers Indonesia yang terpatri dalam monumen megah tersebut.

Monumen Pers Nasional dulunya dikenal sebagai Societeit Sasana Soeka merupakan bangunan bersejarah yang terletak di depan bundaran Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro, Solo. Gedung ini kini menjadi museum sejarah di bawah pengelolaan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, menjadi salah satu peninggalan bersejarah di Kota Solo yang khususnya mengenai sejarah pers nasional di Indonesia. Monumen ini tidak hanya sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol keberanian, kejujuran, dan ketulusan para jurnalis dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Di balik dinding-dindingnya, tersembunyi kisah-kisah heroik yang patut dijadikan teladan bagi generasi penerus bangsa.

Mengulik sejarahnya, Monumen Pers ini dibangun pada tahun 1918 atas perintah dari KGPAA Mangkunegara VII, Pangeran Adipati Aryo Prangwedana, sebagai tempat pertemuan dan balai perkumpulan. Meskipun baru selesai pada tahun 1918, rancangan gedung ini telah diserahkan kepada Mangkunegara VII sejak tahun sebelumnya, yaitu tahun 1917. Arsitek yang merancang bangunan Monumen Pers adalah Mas Aboekasan Atmodirono, seorang arsitek asal Wonosobo.

Arsitektur monumen yang megah, dengan sentuhan modern yang khas, menjadi perwujudan dari semangat dan dedikasi para pejuang pers dalam menghadirkan informasi yang berkualitas bagi masyarakat. Museum yang terdapat di dalam monumen ini menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa bersejarah dalam dunia jurnalistik Indonesia. Dari ruang pameran, koleksi alat cetak lama, hingga digitalisasi majalah ataupun surat kabar, semua menggambarkan perjalanan panjang pers Indonesia yang penuh perjuangan.

Pada tanggal 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) didirikan di gedung Monumen Pers. Sepuluh tahun setelahnya, pada tahun 1956, beberapa wartawan terkemuka Indonesia mengusulkan pendirian sebuah yayasan yang akan menjadi wadah bagi pers nasional. Yayasan ini akhirnya resmi didirikan pada tanggal 22 Mei 1956, dengan sebagian besar koleksinya berasal dari sumbangan Soedarjo Tjokrosisworo.

Pada tahun 1973, nama Monumen Pers Nasional resmi ditetapkan, dan pada tahun 1977, lahan dan bangunan gedung Monumen Pers disumbangkan kepada pemerintah. Monumen ini kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 9 Februari 1978.

Bagi mahasiswa seperti kami, kunjungan ini menjadi momen refleksi diri untuk lebih memahami esensi jurnalistik. Mereka tidak hanya melihat secara langsung bagaimana jurnalis-jurnalis hebat bekerja, tetapi juga merasakan getirnya perjuangan untuk menyuarakan kebenaran. Melalui kunjungan ini, mahasiswa diharapkan dapat mengambil hikmah dan inspirasi untuk menjadi jurnalis yang berintegritas, bertanggung jawab, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Kunjungan ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar dari sejarah, bahwa kebebasan pers adalah hak yang harus dijaga dengan baik. Keberadaan pers yang bebas dan independen adalah kunci utama dalam menjaga demokrasi dan keadilan sosial. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang membawa semangat kebebasan pers ke masa depan. Melalui kunjungan ini, mahasiswa dapat mengerti bahwa menjadi seorang jurnalis bukanlah sekadar profesi, tetapi sebuah panggilan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Semoga kunjungan ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa untuk terus berjuang dalam menjaga integritas dan kredibilitas jurnalistik di Indonesia.

Penulis

Fatmawati & Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum.

Mahasiswi & Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNS.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment