Soloensis

Tidak Berjarak di Perbedaan

hand-drawn-compliment-illustration_23-2150212650
Gambar: Freepik

     Sejak usiaku sudah cukup mengenal keberagaman maka dari situlah banyak yang beragam di lingkungan sekitarku, hidupku sangat berdampingan dengan keberagaman hal itulah yang menjadikanku seseorang yang ingin mencari tahu arti keberagaman lebih lanjut dari cerita pengalamanku sendiri. Keberagaman yang ditemui olehku mengajarkan cara bertoleransi, menghargai, dan tidak berburuk sangka terhadap orang yang berbeda dari kita. Karena menurutku masih pentingkah kita berbeda? Tidak itu tidak penting bagiku karena kita terlihat sama dan dari yang berbeda kita menjadi beragam serta dipersatukan oleh keberagaman. Tetapi miris dalam perbedaan itu masih terdapat konflik yang harus dipecahkan dan inilah ceritaku “Tidak Berjarak di Perbedaan”.

     Namaku Anggeta Asy Syifa Kilau Putri, awal mulanya aku adalah seseorang yang menganggap apapun sama dan aku tidak merasa ada yang berbeda mungkin karena saat itu umurku tergolong masih bocil kata orang sih masih jadi bocah ingusan. Aku merasa adanya perbedaan saat aku menduduki bangku kelas III di SD Negeri Gemolong 1 terdapat siswa baru yang dimana awal kedatangannya aku merasa ada yang berbeda diantara kita. Aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya Ika Aulia Radisti ya itu namanya, cukup indah bukan? Aku mulai berkenalan “jenengmu sopo?” (namamu siapa?) ucapku dan dia membalas “teu ngarti abdi teh” (aku tidak mengerti mbak) dan benar saja ternyata kita berbeda, perbedaan diantara kita adalah tutur kata yang diucapkan yaitu bahasa daerah antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa dan kita memakai bahasa Indonesia untuk selanjutnya dalam berkomunikasi.

     Sebuah perkenalan itu menjadi awal kita berteman tanpa melihat perbedaan yang ada dan berlanjut menjadi teman di SMP NEGERI 1 GEMOLONG. Dia sudah mahir berbahasa Jawa saat di SMP karena dia sudah beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya sebaliknya denganku, aku tertarik belajar bahasa Sunda karenanya tetapi dari ketertarikanku ini aku masih harus berlatih lagi karena berbahasa daerah itu tidak semudah apa yang kita pikirkan sebelumnya. Dan aku takjub padanya, dia mau belajar seni karawitan Jawa karena dia tertarik walaupun dia berasal dari Sunda. Di extra karawitan dia memainkan alat musik bonang dan aku memainkan saron serta menjadi sinden atau vokal.

     Sayangnya kita tidak satu sekolah saat SMA dia kembali pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya begitupun aku, dia bersekolah di SMK KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG dan aku di SMA NEGERI GONDANGREJO. Di hari kelulusan sebagai siswa SMP tepatnya di gedung IPHI GEMOLONG dia berjalan kearah untuk berpamitan denganku belum sempat dia mengeluarkan kata dari mulutnya dia sudah memelukku dan menangis, saat itu juga aku kaget dan dia mulai berkata “get aku pamit sek meh ning Bandung, semoga koe iso diterima ning sma favoritmu ya” (get aku pamit dulu mau ke Bandung, semoga kamu bisa diterima di sma favoritmu ya) ucapnya sambil terisak dipelukanku, bagai ditusuk duri saat itu juga aku membalas pelukannya dan berkata “secepat itu ul? Aamiin kamu juga jangan lupain aku sering komunikasi ya biar kita ga asing, selamat berjuang di sekolah impianmu” ucapku membalas ucapannya, hal itu diabadikan oleh bundanya yang mempotret kita berdua saat itu, terakhir kita sama- sama melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Sayang sekali nasib kita sama, kita berjuang disekolah favorit namun gagal tetapi kita masih saling support dari kejauhan yang dipisahkan oleh pulau dan akhirnya kita mendapatkan sekolah yang sekarang, walau akhirnya tetap tidak satu sekolah.

     Sungguh ini berat untuk kita, kembali berpisah dan harus kembali ke daerah masing-masing. Kita memang berbeda asal, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Namun, hal itu bukanlah menjadi halangan bagi kita untuk terus bersatu dalam perbedaan. Bahasa Indonesia telah mempersatukan perbedaan bahasa di antara kami, seperti poin ketiga dalam teks Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Dan juga dari potongan lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa yaitu seperti berikut :“Satu nusa Satu bangsa Satu bahasa kita”

     Justru, perbedaan di antara kita ini sebagai pengikat, sehingga terbentuklah persatuan. Dengan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati. Inilah kita dapat semakin mempererat persatuan di antara keberagaman di Indonesia. Seperti semboyan bangsa Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

     Aku juga menyukai keberagaman seni di Indonesia oleh karena itu, aku suka menjelajahi seni apalagi di kota Solo (Surakarta) yang merupakan salah satu kota budaya disana berbagai seni tercipta. Aku berpartisipasi dalam seni aku mengikuti seni karawitan sejak dibangku SD kelas V dan berlanjut di SMP aku mengikuti extra karawitan lagi,aku juga mengembangkan seni itu dengan mengikuti extra tari di SMA NEGERI GONDANGREJO. Ternyata beragam perbedaan tarian dan lagu daerah yang ada di Indonesia menjadikan Indonesia kaya akan keseniannya, yang harus kita lestarikan dan budayakan.

     Disini aku juga mempunyai partner dalam mengeksplor budaya yaitu Chrysanta Arcelia Ellora dia bersekolah di SMA NEGERI 2 SURAKARTA, dia saudaraku namun kita berbeda kepercayaan yang dianut. Dapat dilihat dari namanya dia beragama katolik ya walaupun berbeda kita tetap saudara dan dia juga mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi terhadap keberagaman seni sama sepertiku. dia suka melukis dan dia dancer. Saat aku menginap dirumahnya, kita selalu berbagi cerita tentang pengalaman di kesenian. kita menyukai galeri seni dan pentas-pentas budaya. Dia juga mempersilahkan aku untuk sholat dirumahnya dan dia tidak keberatan dengan aku yang memakai hijab bagi dia kita sama dan kita saudara. Dan saat itu bertepatan dengan hari minggu dimana dia harus ke gereja untuk beribadah, aku memilih untuk sendiri dirumahnya sedangkan dia bersama orang tuanya pergi untuk beribadah serta tidak memaksa aku untuk ikut, sungguh indahnya toleransi keagamaan ini.

     Saat SMP aku juga mempunyai teman yang menurutku dia kurang beruntung karena dianggap culun, dia mendapat gelar culun karena dia adalah cowok yang memakai kacamata dengan lensa tebal dan dia tidak bersosialisasi dengan teman di kelas. Aku mulai merasa ada yang berbeda dengan dirinya, dimana saat itu dia membuat diriku berprasangka kepadanya. Dia mempunyai Ibu yang berhijab ya aku tau itu karena aku melihat dirinya yang dijemput oleh sosok perempuan paruh baya serta dia mengatakan “ibu selamat siang ayo pulang aku lelah” tetapi yang membuatku bingung adalah dia memakai kalung yang merupakan pertanda dia beragama nonis (katolik) yaitu kalung nimbus atau kalung salib dan aku mulai curiga padanya apakah dia sedang bermain-main dengan kalung itu? Atau dia tidak tahu arti tanda dalam kalung itu dan menganggap itu huruf T atau dia berbeda kepercayaan dengan Ibunya? Dalam benakku aku berpikir akan berkenalan dengannya agar aku tidak berprasanga lebih lanjut kepadanya.

     Saat dia duduk dibangku kelas sendirian pada jam istirahat aku menghampirinya dan mulai berkenalan dengan dirinya tetapi nihil dia hanya diam saja saat aku bertanya dengannya dan dia menundukan kepalanya tidak berani untuk melihat kearahku, aku berpikir ini hal yang wajar karena bisa saja dia tidak terbiasa untuk dekat dengan perempuan karena perbedaan gender yang ada apalagi dia anti bersosialisasi. Tidak menyerah saat itu juga aku berusaha mencari informasi tentang dirinya dan benar saja dia memang berbeda kepercayaan dengan Ibunya.

     Pada semester genap dikelas VIII F yang notablenya adalah kelas unggulan pada saat itu dia merubah penampilannya yang awalnya berkacamata menjadi tidak berkacamata dan terlihat tidak culun seperti biasanya fakta berikutnya yang baru ku ketahui yaitu dia juga bergabung dengan organisasi OSIS, ternyata dia tidak seburuk apa yang dipikirkan teman teman dikelas saat itu dan aku mulai memberanikan diri untuk bicara kembali kepadanya, siapa tau aku dinotice untuk sekarang. Dan benar dia menoticeku, aku rasa dia berbeda dengan sebelumnya, dia mau berinteraksi denganku dan dia mulai menceritakan kehidupannya.

    Tidak disangka dia menjadi teman dekatku saat ini kita berteman tanpa melibatkan agama, gender, dan latar belakang. Dia pernah berada dititik terendahnya yaitu dibully karena penampilannya yang memunculkan banyak prasangka buruk kepadanya sehingga dia sulit untuk melupakan perkataan-perkataan yang dilontarkan kepadanya, ternyata benar memaafkan itu mudah tetapi tidak dengan rasa kecewa dan luka yang akan tetap tinggal dan diingat oleh korban bully tersebut. Aku bersama kedua temanku yang bernama Ghaitsaa dan Rayfan datang dalam lingkungan pertemanannya (maaf untuk namanya tidak aku sebutkan) untuk berusaha menyenangkan dan menenangkan dirinya atau sebagai people pleaser.

     Kita mendengarkannya disinilah aku juga merasa menjadi pendengar maupun didengar yang endingnya kita berempat menjadi teman satu kelas lagi saat dirolling di kelas IX A yang notablenya juga kelas unggulan hingga sekarang kita yang berbeda-beda sekolahnya masih sering berkomunikasi, sekarang aku di SMA NEGERI GONDANGREJO, dia di SMA NEGERI 1 SURAKARTA, dan Ghaitsaa serta Rayfan di SMA NEGERI 1 GEMOLONG. Walaupun beda sekolah kita masih sering berkabar tidak lost contact atau asing karena kita sudah menjadi teman yang akrab dari suatu kebetulan.

     Aku mempunyai banyak teman perempuan maupun laki-laki aku tidak membatasi relasiku untuk berteman. Terserah saja diluar sana ada yang berpikir aku caper atau friendly karena ini hidupku dan aku berhak menentukannya. Karena aku suka keberagaman mulai saat aku mengenal keberagaman itu dalam hidupku sendiri dan dari pengalamanku. Aku juga tidak memiliki batasan dan jarak dalam perbedaan karena itu keberagaman yang sebenarnya sedang terjadi. Kita hanya perlu menganggap kata perbedaan itu sebagai sesuatu yang terlihat sama, berpikiran positif serta melakukannya dengan toleransi penuh.

    Aku pernah tergeser di SMA yang aku impikan sejak dulu hanya karena perbedaan jarak dan umur tetapi aku mencoba untuk menerima hal tersebut dan menjadikan suatu perbedaan sebagai hal wajar yang pasti setiap manusia pernah mengalaminya. Di SMA yang sekarang aku mulai beradaptasi dan bergabung dengan berbagai organisasi salah satunya adalah OSIS aku berkembang didalam organisasi tersebut serta aku berkenalan dengan berbagai orang yang tentunya berbeda dari kita dan aku berkesempatan untuk mengikuti workshop dari solopos yang bertemakan jurnalisme toleransi keberagaman. Yang tentunya aku excited dalam mengikuti workshop itu aku juga mendapatkan ilmu untuk mengeksplor lebih dalam tentang keberagaman yang tentunya tercetus kata “aku kamu kita semua berharga”.

     Jadi perbedaan itu ternyata hal yang umum terjadi, berdampingan dengan keberagaman tidak menjadi suatu masalah. Pernah dengar istilah Unity in Diversity kan? Mungkin lebih familier dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika? Ya, intinya sih sama aja. Merasa keren bukan kalau mendengar istilah itu? Kita merasa bahwa sebagai orang Indonesia yang memiliki berbagai macam keberagaman, kita mampu menjadi satu. Tapi apa kita mampu menjadi satu dalam keberagaman tersebut? Kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan diri di antara keberagaman yang ada merupakan sebuah kompetensi yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Sama seperti pepatah jawa yaitu “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” yang artinya hidup rukun pasti akan hidup santosa, sebaliknya jika selalu bertingkai pasti akan bercerai. Seperti apabila kita hidup di antara perbedaan yang sangat beragam kita harus bersatu dan berdamai dengan perbedaan itu. Maka kita tidak boleh berjarak di perbedaan.

 

Nama = Anggeta Asy Syifa Kilau Putri

 

Sekolah = SMA NEGERI GONDANGREJO

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Solopos Institute

    Add comment