Soloensis

Bangkit dari Luka Lama, Hargai Perbedaan Ciptakan Toleransi

20230309_114610_0000

  Masih terekam betul sebuah komitmen yang kuucapkan dalam hati, “mulai hari ini aku harus lebih percaya diri ketika bertemu orang baru, lupakan kisah lama yang menghambatmu melangkah maju. Bulan November 2022 sebuah bulan yang menjadi awal bagi diri ini untuk melupakan kisah lama. Aku merupakan pribadi introvert yang memiliki kepercayaan diri sangat rendah. Banyak cerita menyakitkan di masa lalu yang masih terekam di memori dan itu membuatku sangat takut dalam banyak hal.

            Sepertinya, istilah “goodlooking selalu mendapatkan perilaku yang baik dari semua orang” itu memang benar adanya. Namaku Tika, seorang introvert yang menjadi salah satu orang yang merasakan bagaimana rasanya tidak dipandang dan tidak dihargai karena aku bukan dari golongan “goodlooking”. Kala duduk di bangku SD, aku sering kali di bully teman-temanku karena hitam dan dekil. Merasa tersingkir dan tidak diterima sudah menjadi makanan sehari-sehari selama di sekolah. Pengalaman itu selalu membuatku takut ketika bertemu orang baru. Ketika duduk di bangku SMP, aku mendapat julukan “si black” dari teman-teman kelasku. Bagiku, julukan tersebut sangat tidak pantas bila disematkan pada seorang gadis remaja. Tetapi, apa yang bisa kuperbuat? Mau merengek seperti apapun, mereka juga tak akan peduli. Justru semakin menertawakan dan terus mengejek “si black si black.”

            Perbedaan perilaku dari teman-teman kelas juga aku rasakan ketika duduk dibangku kelas 10 SMA. Saat itu aku merasa tidak dihargai dan tidak dipandang sama sekali. Memulai hari pertama bersekolah di SMA, aku sengaja datang lebih awal agar mendapat bangku ternyaman yang aku inginkan. Benar saja, saat itu aku berhasil mendapatkan bangku yang menurutku nyaman. Tetapi, baru beberapa menit duduk, aku yang belum memiliki teman sebangku harus merasakan pengusiran oleh teman satu kelas. Aku diusir dari tempat dudukku agar mereka, 2 orang teman satu kelasku dapat duduk sebangku. Meskipun sudah ku tolak berkali-kali, tampaknya mereka tidak menyerah untuk membujukku. Hingga akhirnya aku merasa risih dan memutuskan pindah dibangku kosong lainnya.

            Selama hampir satu tahun berada di kelas 10, aku tidak merasakan kehadiranku diterima oleh teman sekelasku. Bahkan, teman satu bangkuku sendiri tidak suka denganku sejak awal duduk  di sebelahnya. Aku akui saat itu kondisi wajahku sedang tidak baik-baik saja, penuh dengan jerawat yang terus bermunculan setiap hari, ditambah kulitku yang hitam menggosong.  Banyak dari mereka yang tidak pernah mengajakku berbicara sama sekali. Beberapa temanku akan menghampiriku hanya ketika mereka butuh bantuan saja. Bahkan ketika ada tugas kelompok, seringkali aku tidak kebagian kelompok karena mereka selalu memilih kelompok sesuai dengan gengnya. Ya, di kelasku memang terbagi menjadi beberapa geng dan aku adalah orang yang tidak diterima di geng mana pun. Tetapi aku bersyukur, setidaknya di akhir semester 2, ada beberapa temanku yang mulai merangkulku dan mau menjadi temanku.

            Singkat cerita, saat berada di kelas 11, aku merasa terbebas dari penjara yang mengekang jati diriku yang sebenarnya. Pengobatan jerawat yang telah aku lakukan sejak di akhir kelas 10 membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Perlahan demi perlahan wajahku sudah tidak lagi timbul jerewat-jerawat yang mengganggu. Aku mulai merasakan kembali bagaimana keseruan dalam sebuah pertemanan yang sempat tidak kurasakan selama satu tahun ke belakang. Di kelas 11, aku memiliki banyak teman yang menghargai keberadaanku, bahkan selalu menantikan kehadiranku di tengah-tengah mereka.

            Meskipun pada saat kelas 11 dan 12 aku sudah tidak begitu mengalami perlakuan yang berbeda, namun tanpa disadari pengalaman-pengalaman buruk yang aku alami ternyata memberikan trauma dalam diriku. Ketika aku mau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, ada banyak ketakutan yang menghantui pikiranku, terutama dalam hal pertemanan. Aku takut kalau akan diperlakukan sama seperti kelas 10, aku takut kalau tidak punya teman, aku takut kalau tidak diterima dalam suatu kelompok, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Tapi mau gimana pun, aku tetap harus melanjutkan impianku, aku tidak ingin menghentikan mempiku hanya karena ketakutanku. Aku memantapkan diri untuk berani melawan rasa takutku, entah apa pun yang akan terjadi nanti aku bertekad untuk fokus sama pendidikan.

            Ketika memasuki perguruan tinggi, aku justru dihadapkan dengan teman yang memiliki berbagai perbedaan, baik dari daerah, bahasa, agama, budaya, dan lain sebagianya. Takut? Tentunya aku takut, takut bila susah beradaptasi dengan mereka. Tetapi, seiring berjalannya waktu aku bisa dengan cepat berteman dengan mereka semua. Aku merasa kehadiranku diterima oleh mereka. Bahkan ketika ada tugas kelompok, aku yang dulu tidak pernah didengar ketika mengeluarkan pendapat, saat kuliah teman-temanku mau menghargai dan menerima pendapatku. Hal tersebut, mampu menumbuhkan rasa percaya diri dalam diriku. Meskipun demikian, tetap masih ada rasa takut yang bersarang dalam diriku ketika bertemu orang baru di lingkungan baru. Untuk menghilangkan rasa takut tersebut, aku mulai mencoba memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman. Menantang diri terhadap hal-hal yang terasa begitu berat dan menakutkan.

            Awalnya memang sangat ragu melangkah, tetapi ketika mengingat diri yang masih payah ini, aku memantapkan mentalku untuk terjun menjadi anak rantau selama satu bulan mengikuti kegiatan internship di Jogja. Di sana aku bertemu teman-teman baru dari berbagai daerah dengan bahasa yang beragam pula. Aku berpikir bahwa akan butuh waktu lama untuk benar-benar bisa mengenal mereka, tetapi dugaanku salah. Baru dua hari bersama mereka, ternyata aku bisa langsung akrab dengan mereka. Bahkan di luar ekspektasiku, di hari-hari selanjutnya aku merasa sudah sangat mengenal mereka. Mungkin karena keseringan dalam melakukan pekerjaan serta aktivitas bersama, sehingga kami terbiasa untuk berinteraksi satu sama lain.

            Berbicara tentang bekerja secara tim, tentunya tidak luput dari adanya perbedaan pendapat diantara kita. Adanya lima pemikiran dalam lima kepala, terkadang membuat kita sering jengkel satu sama lain. Namun, bagaimanapun kita harus mampu menyerasikan pemikiran kita agar tugas dapat terselesaikan dengan baik. Untuk menghadapi perbedaan pendapat tersebut, harus ada yang mau mengalah. Berbicara baik-baik tanpa nada tinggi menjadi salah satu cara kita dalam melakukan diskusi. Beruntungnya, teman-teman internship mau saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Mereka mau menerima saran maupun kritik terhadap pendapat yang disampaikannya. Dengan sikap-sikap tersebut justru dapat membantu memperat hubungan pertemanan dan kerja sama kita meskipun baru mengenal satu sama lain.

            Hal-hal yang aku takutkan, seperti tidak diterima dalam lingkungan baru karena fisik maupun kapasitas otakku mulai menghilang karena pengalaman mengikuti internship. Di sana aku memahami bahwa masih banyak orang yang tidak memandang secara fisik dan kemampuan dalam berpikir kreatif. Meskipun aku sudah melihat adanya rasa saling menghargai dalam hal-hal tersebut di kampus, namun ketika mengikuti kegiatan internship semakin membuatku percaya bahwa masih banyak orang-orang yang mau menghargai perbedaan yang ada.

   Melihat banyaknya sikap toleransi dari orang-orang di sekitarku mampu mendorongku untuk bangkit dari kisa lamaku.  Sikap toleransi yang mereka tebarkan memberikan kedamaian dalam hidupku. Aku dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan mampu menghilangkan rasa insecure yang pernah bersarang dalam diriku. Menghargai perbedaan yang ada perlu diterapkan dalam kehidupan kita agar tidak ada orang lain yang merasa dirinya tidak berharga. Ciptakan kehidupan bertoleransi, berikan kedamaian dalam diri kita dan orang di sekitar kita.

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment