Soloensis

Tidak ada Seorang pun yang bisa memilih dia terlahir sebagai suku bangsa apa

47b71572740ea094e317ea9444ded000

Penulis : Rochela Margaretha Budiman

Sekolah: SMAN 8 SURAKARTA 

Indonesia adalah negara dengan berbagai budaya, ras, dan suku  bangsa, akan tetapi dengan berbagai suku bangsa di Indonesia bisa terjadi diskriminasi antara satu suku dengan yang lain. Salah satunya diskriminasi terhadap suku tionghoa, contoh kasusnya, pada masa orde baru tanggal 1985 dikabarkan seorang anak berinisial L, seorang gadis keturunan tionghoa yang berada di bangku sekolah dasar kelas 5 SD di bully di sekolahnya. 

Pada saat itu, si L tinggal di sebuah kota kecil di Sumatra Selatan dan bersekolah di SDN 75, saat ujian telah berakhir dan memasuki tahun ajaran baru, tiba-tiba saja si L dipindahkan oleh orang tuanya ke SDN 19 JARAB 1. Tanpa mengetahui alasannya si L menuruti kemauan orang tuanya. 

Pada awalnya, si L pindah dengan riang, tidak mengetahui perbedaan antar suku, ras, agama, antargolongan dan terlebih lagi tidak mengetahui apa itu diskriminasi SARA. Pada hari pertama saat si L duduk dibangku kelasnya, akan tetapi sang guru tiba-tiba memindahkan dia di bangku paling belakang dan didudukan bersama satu anak laki-laki yang kebetulan juga keturunan tionghoa, dan  hanya mereka berdua saja yang keturunan tionghoa di dalam kelas itu. Mereka berdua kemudian menjadi bahan bullying teman sekelasnya, bahkan oleh guru wali kelasnya. 

Saat beberapa hari bersekolah di sana si L tidak menyadari diskriminasi tersebut, namun dengan berjalannya waktu dia merasa ada ketidak nyamanan, selalu diejek dan jadi bahan bullying oleh teman sekelasnya dan gurunya. Suatu saat dimana dia diejek oleh teman sekelasnya dia berani untuk menegur temanya, tetapi bukanya meminta maaf, teman tersebut malah menarik tangan si L dan berkata “Kamu cindo kan ?” mendengar hal tersebut terkejutlah si L. Oleh gurunya dia juga sering di jelek jelekan, nilai rapot si L juga dikasih nilai yang jelek. Perlakuan yang dia alami juga dialami oleh teman sebangku dengannya, pada akhirnya teman sebangku dengan dia jarang masuk ke sekolah hingga akhirnya berhenti sekolah karena sering dijadikan bahan bullying. Sangat jarang kita bisa menemui anak anak keturunan tionghoa dapat sekolah di negeri karena di batasi oleh pemerintahan orde baru pada zaman itu. Zaman orde baru adalah zaman  dimana diskriminasi adalah hal yang biasa, zaman dimana adanya penanaman kebencian kepada ras dan suku tertentu terutama kepada suku tionghoa.

Si L yang merasa terasingkan di sekolahnya tetap menjalani hari harinya demi menamatkan sekolah. Setelah satu tahun bersekolah disana, si L yang awalnya seorang gadis yang riang tumbuh menjadi sangat pendiam dan tidak berani bercerita kepada orang tuanya tentang bullying yang dia dapatkan dari sekolah. Pelan-pelan situasi disekolahnya mulai berubah, karena si L adalah anak yang baik dan tidak nakal, dia mulai diterima di lingkungannya setelah menginjak kelas 6 SD. Namun rasa trauma yang dia alami mendorong dia meminta kepada orang tuanya untuk melanjutkan sekolah di sekolah swasta katolik setelah lulus. 

Setelah lulus, si L melanjutkan sekolahnya di sekolah swasta katolik, setelah sekolah disana untuk beberapa waktu si L benar-benar merasakan perbedaan sikap dan perilaku antara berada di sekolah dengan etnis tertentu dan dengan yang berbanding terbalik dengan multiculture, yang bisa menerima satu sama lain dan berbaur dengan baik. 

Sekarang si L telah tumbuh dewasa dan memiliki dua orang anak, beliau bercerita jika suatu hari dia pulang ke kampung halamannya dimana tempat dia dilahirkan dan melewati SD tempat dia tumbuh dan di bully dulu akan ada rasa rindu sekaligus perasaan lirih yang masih terasa. Dimana seharusnya seharusnya masa kecil adalah masa-masa yang bahagia dan tidak terlupakan, namun apa yang dia alami justru malah sebaliknya.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Rochela Margaretha Budiman Rochela

    Add comment