Soloensis

MERAYAKAN KEBERSAMAAN MELALUI KEBERAGAMAN

IMG_8215

Idulfitri  merupakan momen yang dinanti-nanti untuk bertemu, bersilaturahmi, dan melepas rindu dengan keluarga maupun kerabat dekat. Di keluarga Mawar, momen lebaran tidak hanya dinanti oleh para keluarganya yang beragama Islam, namun juga sangat dirindukan oleh keluarganya yang mayoritas nonmuslim.

“Bagiku Agamaku, Bagimu Agamamu,” ujar Ayahandanya.

Potongan QS. Al-Kafirun ayat 6 ini sudah ia dengar sejak dini. Ya, Ayahandanya sering kali mengajarkan hal tersebut, agar kelak putra-putri yang ia sayangi dapat menerima perbedaan yang ada pada keluarga besarnya.

 

Perkenalkan Seluk Beluk Keluarga Mawar

Taryadi (64) merupakan seorang kepala keluarga yang sudah purna dari pekerjaannya, PNS, di lingkungan Badan Tenaga Atom dan Nuklir Nasional. Beliau merupakan anak ke-empat dari sepuluh bersaudara, yang mana tumbuh di lingkungan keluarga Islam sejak lahir. Beliau memiliki garis keturunan Jawa-Cina dari buyutnya. 

Sri Supadmi (62), istri Bapak Taryadi, merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang mengurus dan merawat lima anaknya. Ibu Sri Supadmi, anak ke-empat dari enam bersaudara dengan darah Jawa. Sejak lahir, beliau tumbuh berkembang di lingkungan keluarga Kristen Nasrani yang taat. Ketika menikah dengan Bapak Taryadi, beliau memutuskan untuk mengikuti suaminya, menjadi seorang mualaf.

Tidak ada sama sekali penolakan dari keluarga besar kedua belah pihak. Orang tua, kakak, adik, semua turut mendukung keputusan Ibu Sri. Ketika menjadi mualaf, beliau berusaha untuk belajar mengaji, salat, mengenakan jilbab, dan puasa. Hingga saat ini, Ibu Sri sudah terbiasa pergi ke masjid untuk ikut kajian, salat, dan tadarus. 

 

Persaudaraan Lintas Iman

Wuk, tak tumbaske rukuh dingo bakdan,” ucap Bude.

Mbak, lebaran arep masak apa? Mengko tak rewangi masak,” ucap Tante

Begitu indahnya persaudaraan Ibu dengan keluarganya. Ketika lebaran, Mawar sekeluarga selalu datang ke rumah Kakung Utinya. Kakung, seorang pemeluk Kejawen dan Uti pemeluk agama Kristen, tetapi sungguh tidak ada bedanya mereka menyayangi Mawar sekeluarga. Lebih dari itu, Kakung Uti menunjukkan effortnya untuk menyiapkan segala pernak-pernik khas lebaran untuk anak cucunya. Mulai dari makanan, baju muslim, mukena, tempat salat, hingga peralatan makan yang dibedakan dengan mereka sehari-hari, agar tak perlu waspada dan menjaga kehalalan alat makan di rumah mereka.

Di waktu natal tiba, Ibu dan Bapak selalu mengajak Mawar berkunjung ke rumah Uti Kakung. Mereka bergantian membantu persiapan open house seperti memasak, bersih-bersih rumah, hingga memasang aksesoris dan pohon natal. Sebegitunya toleransinya mereka, tidak ada rasa benci sama sekali, bahkan ketika Uti Kakung menyiapkan B2 sebagai hidangan natal, tak lupa pula mereka membelikan keluarga Mawar makanan berupa bakso sapi, agar terjamin kehalalannya. 

Di keluarga Bapak Taryadi, yang mana awalnya memeluk Islam sejak lahir, kini menjadi tumbuh beragam. Kakak dan adiknya, memutuskan memeluk Kristen setelah menikah. Sementara adiknya yang lain memilih memeluk agama Katolik, mengikuti keyakinan suaminya. Darah lebih kental daripada air, walaupun berbeda tetapi sebagai kakak-adik mereka masih memiliki ikatan darah yang sama, sehingga itu tidak berarti memutus hubungan persaudaraan.

 

Pernikahan Antarsuku

Tidak hanya berbeda-beda dalam memeluk keyakinan, keluarga besar Mawar juga terdiri dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Dari  yang semua memiliki darah Jawa kental, adik perempuan Bapak Taryadi memutuskan untuk menikah dengan pria yang berasal dari suku Lampung. Adik perempuan Ibu Sri, yang jelas berdarah Jawa juga menikah dengan pria yang berasal dari suku Papua. Sedangkan kakak perempuan Mawar, memilih menikah dengan teman kuliahnya yang mana berasal dari suku Melayu. 

Keluarga mereka semua tampak bahagia, harmonis, tidak ada perbedaan yang berarti. Berbeda bukan suatu hal yang layak diperdebatkan. Segala suku tentu baik adanya, semuanya berjalan beriringan, saling mendukung, dan saling menjaga. 

 

Bersama Rayakan Keberagaman

Kok, keluargane Pak T kae do oleh yo maleh agamane?”

Kuwi bedo-bedo ngono kuwi kok akur yo?”

Wani-wanine maem ning nggone wong non, emang halal?”

Berbagai pertanyaan kerap menyerbu, entah dari tetangga, teman, atau orang yang baru tahu cerita keluarga Mawar. Ia tersenyum, santai, dan menjelaskan dengan baik bahwa berbeda bukan berarti salah satunya jahat, berbeda pilihan bukan berarti salah, justru perbedaan itulah yang menjadi penghias keluarganya. Tidak ada suku maupun agama yang mengajarkan keburukan, yang buruk adalah perilaku oknum ketika merendahkan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Itulah secuil kisah hidup Mawar, yang tumbuh dari keluarga dengan background suku dan agama yang beragam tetapi akan selalu merayakan kebersamaan bersama dengan keluarganya!

 

Stay positive, always spread love <3

-Yunia Mawar-

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment