Soloensis

Terkuak! Kisah Pecah Kongsi Salim-Djajadi soal Indomie

infografis-kisah-perjalanan-salim-grup-dihantam-krisis-98-dan-bangkit-lebih-tajir_169

Jakarta, Indonesia – Media sosial sedang ramai pembahasan tentang siapa pencetus Indomie sebenarnya. Ini karena suatu video AI viral yang membahas pencipta Indomie sebenarnya adalah pengusaha bernama Djajadi Djaja.

Sebab selama ini banyak orang mengira Indomie diciptakan oleh Sudono Salim alias Liem Sie Long karena perusahaan itu kini memegang produksi atas Indomie.

Benarkah demikian dan bagaimana peristiwa sebenarnya?

 

Awal mula industri mi instan Indonesia

Masyarakat Indonesia baru mengenal mi instan pada tahun 1968 usai PT Lima Satu Sankyu memproduksi Supermi. Dalam paparan majalah Historia dituliskan PT Lima Satu Sankyu adalah perusahaan hasil kerjasama perusahaan Jepang, Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha dengan PT Lima Satu milik Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis. Kerjasama ini berbentuk teknis hingga bantuan pengiriman tepung dari luar negeri.

Barulah dua tahun kemudian tepat pada 1970, Sarimi mendapat lawan baru, yakni Indomie. Indomie adalah merek mi instan produksi PT Sanmaru Food. Dalam paparan Arto Biantoro di Namanya Apa?: Memahami Kekuatan Nama Merek & Cara Menemukannya (2023) diketahui PT Sanmaru Food didirikan oleh Djajadi Djaja, Wagyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma, serta berada di bawah jaringan Grup Djangkar Djati. Grup ini didirikan oleh Djajadi Djaja, pengusaha asal Medan, pada 1964 yang kemudian juga ikut mendistribusikan Indomie lewat PT Wicaksana Overseas.

Persaingan bisnis mi awalnya berjalan biasa saja hingga akhirnya muncul pendatang baru, yakni Sarimi pada awal 1980-an. Sarimi didirikan oleh Sudono Salim lewat PT Sarimi Asli Jaya. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), alasan Salim terjun ke industri mi berkaitan dengan kelangkaan beras di Indonesia pada akhir 1970-an.

Semua orang tahu beras adalah makanan yang tidak bisa tergantikan oleh masyarakat Indonesia. Pada saat krisis beras sudah pasti pemerintah dan swasta berputar otak untuk mencari pengganti beras. Kebetulan ketika itu industri tepung di Indonesia berjalan positif usai berdiri pabrik tepung pertama di Indonesia, yaitu PT Bogasari, yang juga didirikan oleh Salim, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Keempatnya juga dikenal sebagai Gang of Four, persekutuan para pengusaha di era awal Orde Baru.

Pada titik inilah, Salim ingin memproduksi mi dengan tujuan mengganti beras sebagai makanan pokok masyarakat. Keinginan ini lantas disetujui oleh pemerintah sebagaimana dituturkan Piet Yap dalam memoarnya My Grains of My Life (2010). Pemerintah secara terang-terangan mendorong Grup Salim untuk mengampanyekan kelebihan mi dan roti kepada masyarakat.

Dari sini, Salim rupanya cukup serius soal produksi mi. Mengutip paparan Richard Borsuk dan Nancy Chng, Salim rela memesan 20 lini produksi dari pemasok Jepang. Setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mi instan. Artinya, ada miliaran bungkus mi yang diproduksi Grup Salim. Atas dasar ini, Salim cukup percaya diri menyaingi Supermie dan Indomie.

Namun, rasa percaya diri itu sirna ketika situasi berubah di pertengahan 1980-an. Tanpa diduga, stok beras Indonesia kembali membaik, bahkan di tahun 1984 sudah bisa swasembada. Cita-cita Salim mengubah makanan utama masyarakat dengan mi akhirnya gagal total. Semua yang sudah dilakukan, dari mulai membangun pabrik, berinvestasi, dan kerjasama, menjadi sia-sia. Dan semua itu tidak bisa dibatalkan, alias harus tetap berjalan.

Sadar bingung mendistribusikan miliaran bungkus mi instan, Salim lantas mendekati pesaingnya, yakni Djajadi, yang merupakan pemilik Indomie.

 

Persekutuan Salim & Djajadi

“Kalian konsumen [tepung] saya, kami punya kelebihan lini. Bisakah kalian melakukan sesuatu? Sebab saya tidak mau bersaing dengan kalian,” tutur ulang Anthony Salim saat mendekati Indomie, dikutip dari riset Richard Borsuk dan Nancy Chng.

Tawaran itu membuat Djajadi berada di posisi sulit. Dia tahu bahwa produksi Indomie bergantung pada Bogasari, tetapi dia juga tidak mau menerima tawaran itu. Alhasil, terjadilah penolakan oleh Djajadi, meski dia tahu menjadi pesaing Salim di Orde Baru bukan hal mudah. Dari sinilah, Sarimi bertarung melawan Indomie. Dalam pertarungan ini, Salim berani mengeluarkan biaya fantastis hingga US$ 10 juta untuk memasarkan produk mi dengan harga di bawah Indomie.

Singkat cerita, strategi ini pada akhirnya membuat Indomie takluk. Sarimi sukses menguasai 40% pasar mi instan Indonesia. Berkat kesuksesan inilah, Salim percaya diri dan kembali menawarkan proposal kerjasama kepada Djajadi. Namun, kali ini Djajadi terpaksa harus mengakui kehebatan Salim. Dia menyetujui tawaran tersebut dan sepakat membentuk perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada 1984. Di perusahaan itu Djajadi punya 57,5 % saham dan Salim 42,5% saham. CEO-nya pun masih orang dekat Djajadi, yakni Hendy Rusli.

romanobet Sebenarnya, apa yang terjadi antara Salim-Djajadi adalah strategi umum dari bisnis Grup Salim. Salim sering melakukan pengelolaan bersama dengan mitra bisnis dalam suatu grup usaha. Menurut Yuri Sato dalam Chinese Business Enterprise (1996), tujuan Salim melakukan ini untuk mencari keahlian teknis dari mitra-mitra tersebut di bidangnya masing-masing dan mencari dukungan finansial.

 

doreami188 Dalam kasus PT Indofood Interna, strategi ini berjalan lancar. Bahkan, perusahaan patungan ini sukses menguasai pasar dan mampu mengakuisisi merek kompetitor, yakni Supermi besutan PT Lima Satu Sankyu. Namun, seiring waktu terjadi perubahan pengelolaan di tubuh perusahaan.

sumber > cnbc indonesia

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment