Soloensis

Indahnya Menyatukan Keberagaman

ums accounting

Perkenalkan nama ku Novia, anak pertama dari dua bersaudara yang akan menginjak usia 27 tahun. Aku lahir di Wonogiri tapi dari kecil sudah mengeyam pendidikan di Solo. Aktivitas keseharianku membantu orang tua jualan di rumah. Kali ini Aku ingin berbagi sebuah pengalaman pribadi indahnya berteman dengan “toleransi” dan “keberagaman”.

Mengenal indahnya toleransi ku alami ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama sekitar tahun 2009. Aku mengikuti program les bahasa inggris di kota Solo. Ketika memasuki bimbel tersebut aku di penuhi rasa takut karena memiliki pengetahuan bahasa inggris yang minim sehingga aku kurang  memiliki kepercayaan diri.

Aku beranikan diriku berkenalan dengan teman teman baru. Satu persatu dari mereka bercerita alamat, latar belakang, hingga kegiatan mereka sehari hari. Yang aku ingat kala itu aku memiliki seorang teman bernama Ferdinan. Dia seorang keturunan Etnis Tionghoa. Dia berkulit putih bersih, wajah nya bundar, mata sipit. Aku mulai mengenal kata Toleransi semenjak mengenal Ferdinan. 

Ferdinan mengerti aku beragama islam tapi dia tidak pernah menjaga jarak atau membatasi pertemanan denganku. Meski kami bertemu seminggu hanya tiga kali, tapi kami selalu bebas bercerita apapun. Ketika bulan Ramadhan pun dia selalu mengingatkanku untuk segera berbuka puasa. Ferdinan memiliki seorang kakek filatelis atau pengoleksi perangko. Dia selalu membawa koleksi kakeknya ketika bertemu denganku. Pertemanan kami berjalan kurang lebih sekitar 1 tahun. Semenjak berpindah kelas bimbel kami tidak pernah bertemu lagi.

Setelah saya keluar dari bimbel les tersebut saya mendapati lagi keberagaman ketika menginjak bangku Perguruan Tinggi Swasta di kota Solo. Saya memiliki beberapa teman dari Makassar, Lombok, Palembang, Jambi bahkan Merauke. Yang paling berkesan adalah Salah satu teman saya dari Lombok selalu bercerita tentang bagaimana Lombok baik alam dan aktivitas keseharian mereka disana. Karena rasa penasaran saya yang tinggi,  Ketika liburan semester 4 saya bersama sahabat saya berkunjung ke Lombok sekitar tahun 2016 silam.

Pulau Lombok memang luar biasa. Laut nya masih begitu bersih , asri , biru berpasir putih. Disana saya bermalam 4 hari. Saya mengunjungi pantai mawun, selong belanak, tanjung aan dan masih banyak lagi. Satu hal yang saya ingat ketika itu perjalanan saya menuju air terjun benang kelambu. Dalam perjalanan saya melihat banyak sekali masjid- masjid dengan jarak yang berdekatan namun setiap masjid memiliki kubah kubah yang begitu indah. Hal tersebut masih jarang saya jumpai di wilayah saya masjid terpencil dengan kubah yang indah kala itu. Memang benar adanya  lombok di juluki dengan “negeri seribu masjid”. Selain itu, Saya melihat ibu ibu atau pun anak perempuan di daerah lombok tengah dekat air terjun mengenakan kain serupa jarik yang di lilitkan di tubuh mereka. Atasan mereka ada yang memakai kaos dan ada juga memakai baju santai lainnya namun di bawahnya selalu mereka lilitkan kain jarik sebagai penutup. Entah itu tradisi atau bagaimana namun bagi saya itu unik dimana di daerah jawa yang mengenakan jarik biasanya hanya orang tua jaman dulu kalau tidak orang keraton saja. Di Lombok saya melihat bentuk rumah adat desa sade dan tenun buatannya luar biasa indah.

Inilah pengalaman toleransi dan keberagaman yang pernah saya alami baik dari berteman dengan berbeda etnis dan mengunjungi wilayah berbeda suku dan pulau. Keberagaman bukan suatu hal yang buruk atau menjadi pemicu perpecahan tetapi juga sebagai pemicu adanya persatuan. Terkadang ada nya perasaan seperti Primordialisme, Etnosentrisme yang berlebihan membuat negara ini di landa begitu banyak konflik dan perpecahan satu sama lain. Sikap toleransi sangat perlu di ajarkan sejak dini kepada anak anak agar ketika dewasa mereka tidak merendahkan orang lain atau menganggap dirinya paling hebat tapi lebih bisa menghargai perbedaan satu sama lain. Terimakasih

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment