Soloensis

Tak Ada Yang Kalah dan Tak Ada Yang Salah

Meskipun pencoblosan sudah dilakukan, Hiruk pikuk Pilpres belum selesai. Quick-count yang menjadi acuan hasil Pilpres menjadi masalah baru. Capres #02 meragukan kredibilitas semua lembaga survei yang hasilnya memenangkan pasangan #01.
 
 
Kita harus kembali disajikan kompetisi politik yang menjengkelkan atau minimal menggemaskan. Semua serba abu-abu. Mana benar dan salah ditentukan persepsi atau opini yang diyakini benar bagi masing-masing pendukung. 
Alhasil, media sosial menjadi sampah bagi letupan amarah bagi masing-masing pendukung yang tidak terima dengan hasil ini atau yang merasa paslon idolanya sudah menjadi pemenang. 
 
Lantas kita harus bagaimana bersikap?.
 
Dalam satu sisi, demokrasi kita sudah maju ketika banyak masyarakat terlibat dan menyampaikan pemikiran nya. Tak salah data yang menunjukkan tingkat partisipasi Pilpres kali ini lebih dari 80% dan melebihi target (dari berbagai sumber). 
Namun prestasi ini harus menanggung konsekuensi resiko konflik cukup tinggi. 
Beberapa contoh yang bisa saya sebutkan adalah lahirnya kelompok cebong dan kampret, tinggi nya penyebaran informasi bohong (hoax), dan sekarang perang opini akibat beda persepsi soal hasil hitung cepat. 
Panasnya tensi dan tingginya polarisasi ditengah masyarakat nyatanya tak mengendorkan jiwa persatuan kita. Jika kita membuka media sosial barulah polarisasi itu akan terasa. Toh, faktanya ketika dunia nyata kita masih berteman dan kita masih sungkan bicara politik panjang lebar. 
Bahkan ada yang putus pertemanan (baca: meng-unfollow) di media sosial hanya karena komentar -komentar politiknya. Akan tetapi di dunia nyata masih berteman akrab. 
Sisi positif itulah yang saya lihat. Meskipun ada sisi lain bahwa memang masyarakat kita “cerewet” di media sosial. 
Terkait hasil quick-count, biarlah hukum yang menentukan. Kubu #02 yang merasa dicurangi sudah berada dalam jalan yang tepat untuk mengumpulkan bukti dan dibawa ke ranah hukum. Kita sebagai orang awam memang hanya secara kasat mata melihatnya. Kita bisa meyakini bahwa ini proses menuju pendewasaan ber-demokrasi. 
Yang penting sekarang bagi kita sebagai pemilih adalah meyakini apapun pilihan kita akan berguna bagi Bangsa kita. Pengumpul suara terbanyak nantinya akan ditetapkan sebagai Presiden. Dan satunya tentu kemungkinan besar akan menjadi oposisi. Atau bahkan dengan lobi politik tidak mustahil mereka yang berkompetisi akan “kongkalikong” untuk kepentingan yang baru. 
Jika kita meyakini itu, kita tidak perlu khawatir siapapun yang akan menang. Karena yang kita pilih adalah ide dan gagasan nya sebagai tokoh bangsa. 
Jika akhirnya nanti pemenang nya adalah #01, para pendukung #02 tidak perlu khawatir. Karena tokoh pilihan nya tetap bisa memperjuangkan ide dan gagasan nya melalui jabatan politis lainnya. Misalnya sebagai oposisi. Atau di parlemen sebagai pengawal kebijakan Pemerintah. Dan lain sebagainya.
Begitu pula sebaliknya jika akhirnya #02 pemenang nya, para pendukung #01 tidak perlu juga mengkhawatirkan nya. 
 
Jika sudah seperti itu, maka tidak akan ada yang salah dalam pilihan kita. Karena kita punya selera masing-masing dalam menilai Paslon #01 atau #02. Dan apapun hasilnya tidak akan ada yang kalah dalam usaha kita mendukung #01 ataupun #02. Karena yang kita dukung adalah ide untuk membangun Bangsa yang pada akhirnya semua akan terlibat dalam sistem politik lima tahun ke depan.
 
Selesai.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment