Soloensis

Jurnalis & Jurnalisme Harus Anti-Diskriminasi

Apa yang salah dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)? Dalam jurnalisme sama sekali tak ada yang salah dengan LGBT. Orientasi seksual adalah hak privat. Jurnalis dan jurnalisme tak punya hal dan kuasa mengurusinya, kecuali bila orientasi seksual itu mengganggu keamaman dan kenyamanan publik.
Itulah pemahaman saya ketika beberapa hari terakhir di banyak media massa dan media sosial saya membaca perdebatan tentang LGBT. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir yang dilansir banyak media massa dan diamplifikasi media sosial.
Saya tak berkehendak mencari konteks, ruang, dan waktu M. Nasir mengemukakan hal ihwal LGBT yang kemudian diamplifikasi menjadi “kebencian terhadap LGBT”. Standar etik profesi saya menyatakan LGBT adalah komunitas marginal., mereka “teraniaya” dalam arus besar pemahaman masyarakat yang anti-LGBT.
Silakan Anda cermati semua konten berita di banyak media massa dan amplifikasinya di media sosial yang membahas LGBT. Mayoritas mendiskreditkan LGBT. Mayoritas pendiskreditan itu dengan landasan pemahaman agama. Tak ada sama sekali kesadaran ihwal kemanusiaan yang memosisikan LGBT adalah “manusia juga”.
Dalam konteks jurnalisme, opini profesional saya menuntut setiap jurnalis dan aktivisme jurnalismenya berhati-hati, ekstra hati-hati, ketika memosisikan isu LGBT sebagai “fakta” penyusun berita.
Mengapa harus demikian? Saya beranjak dari kode etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi jurnalis, tempat saya bergabung, yang menyatakan “jurnalis menolak kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, orang berkebutuhan khusus atau latar belakang sosial lainnya.”
Kode etik AJI nomor 16 itu menjadi pijakan berpikir dan bertindak saya sebagai jurnalis profesional saat menulis isu LGBT sebagai fakta penyusun berita. Saya tak boleh mendiskriminasi LGBT hanya karena orientasi seksual mereka.
Dalam konteks praksis jurnalisme, siapa pun jurnalis yang menulis hal ihwal LGBT harus memahami kredo dasar anti-diskriminasi ini. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disahkan Dewan Pers salah satunya juga melarang wartawan bersikap diskriminatif.
Isu LGBT harus diposisikan dalam konteks dan kerangka “manusia dan kemanusiaan”. Ketika ada narasumber mendiskreditkan LGBT dengan segala argumentasi dan landasan berpikirnya–jamaknya ya wacana keagamaan–jurnalis tak boleh memosisikan pendapat narasumber itu sebagai kebenaran tunggal.
Disiplin verifikasi, tanpa prasangka, idependensi, dan segala macam kredo jurnalisme harus diterapkan dengan ketat. Opini mendiskreditkan itu harus diimbangi dengan pernyataan dari komunitas LGBT. Ingat, mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan.
Jurnalis dan praksis jurnalisme harus selalu ingat bahwa kaum LGBT adalah manusia yang harus dimanusiakan dan faktual mereka terpinggirkan, terdiskriminasi, dalam segala hal. Menjadoi jurnalis harus menjadi manusia “universal”, bahkan keyakinan berbasis pemahaman keagamaan harus “dilepaskan” ketika konteks praksis jurnalismenya adalah manusia dan kemanusiaan.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment