Soloensis

Teater Hukuman Mati

Tiga hari terakhir secara acak saya mengamati–tidak dengan metode khusus yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan–cara media massa, elektronik dan online, memberitakan eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah narapidana kasus narkoba.
Saya menangkap semacam ada selebrasi, perayaan, untuk hukuman tersebut. Kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, “perayaan” itu dimulai ketika Kejaksaan Agung mengumumkan rencana pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Perayaan menjadi kian intensif ketika nama-nama narapidana yang akan dieksekusi mati diumumkan. Yang jamak terjadi adalah segala sisi kemanusiaan si terpidana mati itu diungkap: siapa dia, apa kasusnya, siapa keluarganya, dan yang jamak pula adalah menggali bagaimana “perasaan” keluarga si terpidana mati itu.
Kian mendekati hati H jam J pelaksanaan eksekusi hukuman mati, media-media massa–utamanya televisi dan media online–kian intensif memberitakan. Ada semacam selebrasi terhadap hukuman mati iti.
Di televisi dan media online, “breaking news” menjadi sangat intensif.
Mobil ambulans yang menyeberang dari Cilacap ke Pulau Nusakambangan saka bisa menjadi bahan “breaking news”. Kedatangan keluarga terpidana mati jamak jadi semacam “teater kemanusiaan”. Kerangka berberita dan ber-breaking newsm yang saya tangkap mirip dengan “selebrasi bencana” yang mengedepankan “jurnalisme perasaan”. Mirip sekali.
Dari sisi teori jurnalisme yang saya pelajari sampai kini yang namanya urusan manusia memang selalu menarik, apalagi urusan nyawa manusia. Dalam konteks eksekusi hukuman mati, sisi paling menarik adalah: negara menentukan saat manusia–terpidana mati–harus mengakhiri hidup, negara menentukan cara mati, negara menentukan tempat mati.
Persoalan yang mengganggu pikiran saya adalah apa kerangka aksi “breaking news” yang intensif itu. Saya tak menemukan sebuah kerangka aksi, sebuah filsafat praksis, sehingga saya bisa “menikmati breaking news”yang bertubi-tubi dihadirkan dalam ruang kesadaran saya ketika saya menyetel televisi atau membuka media online.
Apakah selebrasi hukuman mati itu dalam kerangka praksis menuntut negara menghilangkan hukuman mati dari konstitusi kita? Apakah selebrasi hukuman mati itu dalam kerangka mempertajam efek hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera sehingga tak akan ada lagi orang berbuat kriminalitas sebagaimana para terhukum mati itu?
Sampai saat tulisan ini saya unggah, saya tak menemukan setidaknya dua arus besar kerangka aksi penyelenggaraan “breaking news” selebrasi hukuman mati itu. Dalam pemaknaan saya–yang mungkin sangat dangkal–selebrasi hukuman mati oleh banyak media massa kita itu hanya sekadar kehebohan yang banal dan latah sebagaimana kehebohan ketika seorang selebritas ketahuan selingkuh dengan seorang politikus.
Sungguh, dengan realitas demikian, saya cuma mengharapkan dua berita agar eksekusi hukuman mati tak jadi selebrasi nirmakna. Dua berita itu adalah (1). Pengumuman siapa saja terpidana yang dihukum mati dan hendak dieksekusi; dan (2). Pengumuman eksekusi mati telah dilaksanakan pada hari H jam J. Itu saja.
Diskursus tentang penghilangan hukuman mati jamaknya langsung menghilang setelah selebrasi hukuman mati berlangsung, padahal ini penting dijaga intensitasnya demi meningkatkan kualitas kebermanusiaan kita: masih layakkah hukuman mati itu?

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment