Soloensis

[Jon Koplo] Ngoplo Bersama Noer Ima Kaltsum

Artikel ini ditulis dalam rangka mengisi materi Berbagi tulisan di Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Interaktif. (Doyan jangan diganti dengan Demen). Banyak Ibu-ibu anggota IIDN yang penasaran dengan istilah Ngoplo di IIDN Solo. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Bismillahirrohmannirrohiim. Selamat malam Ibu-ibu dan mbak-mbak yang bergabung di Ibu-Ibu Doyan Nulis Interaktif. Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah karena sampai malam ini kita masih diberi nikmat kesehatan. Saya ucapkan terima kasih kepada mbak Widyanti Yuliandari yang telah memberikan waktu kepada saya untuk berbagi pengalaman menulis cerita humor. Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada mbak Siti Nurhasanah, Ketua IIDN Solo.

Sebelumnya, perkenalkan nama saya Noer Ima Kaltsum, biasa dipanggil mbak Ima. Profesi saya sebagai penulis dan mengajar mata pelajaran Kimia di SMK swasta di Kabupaten Karanganyar.

Saya bergabung dan aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis Solo. Untuk kepenulisan, sebenarnya saya cenderung menekuni menulis cerita anak. Akan tetapi sekarang sedang senang-senangnya nulis cerita humor dan mengisi kolom Jurnalisme Warga di Koran Solopos (kalau tulisan saya dimuat). Di komunitas IIDN Solo, saya identik dengan Ngoplo dan wartawan ala IIDN Solo. Sebenarnya ngoplo itu apa sih? Wah, pasti ada yang penasaran.

Bagi sebagian anggota IIDN Solo, Ngoplo adalah hal yang biasa. Ngoplo bikin ketagihan. Kalau sudah pernah Ngoplo lalu berhenti pasti akan merasa kehilangan sesuatu. Sedangkan bagi yang pelum pernah Ngoplo, pingin mencoba dan mencoba lagi. Tapi tunggu dulu, jangan berprasangka buruk dengan istilah Ngoplo ya.

Bagi Ibu-ibu IIDN Solo, Ngoplo itu artinya cerita humornya tembus di Koran Solopos (Koran lokal, sebagian besar pembacanya berasal dari Surakarta dan sekitarnya). Pada halaman pertama Koran Solopos, ada cerita humor dengan segmen Ah Tenane. Segmen Ah Tenane setiap hari selalu ada, kecuali hari Minggu.

Cerita humor ini adalah cerita yang diangkat dari peristiwa lucu dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan kisah nyata, bukan fiktif. Adapun tokohnya sudah ditentukan oleh redaksi dengan nama Jon Koplo, Tom Gembus, Lady Cempluk dan Genduk Nicole. Ah Tenane bernuansa Jawa sehingga bahasa tutur yang digunakan terdapat logat Jawa. Biasanya tokoh yang sering disebut adalah Jon Koplo.

Cerita lucu ini bisa menimpa pada pelaku atau korban, bisa merupakan cerita konyol, sedih, mengharu biru, dan gembira. Bisa merupakan kisah pribadi atau cerita orang lain. Pokoknya yang penting lucu.

Sebenarnya selain saya, sebagian dari anggota IIDN Solo pernah Ngoplo atau tulisannya dimuat di Ah Tenane, Solopos. Mereka yang pernah Ngoplo adalah mbak Candra, Siti Nurhasanah, Fitri, Arinta, Fafa, Ibu Astutiana, Yuni Astuti, Misb, Sholikhah, Zakiah, Yang Nofiar (yang belum saya sebut ngacung ya, halooo IIDN Solo). Menurut saya, terlalu berlebihan kalau saya dibilang Pakarnya Jon Koplo.

Saya memberanikan diri untuk menulis di sini setelah IIDN Solo berunding, siapa yang akan menampilkan tulisan tentang cerita humor ala Ah Tenane Jon Koplo. Kebetulan saya termasuk anggota IIDN Solo yang tulisannya sudah beberapa kali tembus di Ah Tenane. Oleh sebab itu saya dibilang sering ngoplo dan sering ketagihan. Jadi ngoplo di sini tidak ada kaitannya dengan obat-obatan terlarang.

Ada beberapa pokok tulisan yang bisa saya sampaikan, yaitu:

1. Menangkap ide untuk Ngoplo
Ide Ngoplo bisa dari mana saja. Saya memang selalu membuka mata lebar-lebar dan pasang telinga, terutama kalau ada orang yang bercerita. Mungkin bagi orang lain adalah cerita dianggap biasa saja, tetapi bagi saya cerita yang biasa itu bisa saya kemas sedemikian rupa sehingga cerita tersebut benar-benar lucu.

Beberapa Ngoplo saya berasal dari cerita teman, dan sebagian pengalaman pribadi. Oleh sebab itu kadang teman-teman meledek saya, atau dengan guyon mereka bilang kalau punya cerita lucu jangan cerita kalau ada bu Ima. Soalnya nanti bakal jadi duwit. Artinya, cerita lucu tersebut saya kemas dengan bahasa sederhana, bahasa ala saya. Hasilnya…. Tembus media lagi, Ngoplo lagi.

2. Apakah tema yang ditampilkan?
Tema yang saya angkat waktu Ngoplo bermacam-macam. Tidak terikat dengan satu tema saja. Biasanya kalau ada tema yang lagi hangat dibicarakan dalam keseharian, lebih cepat dimuat di Ah Tenane. Ini bukan hanya pengalaman saya. Misalnya, pas ada gempa bumi, atau bintang jatuh, di cerita humor Ah Tenane ternyata kisahnya tentang peristiwa itu.

3. Proses menulis/menuangkan ide
Menuangkan ide/gagasan bebas tanpa batas. Kita bisa menulis sebanyak-banyak apa yang akan diceritakan. Akan tetapi tulisan yang panjang tersebut juga harus memenuhi aturan penulisan di Ah Tenane. Di Ah Tenane, tulisan dibatasi hanya kurang lebih satu halaman kuarto dengan jarak antar baris 1,5. Oleh karena halamannya dibatasi, maka kita perlu mengedit. Bagian-bagian kalimat yang tidak efektif sebaiknya dihilangkan saja. Untuk memberikan kata kejutan, saya mengusahakan ada logat Jawa yang saya tampilkan. Kesan lucu akan terasa kalau kalimat tersebut disisipi logat Jawa (ditulis dengan huruf Italic). Meskipun cerita lucu tapi saya tetap memerhatikan aturan penulisan.

Pada akhir tulisan saya sertakan biodata, meliputi nama, alamat rumah, alamat surat, nomor rekening, NPWP.

4. Ke mana tulisan Ngoplo dikirim
Setelah cerita lucu tersebut selesai ditulis, saya mengirimkannya ke Redaksi SOLOPOS. Alamat emailnya : redaksi@solopos.co.id atau redaksi@solopos.com, dengan subjek : Ah Tenane_Nama_Judul. Sebenarnya memakai surat (cetak/fisik) juga bisa tapi ongkosnya mahal (perangko mahal) dan sampai di redaksi agak lama. Kalau pakai surel, lebih praktis dan lebih murah.

Mengapa saya mengirimkan ke Solopos? Karena nama tokohnya sudah jelas, tokoh dalam cerita humor Ah Tenane milik Solopos. Di Solopos, cerita humor ini tayang setiap hari kecuali hari Minggu. Jadi peluang untuk dimuat banyak. Apalagi semakin banyak yang kita kirim, cerita kita akan lebih banyak peluangnya untuk dimuat.

5. Pemuatan naskah Ngoplo
Berapa lama kita menunggu naskah kita dimuat? Itu tidak pasti. Kadang-kadang belum ada satu minggu naskah kita kirim, naskah sudah dimuat. Ada juga yang sudah enam bulan kita kirim, naskah baru dimuat.

Sayangnya, dimuat atau tidak naskah kita, tidak ada pemberitahuan dari Solopos. Kalau dimuat, kadang kita tidak tahu kalau tidak ada yang memberi tahu atau kita tidak membaca. Di kantor, saya aktif membaca Ah Tenane Jon Koplo. Kalau ada cerita teman IIDN Solo yang dimuat, biasanya saya beri tahu. Tulisan saya foto, lalu saya kirimkan lewat WA.

Pernah suatu hari saya repot mencari Koran karena di rekening terdapat tambahan rupiah. Ternyata naskah dimuat beberapa bulan sebelumnya. Hehe.

6. Berapa honor yang kita terima dari Ngoplo ini?
Kalau cerita Ngoplo ini dimuat, pasti senang dong. Senang karena nama dan tulisan saya dibaca banyak orang. Paling tidak saya dikenal orang. Kalau dimuat kan teman-teman saya langsung minta traktir. Biasanya saya menunda untuk jajan bareng. Mengapa demikian? Karena keluar honornya tidak pasti waktunya. Kalau mau segera cair, ya diambil langsung ke kantor Redaksi, Jl. Adi Sucipto, Solo. Kadang-kadang honor dikirim lewat wesel, tapi lebih sering lewat rekening.

Ngomong-ngomong, berapa honornya? Untuk menulis satu halaman kuarto, honornya cukup lumayan, yaitu tujuh puluh lima ribu rupiah (lewat rekening atau ambil langsung di kantor), kalau lewat wesel, saya menerima antara Rp. 63.000,00- Rp. 65.000,00.

Berapapun honornya, bagi saya yang penting tulisan saya dimuat. Tulisan dimuat di Solopos tentang Ngoplo merupakan kebanggaan tersendiri bagi IIDN Solo. Kata teman-teman kalau sudah Ngoplo maka sudah sah menjadi anggota IIDN Solo (yang ini candaan teman-teman).

Contoh cerita humor Jon Koplo yang pernah dimuat di Solopos:
Aksi Hanoman
Belum lama ini, Koplo, Gembus dan kawan-kawan mementaskan sendratari singkat Rama-Sinta. Pentas diadakan di Jl. Lawu, Jaten untuk menyambut datangnya Estafet Tunas Kelapa (ETK) dari Solo.
Di hadapan tamu undangan yang menunggu ETK, Koplo dan sohib-sohib beraksi, pertunjukan dimulai. Ada tiga kera, Hanoman, kera merah dan kera kuning. Saat itu waktu masih pagi. Karpet digelar di pinggir jalan. Pertunjukan sukses. Penonton dan tamu undangan bertepuk tangan.
Setelah ETK tiba di Jaten, ternyata Bapak Camat setempat meminta Koplo dan kawan-kawan pentas lagi. Koplo dan kawan-kawan beraksi lagi. Kali ini lebih semangat, bahkan permainan 3 kera termasuk Hanoman sangat aktif. 3 kera melompat ke sana-kemari dengan lincah.
Setelah pertunjukan selesai, akhirnya Koplo dan kawan-kawan meninggalkan panggung dadakan. Mereka kemudian maksi di warung makan.
“Kenapa kakinya pincang pak Koplo?”Tanya Cempluk
“Iya nih Bu Cempluk, tiga kera tadi kakinya lecet-lecet.”
“Pertunjukan yang sukses, bukan?”
“Jelas, donggg,”kata Gembus.
“Kita 2 kali main. Pertunjukan kedua lebih atraktif dibanding pertunjukan pertama.”
“Kenapa?”Tanya Cempluk penasaran.
“Pertunjukan pertama masih pagi, aspal belum panas. Nah pertunjukan yang kedua, udara panas, aspal panas, padahal karpetnya sempit. Kami tak memakai alas kaki. Nah, biar nggak kepanasan kakinya, kami lompat-lompat dengan sigap. Itu bukan atraktif/menghayati peran, tapi karena kepanasan. Hasilnya, kaki lecet-lecet.”
Oh, kirain atraktif dan menghayati peran, padahal menahan panas. Kasihan Koplo dan kawan-kawan.
00000

Demikian cerita perkoploan saya, cerita humor ala IIDN Solo yang semua ingin mencobanya. Semoga bermanfaat. Bila ada kekurangan dalam tulisan ini, mohon dimaafkan.
Selamat malam. Wassalamualaikum.

Apakah tulisan ini membantu ?

Noer Ima Kaltsum

Ibu Rumah Tangga, Ibu dari 2 anak. www.noerimakaltsum.com

View all posts

Add comment