Soloensis

Sang Konduktor Bangsa

Bagaimana generasi mendatang akan menilai kita? Itulah satu-satunya pertanyaan bagi negarawan. Tapi sebelum mereka menilai kita, lebih dulu mereka harus tahu siapa kita.” Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)

 

Jika Presiden Soekarno menjadi legenda dan Pahlawan karena sepanjang hidupnya memang selalu berada “di ingatan” jutaan rakyat Indonesia, maka Taufiq Kiemas tetap menjadi teka-teki (barangkali) karena ia selalu berada “di bawah tanah”, “di belakang pentas”, dengan sikap yang tenang dan sabar di tengah arus zaman yang justru sedang tergesa-gesa dan tak sabar!

Sampai di sini saya tak bisa untuk tak mengutip Yudhi Latif. Dia pernah mendeskripsikan: “TK merupakan jembatan antagonis yang menjadi titik temu dari berbagai arah mata angin.  Ia menampilkan dirinya sebagai solidarity maker dan match maker dari berbagai kepingan-kepingan kebangsaan”

Sejarah mencatat: Taufiq Kiemas menjadi Ketua MPR RI 2009-2014 berkat kepiawaian Taufiq Kiemas berkomunikasi dengan segenap parpol ketika kemudian secara aklamasi mendukung beliau menjadi Ketua MPR. Dengan posisi tersebut,  Taufiq Kiemas menggagas peringatan hari lahir Pancasila secara nasional pada setiap tanggal 1 Juni di Gedung MPR RI dan sekarang ditetapkan sebagai hari libur nasional atau hari lahirnya Pancasila.  Dengan posisi itu pula, ia tidak sulit menyampaikan gagasan dan menyosialisasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bnneka Tunggal Ika yang hingga sekarang menjadi agenda rutin MPR.

Taufiq Kiemas, yang akrab dipanggil TK, mulai merasakan ketertarikan kepada hal-hal yang berbau politik sejak mendengar Pidato Bung Karno pada usia remajanya,  “Aku kagum karena Bung Karno berani tegas dalam menjalankan gagasannya. Ia juga dengan tegas menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di masa itu,” tutur Taufiq Kiemas.  Belakangan, setelah merenungi peristiwa dan Pidato Bung Karno, Taufiq Kiemas menginsyafi, Bung Karno selalu menyelesaikan masalah politik dengan cara-cara politik.

Taufiq Kiemas, tentu saja, akhirnya memilih untuk aktif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) meskipun ayahnya adalah orang Masjumi. Bak mendengar gelegar petir di siang bolong, ayah Taufiq Kiemas, Tjik Agus Kiemas, begitu kaget mendengar info bahwa putranya telah masuk GMNI. Bukan hanya terkejut, Tjik Agus sempat sangat sedih dan sampai menitikkan air mata menghadapi kenyataan itu. Sang ayah tak habis pikir, mengapa Taufiq memilih masuk GMNI, bukan organisasi kemahasiswaan yang berasaskan Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Sang ayah pun memanggil anak sulungnya itu, menanyakan alasan Taufiq memilih GMNI Taufiq dikritik habis, sehingga kemudian menjadi semacam perdebatan yang alot. Pasalnya, Taufiq tetap merasa benar merasa dia adalah orang yang merdeka, sekaligus tanpa bebab. Akhirnya: sang ayah bisa memahami pilihan politik putranya itu. “Tapi, beliau berpesan agar aku siap menjalani konsekuensi pilihan politikku,” ujar Taufiq. Ayah dan anak itu pun berangkulan kembali.

Percaturan politik pada awal tahun 1960-an memang terasa membahana pada berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa ini Taufiq Kiemas mulai berjuang di GMNI. Pilihan Taufiq bergabung dengan GMNI kelak memberikan warna lain pada wacana dan perkembangan nasionalisme di Indonesia. Dalam skala yang lebih kecil: membawa warna baru bagi partai-partai berhaluan nasionalis. Dengan memilih aktif di GMNI, secara sadar Taufiq telah melakukan perantauan ideologis.

Masuknya Taufiq ke GMNI Palembang membuat organisasi itu semakin dinamis. Karena, Taufiq adalah sosok yang mudah bergaul, sehingga sangat cocok sebagai organisator di lapangan. Kepribadiannya yang supel dan senang membantu orang lain membuat Taufiq relatif mudah masuk ke berbagai lapisan pergaulan, baik di dalam maupun di luar kampus. Di titik inilah Taufiq memancangkan orientasi perjuangannya,  untuk menciptakan ruangan supaya di dalamnya orang yang lemah relatif dapat bergerak bebas.

Lewat pergaulan dengan para tokoh politik itu, karakter Taufiq sebagai politisi yang mencintai negerinya semakin terlihat jelas. Apalagi,  ia juga rajin menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh politik berbagai aliran, termasuk kalangan Islam dan militer. Seolah tanpa kenal lelah, Taufiq mendatangi mereka satu per satu, termasuk yang tinggal di luar Kota Palembang. Jadi, jejaring politik telah dirajut sejak awal Taufiq Kiemas terjun ke dunia politik, suatu hal yang dapat disebut panggilan untuk keksatriaan. 

Taufiq kemudian bergabung dengan Inti Jiwa Pembina Revolusi organisasi kader yang bertujuan menegakkan ajaran-ajaran Bung Karno. Di organisasi inilah ia berkenalan dan kemudian bersahabat dengan Guntur Soekarnoputra. Lewat aktivitasnya di organisasi kader inilah Taufiq dapat bertemu langsung dengan idolanya, Bung Karno. Pertemuan pertama mereka terjadi pada akhir Maret 1965. Ketika itu, Taufiq dan sejumlah aktivis GMNI Sumatera Selatan pergi ke Jakarta untuk mengikuti pertemuan kader pelopor PNI.

Peristiwa Gestok 1965  telah mengubah jalan hidup Taufiq Kiemas. Tak lama setelah pengumuman Dewan Revolusi oleh Kolonel Untung di Jakarta, 1 Oktober 1965, Taufiq dan sejumlah tokoh  nasionalis di Palembang ditahan. Pasalnya, garis politik GMNI ketika itu adalah membela Presiden Soekarno dari berbagai kekuatan politik yang berusaha menggerogoti wibawa dan kekuasaannya. Tak peduli apakah itu dari kalangan komunis, tentara, atau kekuatan politik lain. Pokoknya, siapa saja yang menyerang Bung Karno waktu itu dianggap musuh.

Suhu politik saat itu sedang panas. Isu anti-PKI mulai beralih menjadi anti-Soekarno. Kekuatan anti-Soekarno dan pro-Soekarno sudah berhadap-hadapan, bahkan sampai ke jalanan. Akan halnya tentara, terutama Angkatan Darat, baik secara diam-diam maupun terang-terang, memihak kalangan yang anti-Soekarno. Taufiq dan puluhan aktivis GMNI Palembang  dimasukkan ke dalam sel tahanan markas CPM Kodam Sriwijaya di Jalan Merdeka, Palembang

Ada hikmah yang didapat Taufiq dan kawan-kawan selama di dalam tahanan itu. Rasa senasib sepenanggungan semakin menyuburkan solidaritas di antara mereka. Dan karakter kepemimpinan Taufiq semakin terasah. Pernah suatu kali, seorang aktivis bernama Hasan jatuh sakit karena kekurangan gizi. Pasalnya, jatah makanan para tahanan saat itu cuma empat sendok nasi dengan sayur seadanya. Nurani Taufiq tersentuh. Ia mengusulkan para tahanan kelompok mereka menyumbangkan satu sendok jatah makanan masing-masing untuk Hasan. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, sakit Hasan keburu parah. Hanya beberapa hari kemudian, Hasan meninggal di sel tahanan. Kawan-kawannya sungguh berduka, termasuk Taufiq. Tapi, Taufiq kemudian membesarkan hati kawan-kawannya bahwa begitulah risiko sebuah perjuangan politik.

Tetapi bukan berarti Taufiq Kiemas selalu berpangku tangan. Setidaknya Taufiq Kiemas cermat membaca keadaan, persisnya membaca kecenderungan dan arah politik Lepas dari penjara. Taufiq Kiemas pindah ke Jakarta. Namun, ia tetap melakukan melakukan aktivitas politiknya dan kerap berinteraksi dengan Guntur Soekarnoputra, anak sulung Bung Karno. Juga kerap berdiskusi dengan aktivis GMNI dan para soekarnois yang lain. Namun, aktivitasnya terendus aparat keamanan rezim Orde Baru. Maka, tahun 1968, Taufiq kembali ke hotel prodeo. Ia dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Ternyata di rumah tahanan itu juga sudah banyak kaum nasionalis dan soekarnois yang juga dipenjarakan, termasuk Panda Nababan, wartawan yang mantan anggota DPR, yang ketika itu adalah mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta

Panda Nababan dalam pengantarnya menyatakan, Taufiq Kiemas, orang Palembang yang lahir di Jakarta, 31 Desember 1942, selama ini dikenal sebagai tokoh di belakang layar (the man behind the scene). Benang merah pemikiran Taufiq Kiemas berujung pada asas kerakyatan. Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat kecil dituangkan pada halaman 16-17. “Tanpa dukungan rakyat, aku tidak akan jadi seperti sekarang ini,” kata Taufiq. Pada halaman lain disebutkan contoh perjuangan Taufiq terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya, Taufiq Kiemas memelopori pembentukan koperasi tukang becak. “Mula-mula kami menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak itu.[1]

Pengalaman di penjara membuatnya semakin matang dan bijak, TK menjadi lebih sering mengajarkan untuk selalu menghargai pendapat orang lain, mendengarkan aspirasi dari manapun terlepas apakah satu ideologi atau bukan, dari mereka yang sudah sepuh atau masih muda. Pesannya, seseorang dalam hal apapun hendaklah tidak bersikap apriori bahkan sekalipun terhadap musuh. Sikap TK itulah yang membuat dirinya terbuka kepada siapapun, dan yang pasti pandangannya semakin pluralistik.

Bagaimana menyulam berbagai etnis, ras, suku, bahasa dan budaya di negeri ini menjadi kekuatan dalam berbangsa? TK berpendapat hal itu harus ditarik keluar dari kepompongnya. Dengan watak egaliter, secara sadar TK menjauhi kultus individu, sukuisme dan primordialisme sempit, seraya berseru dalam berbangsa dan bernegara hendaklah lebih berpihak kepada cita-cita keindonesiaan yang lebih luas. Misinya ini mempunyai signifikansi karena terbukti TK memberi warna lain dalam wacana dan perkembangan nasionalisme di Indonesia, dan di zaman now telah nyata ada suasana baru di partai-partai berhaluan nasionalis.

Gagasan dan tindakan tersebut merupakan respon Bung TK terhadap perkembangan situasi politik di masyarakat. Sebagai politisi, tentunya Bung TK memiliki insting untuk mengukuhkan eksistensi, mengonsolidasi posisi, dan sekaligus memperbesar pengaruh politiknya, baik di dalam partai (PDI dan PDI Perjuangan) maupun pentas politik nasional. Dalam bahasa popular yang sering disampaikan Bung TK sendiri: “Seorang politisi sejati itu nggak ada matinya”

Gagasan atau ide merupakan hal yang penting dalam dunia politik. Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden pertama Republik Indonesia, dalam salah satu pidatonya mengatakan: “…suatu ide yang agung dan luhur selalu menjadi lokomotif sejarah. Suatu ide kalau sudah masuk ke dalam kalbu dan pikiran sesuatu rakyat, dapatlah menjadi petir yang sambaran-sambarannya dapat menerangi angkasa sejarah. Malah guruh gunturnya masih akan terdengar, kalaupun sinar-sinar sambarannya lama sudah tak kelihatan lagi.”

Dalam konteks itu, salah satu gagasan Bung TK yang pantas dicatat adalah tentang menjadikan PDI Perjuangan sebagai “Rumah Besar Kaum Nasionalis”. Konsepsi “Rumah Besar Kaum Nasionalis” ini sejatinya merupakan aktualisasi gagasan-gagasan Bung Karno tentang keindonesiaan dan nasionalisme. Bung Karno sendiri pernah menegaskan suatu kondisi bahwa menerima Pancasila dan menerima Indonesia hanya bisa dilakukan apabila kita menerima keadaan pluralisme. Dengan demikian, jelaslah bahwa Pancasila merupakan simbol pemersatu (sign of unity) karena ia berada ditengah-tengah landscape anthropologis dan sosiologis yang berbeda-beda dan beragam.

Berbicara soal kepemimpinan dan karir politik Ibu Megawati, tidaklah mungkin tanpa melihat peran penting suami dan teman seperjuangannya, H. Muhammad Taufiq Kiemas.  Mulanya, banyak orang memberikan penilaian pada Pak Taufiq, sebagai: “pemain di belakang layar” the man behind the scene, istilah yang rentan disalah-pahami.  Jangan sampai beliau dipandang sebagai tokoh yang kapasitasnya memang hanya bermain di belakang layar, tanpa kemampuan tampil kepermukaan interaksi politik.  Buktinya, Pak Taufiq berhasil menjadi Ketua MPR RI, yang di tangannyalah MPR RI begitu piawai dan berwibawa atas semua lembaga negara lainnya.

Adapun berbagai tindakan politik yang dilakukan tak terlepas dari kesadaran Bung TK sebagai seorang pemimpin politik. Bagi beliau, menjadi pemimpin politik didasari keterpanggilan untuk memperbaiki bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Kepemimpinan politik yang negarawan sangat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Layaknya seorang negarawan, Bung TK senantiasa memikirkan yang terbaik bagi bangsa dan negara dan memegang komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi kebangsaan, kerakyatan, bahkan kemanusiaan universal.

Dalam perjalanan hidupnya hingga menduduki jabatan publik sebagai Ketua MPR, Bung TK telah mengalami pasang surut serta pahit-manisnya pentas politik nasional. Dalam rentang waktu kehidupan itu berbagai gagasan dan tindakan yang berkaitan dengan dunia politik lahir dari seorang TK. Meskipun kandungan Empat Pilar bukan barang baru, tapi ia telah membangkitkan spirit baru bagi bangsa kita untuk semakin yakin pada kebenaran ideologinya dan semakin gigih menegakkannya. Inilah arti kehadiran Taufiq Kiemas sebagai pengagas Empat Pilar.

Taufiq Kiemas pernah mengatakan, seluruh warga negara harus bangga sebagai bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai falsafah negara. Tentu, dengan tiga pilar berbangsa, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Taufik mengharapkan empat pilar berbangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak hanya diomongkan di seminar, tetapi dipraktikkan. Semboyan pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942 silam itu sederhana tapi mendalam, “Kekuasaan tanpa ideologi ibarat pernikahan tanpa cinta.”.

Bahkan Bachtiar Effendy (Guru Besar UIN) pernah memuji Empat Pilar Bangsa Indoneisa dengan  menegaskan, tidak mudah untuk memimpin Indonesia yang sangat heterogen. Bahkan jika seorang Obama, Bill Clinton maupun George Washington disuruh memimpin Indonesia, “Mereka pasti kebingungan”. Tetapi untungnya, Indonesia memiliki empat pilar negara yang bisa menyatukan semua perbedaan yang ada dan dengan perbedaan itulah Indonesia bisa bertahan sampai kapanpun.

Menurut Budiman Sudjatmiko, Pak Taufiq Kiemas selaku penerima Bintang RI Adi Pradana juga berkontribusi nyata dalam merawat keberagaman. “Karena latar belakang keluarga beliau juga majemuk. Ayahnya seorang anggota Masyumi yang beraliran Islam, ibunya aktivis MURBA yang beraliran sosialis”. Salah satu warisan (legacy) berharga Pak Taufiq ialah menjadikan Pancasila lebih ramah, lembut sekaligus progresif. Sehingga dasar negara kita tersebut bisa diterima oleh aktivis HAM, penggiat pluralisme, dan pejuang kemanusiaan. “Padahal pada zaman Orde Baru, Pancasila dipakai sebagai legitimasi untuk memenjarakan para aktivis pro demokrasi dan pada era Reformasi, Pancasila dipandang sebelah mata.”

Untuk memperjuangkan nasionalisme dan kesejahteraan rakyat, Pak Taufiq memainkan peran sebagai jembatan Nasionalisme. Dengan peran itu, ia berhasil meredam dkotomi antara kelompok Islamis dan Nasionalis, apalagi dengan latar belakang keluarga Masyumi, ia tidak sulit untuk membawa nama dan gagasan Ibu Mega ke kalangan tokoh-tokoh Islam. Suatu ketika, ia menyatakan pandangannya bahwa jika PDI Perjuangan ingin berhasil menegakkan nasionalisme dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, baik sebagai penguasa maupun sebagai wakil rakyat, niscaya harus menjalin kerjasama dengan tiga elemen bangsa, yaitu umat Islam, militer dan sesama parpol nasionalis. Bahkan ditambahkannya menjadi empat, yakni tanpa melupakan realitas suku Jawa sebagai suku terbesar di negeri ini.[2]

Sikap TK itulah yang membuat dirinya terbuka kepada siapapun, dan yang pasti pandangannya semakin pluralistik. Boleh jadi inilah yang di kemudian hari menjadi alasannya lebih menerima Hamzah Haz dari partai berasaskan Islam untuk menjadi wakil presiden mendampingi Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri dibanding calon lain dalam perebutan wapres kala itu. Padahal dari pandangan partainya (Partai Persatuan Pembangunan, PPP) Hamzah Haz ini yang tidak setuju sosok perempuan menjadi presiden.

Tetapi TK ingin membuktikan bahwa pluralisme dua ideologi Islam dan nasionalisme,  bisa bersatu seiring-sejalan demi untuk kejayaan bangsa. Kebangsaan adalah kesadaran diatas keberagaman yang disebut sebagai satu bangsa. Kesadaran berbangsa dan bernegara dibangun dengan nasionalisme, bukan primordialisme. Tetapi lebih didasarkan pada cita-cita bersama kehidupan berkebangsaan,

Watak egaliter, terbuka, tapi sekaligus nasionalis akan melahirkan kultur demokrasi gotong royong, dan ini terdapat pada figur TK. Hal demikianlah yang membedakannya dengan banyak tokoh nasionalis lain yang cenderung feodalistis serta menjaga jarak. TK mendobrak mitos historis, seolah untuk menjadi nasionalis seseorang harus Islamofobia; menjadi nasionalis berarti harus berhadapan dengan Islam. Pikiran sedemikian sesungguhnya sesat dan menyesatkan. Islam tidak mengajarkan dikotomi, bahkan terhadap sebutan Islam abangan dan Islam santri. Pemahaman palsu demikian yang selalu memperhadapkan antara Islam dengan nasionalisme.

Bertolak dari prinsip itulah, maka PDI Perjuangan kemudian membentuk ormas sayap Islam, Baitul Muslimin Indonesia, yang adalah gagasan cemerlang dari Taufiq Kiemas.  Dengan hadirnya ormas Islam tersebut, maka komunikasi antara Ibu Mega dengan tokoh dan pemimpin ormas Islam seperti Prof. Dr. Syafii Maarif, Prof. Dr. Din Syamsuddin, K.H. Hasyim Muzadi, dan Prof. Dr. K.H. Aqil Siraj semakin intensif. Keterbukaan Pak Taufiq dalam pergaulan dibuktikan pula dengan kemampuannya berkenalan bahkan bersahabat dengan tokoh-tokoh di partai lain.  Misalnya, jauh sebelum dibentuk  Baitul Muslimin, Pak Taufiq sudah berhubungan baik dengan K.H. Aqil Siraj yang waktu itu adalah orang penting di PKB. Bergaul dengan ulama, beliau pun tidak mengalami kendala psikologis, sebab pengamalan agamanya bagus, sebagai kata K.H. Aqil Siraj: “saya lihat shalatnya luwes, baca Qur’an cukup pasih, sementara waktu wukuf di Arafah  dia baca Qur’an terus. Dari pergaulan yang cukup dekat inilah saya jadi tahu TK sangat terbuka, mudah bergaul, dermawan dengan siapapun.”[3]

TK terus bergerak menyebarkan pluralisme, mendorong kemampuan setiap komponen bangsa dalam mengakomodasi berbagai perbedaan dapat menemukan jalannya. Ide dasar Baitul Muslimin Indonesia adalah membuat jembatan penghubung ke partai yang akan mengaktualisasikan nilai-nilai pluralisme, sehingga tidak ada lagi dikotomi nasionalisme dan Islamisme. Bagi TK, jika mereka yang berlatar belakang (aktivis) Islam secara sadar bersedia bergabung dengan partai nasionalis, maka wacana pluralisme dalam genggam nasionalisme itu telah menemukan aplikasinya.

Sebenarnya, upaya Pak Taufiq untuk mendekatkan keluarga Bung Karno sekaligus ajaran-ajarannya ke kalangan tokoh-tokoh Islam, bukan semata-mata karena faktor keterbukaan dirinya, melainkan yang terutama ialah karena ajaran Bung Karno itu sendiri memang sejalan dengan ajaran Islam.  Bagi tokoh Islam yang mendalami ajaran Bung Karno pasti akan berkesimpulan seperti itu.  Pak Hasyim Muzadi misalnya, mengaku mengikuti pemikiran Bung Karno secara utuh: “Demikian itu, karena saya memandang apa yang diperjuangkan Islam adalah sama dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno”.[4] Lebih dari itu, Pak Din Syamsuddin menambahkan bahwa sikap Pak Taufiq banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga Bung Karno sebagai warga Muhammadiyah, yang perhatian dan kepeduliannya kepada ormas Islam dan umat Islam sangat besar.  Untuk itu, PDI Perjuangan memang tidak boleh meninggalkan Islam karena justru mayoritas pendukungnya adalah umat Islam.[5] Bahkan lebih tegas lagi, Pak Frans Seda justru memperkuat bahwa Pak Taufiq tidak menginginkan sama sekali Islam dipojokkan, sehingga selalu berusaha agar orang-orang PDI Perjuangan bisa lebih dekat dengan kalangan Islam.  Pokoknya: “Dia tidak mau timbul kesan seolah-olah PDI Perjuangan meninggalkan Islam”.[6]

Apalagi perhatian Bung Karno terhadap Islam begitu bergairah di zaman kemerdekaan. Berbagai gagasannya tentang Islam masih sangat relevan hingga kini.Presiden pertama Indonesia yang akrab disapa Bung Karno ini mengedepankan esensi dan substansi Islam ketimbang simbol-simbol Islam yang kaku. Ia menyalakan, apa yang ia sebut sebagai, api Islam. Ia ingin menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran universal sebagaimana visi etik Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad.

Sebagai pencetus Pancasila dan merumuskan nilai-nilainya, ia mengadopsi apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah sebagai petun­juk urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat. Pancasila itu salah satu wujud bagaimana Bung Karno menerapkan visi etik Al-Quran dan sunah nabi itu. Dalam melihat Qur’an, ia juga tak mau memahaminya secara harfiah, tapi kontekstual untuk kemudian dirundingkan dengan konteks zaman dan keindonesiaan. Ia berpegang pada “api Islam” bukan “abu Islam”. Sebab, baginya, hanya ‘api’ yang bisa memberikan kepastian bahwa agama itu hadir membawa pencerahan, perubahan, dan pembebasan. Sementara ‘abu’ hanya menyisakan keberagamaan yang jumud, stagnan, puritan, dan ramai sebatas pekik upacara ritualistik.

Bung Karno mendalami Islam saat berada di Endeh. Bahkan menurut H.A. Notosoetardjo dalam Rakyat Bertanya Bung Karno Menjawab, ia menekuni pengetahuan Islam berawal saat dari Penjara Sukamiskin kemudian dilanjutkan dengan lebih intensif saat pembuangan di Endeh. Ia baru mulai mengeluarkan berbagai pendapatnya di media massa mengenai masalah-masalah Islam saat ia dipindahkan ke Bengkulu. Dalam berbagai tulisannya tentang Islam itu tampak pengetahuan Bung Karno tentang Islam begitu luas dan mendalami persoalan. Selain melahap berbagai buku dari para ulama di berbagai negeri Islam, ia juga murid dari tokoh utama Sarekat Islam: Tjokroaminoto.

Jelas bagi Bung Karno, dua sumber utama Islam adalah Kalam Allah dan Sunah Rasul. Dari dua sumber ini pula para ulama mengambil kesimpulan hukum. Dari dua sumber utama ini pula kita mesti menyalakan api Islam. Menurut Bung Karno, Al-Quran dan Hadits itu tidak berubah. Bahkan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas.” Tapi pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi, dinamis, mengalir. Pemikiran Soekarno yang dapat dikatakan  merepresentasikan pemikirannya secara keseluruhan  terhadap Islam yaitu Islam yang modernis, rasional, progresif, pluralis, humanis dan substansial. Paradigma ke-Islam-an semacam itulah yang dibutuhkan umat Islam Indonesia kini. Paradigma yang berbasiskan pada api Islam, bukan abu nya.[7]

Islam is progress: Islam itu kemajuan!” Soekarno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang  ‘kembali ke era khalifah’  sebagai tolok ukur kemajuan Islam. Ia juga menolak  interpretasi  hukum syariat secara kaku karena hal itu akan menyebabkan umat Islam menentang modernitas. Progresifitas Soekarno juga terlihat ketika ia menanggapi  adanya pemikiran sebagian orang islam yang hanya memperhatikan hal-hal yang tidak substansial dalam agama. Terkait hal tersebut, Soekarno memang seorang Muslim yang modernis dan rasionalis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam.[8]

Dalam amanatnya kepada para kader HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965, Presiden Sukarno menguraikan situasi gawat pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Termasuk soal korban-korban pembantaian anggota dan simpatisan PKI di banyak tempat di Indonesia. “Saudara-saudara, negara ini terancam retak terutama sesudah Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebab, manakala negara ini pecah, Islam di Indonesia juga akan ikut menderita kerugian,[9].

Khusus mengenai Islam, Sukarno mengakui terkadang sedih melihat orang Islam yang tidak mengerti ajaran Islam. Misalnya, di Jawa Timur, banyak anggota PKI, anggota Pemuda Rakyat, atau hanya simpati saja kepada PKI, dibunuh. Jenazahnya di-kleler-kan tergelatak di pohon, pinggir sungai, bahkan dicemplungkan ke sungai. Tidak ada yang berani mengurusnya karena diancam akan dibunuh. Padahal, hukum mengurus jenazah adalah fardu kifayah.[10]

“Yang mau ngerumat (mengurus) anak-anaknya si korban pun diancam. Padahal ngerumat anak yatim itu pun adalah perintah agama Islam. Agama Islam itu malahan boleh dikatakan agama untuk, ini sekadar sebutan, anak yatim. Sebab, dalam ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis nabi disebut peliharalah yatim,” kata Sukarno. Oleh karena itu, Sukarno meminta, alangkah baiknya dari kalangan mahasiswa HMI yang mengetahui hukum-hukum Islam cobalah turba (turun ke bawah) ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, memberikan penerangan kepada umat Islam di sana agar jenazah tidak di-kleler-kan.[11]

“Sebab, saudara-saudara, dit kan niet zo door gaan (ini tidak bisa terus-terusan dengan cara begini). Kalau terus-terusan bukan saja Islam mendapat noda, umat Islam, juga negara kita terancam pecah…, we are going to hell,” kata Sukarno. Sukarno mengingatkan dengan menyitir sejarawan Edward Gibbon (1737-1794) dan Arnold Toynbee (1889-1975): a great civilization never, never goes down unless it destroys itself from whitin, “satu peradaban yang besar tidak akan hancur kecuali jika merusak dirinya sendiri, memecah diri sendiri, aku berkata, merobek-robek dadanya dari dalam.”[12]

“Buat mahasiswa Islam dan seluruh mahasiswa oleh karena mahasiswa lebih banyak membaca buku daripada orang-orang lain, pegang ucapan Gibbon dan Arnold Toynbee itu,” kata Sukarno. Menurut Sukarno kejayaan dan kejatuhan masyarakat Islam karena “bukan saja karena bab ijtihad ditutup, salah satu sebab yang amat dalam sekali, tetapi juga karena umat Islam gontok-gontokan satu sama lain.” Di bagian akhir amanatnya, Sukarno meminta kepada kader HMI: jangan gontok-gontokan dan pergilah turba untuk mengurus jenazah-jenazah karena itu fardu kifayah dalam agama Islam.[13]

Melihat sejumlah gagasan cerdasnya, serta kepiawaiannya memimpin lembaga negara MRPR RI, maka tidaklah tepat jika Pak Taufiq Kiemas diposisikan sebagai the man behind the scene.  Adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra yang termasuk menolak jika Pak Taufiq hanya diposisikan seperti itu. Bagi Pak Azyumardi, Pak Taufiq bukan the man behind the scene, melainkan: “the man who games political influence for Megawati, without official position in the party seseorang yang berusaha mendapatkan pengaruh yang lebih luas bagi kepentingan (ideologi-pen) Megawati tapi tidak dalam posisi yang resmi dalam partai”[14]

TK, layak dicatat sebagai salah satu pelaku sejarah yang melakukan eksperimentasi langsung tentang pluralisme. Pada tahun 1970-an, tatkala almarhum Cak Nur giat mengampanyekan kajian pluralisme dan pola hubungan keindonesiaan dan keislaman. TK telah mengambil tindakan nyata meleburkan dikotomi Islam versus nasionalisme di Indonesia. Islamisme yang sejak pra-kemerdekaan selalu diperhadapkan dengan nasionalisme, bagi TK justru disatu-padukan. Maka dari itu Rabu, 20 Januari 2010 di Hotel Borobudur TK didaulat menjadi Anggota Kehormatan Korps Alumni Himpunan mahasiwa Islam (KAHMI) padahal TK bukan Alumni HmI tapi karena “Di tubuh Pak Taufiq ini melekat dua nilai, nilai GMNI dan HMI, nilai ke-Indonesia-an dan ke-Islama-an,” ungkap Akbar Tanjung.

Ironis tentu sangat ironis kondisi bangsa Indonesia hari ini ditengah perpoiltikkannya dengan mengerasnya polarisasi kelompok sekuler vs relijius, Ada kelompok-kelompok  kepentingan, para penunggang bebas, yang memanfaatkan politik untuk mendorong kekuatan Islam keluar dari bingkai berbangsa dan bernegara. Politik menjadi persaingan, konflik, dan adu kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik menjadi pembasmian, politik menjadi hanya “kami” menghadapi “mereka”. Bila begitu, harapan politik untuk membentuk “kita” akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis.

Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media sosial, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma. Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran.

Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di jangat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan laku mereka. Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun. Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran. Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan, stigma bisa bertahan lama.

Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ‘neoliberal’, ‘liberal’, ‘sekuler’, ‘kafir’ dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih, bahkan jadi mustahil. Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa menjepit dan menjerat bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri. Pada saat ini bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin.

Maka dari itu kita perlu meneladani TK yang dalam berbagai kesempatan, politikus senior yang juga mantan ketua MPR RI ini selalu konsisten mengampanyekan empat pilar kepada seluruh komponen bangsa. Suami Megawati Soekarnoputri ini juga dikenal sangat piawai dalam membangun komunikasi politik dengan siapa saja, tidak peduli aliran politik, golongan, agama, suku-bangsa, dan sederet keberagaman lain di Bumi Indonesia. Taufiq Kiemas adalah teladan bagi banyak orang. Dia adalah salah satu negarawan yang berkomitmen memperjuangkan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di tengah hiruk-pikuk pragmatisme politik

Taufiq adalah politikus yang berpikir dan bertindak melebihi politikus senior pada umumnya. Karena kecintaannya terhadap bangsa dan negara, Taufiq tidak pernah canggung untuk bertemu dan berdialog dengan siapa saja, mulai masyarakat kecil, aktivis pemuda, mahasiswa, para pejabat, hingga rival-rival politiknya. Maka tidak heran jika Taufiq disebut guru politik yang langka. Muridnya banyak, orang-orang yang merasa menjadi kawan pun tak kalah banyak.  Taufiq adalah sosok yang selalu melihat persamaan dalam setiap perbedaan. Begitulah kesan-kesan yang terpancar dari raut muka tokoh-tokoh dan khalayak setelah kepergian almarhum.

Bagi generasi muda yang mungkin belum banyak mengenal Taufiq, suatu saat pasti akan mengenalnya dari tinta emas rekam jejak yang telah dia torehkan dalam perjalanan hidupnya. Taufiq memang dikenal sebagai politikus PDI Perjuangan, namun sepak terjangnya didedikasikan untuk bangsa dan negara. Kita berharap negeri ini tidak kehabisan sosok politikus yang negarawan seperti Taufiq. Memproduksi politikus yang andal bukanlah hal sulit. Banyak politikus muda yang cakap dan mumpuni yang menduduki jabatan-jabatan strategis saat ini. Akan tetapi, menciptakan politikus yang negarawan bukanlah pekerjaan gampang. Diperlukan perjuangan dan pengorbanan besar jika seorang politikus ingin menjadi negarawan.

Tentu akan ada ruang kosong sepeninggal Taufiq Kiemas dalam kancah politik nasional di tahun krusial menjelang Pemilu 2019 ini. Namun, masyarakat berharap kekosongan itu akan segera terisi oleh sosok-sosok negarawan lain yang bertekad mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara. Sampai sekarang pun, masyarakat masih berharap ruang-ruang kosong yang ditinggalkan para tokoh bangsa seperti Soekarno, Mohamad Hatta, Jenderal Sudirman, Gus Dur bisa segera terisi.  Diharapkan, kaum mudalah yang akan mengisi ruang-ruang kosong itu, agar perjalanan bangsa dan negara ini ke depan semakin terang benderang. Kita sadar setiap tokoh pendahulu memiliki dimensi ruang dan waktu sendiri. Tantangan dan beban berat yang dipikul pun berbeda satu dengan yang lain. Namun, mereka memiliki kecintaan yang sama akan tegaknya NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 45. 

Kehilangan sosok sekaliber Taufiq Kiemas adalah kesedihan yang dalam. Namun, kesedihan itu harus diikuti oleh lahirnya generasi negarawan- negarawan baru yang semakin matang dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. TK sebagai negarawan yang berpikir dalam hitungan abad, bukan warsa, apalagi bulan. TK ibarat negarawan persis seperti James Freeman Clarke mendefinisikan negarawan, yang menurut Freeman berbeda dengan politisi yang hanya memikirkan soal pemilu yang akan datang, negarawan justru memikirkan generasi yang akan datang.

 

Tetapi, sudah jelaskah siapa Taufiq Kiemas dan di mana ia berada dalam kesadaran sejarah kita?


[1] Panda Nababan, Tanpa rakyat pemimpin tak berarti apa-apa : jejak langkah 60 tahun Taufiq Kiemas, Pustaka Sinar Harapan, 2002, Hal 16-20

 

[2] Haq, H. (2015). Mengabdi Bangsa Bersama Presiden Megawati. Jakarta: BAMUSI PRESS  Trimedya Panjaitan, dkk.,op.cit., h. 42

[3] Haq, H. (2015). Mengabdi Bangsa Bersama Presiden Megawati. Jakarta: BAMUSI PRESS  Trimedya Panjaitan, dkk.,op.cit., h. 43.

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Panda Nababan, Tanpa rakyat pemimpin tak berarti apa-apa : jejak langkah 60 tahun Taufiq Kiemas, Pustaka Sinar Harapan, 2002, Hal 250

[7] Karya Soekarno ,Resensi buku Islam Sontoloyo,. Pikiran-pikiran Sekitar Pembaharuan Pemikiran Islam

[8] Karya Soekarno ,Resensi buku Islam Sontoloyo,. Pikiran-pikiran Sekitar Pembaharuan Pemikiran Islam

[9] Bonnie Triyana dan Budi Setiyono  kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara

[10] ibid,

[11] ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14]   Haq, H. (2015). Mengabdi Bangsa Bersama Presiden Megawati. Jakarta: BAMUSI PRESS. Trimedya Panjaitan, dkk.,op.cit., h. 222.

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Add comment