Soloensis

Generasi Muda Bidan Kelahiran Bahasa

Kalimat “Gegara telat makan, tetiba jadi pusing” tentu sudah tidak asing bagi pengguna bahasa Indonesia, khususnya kaum muda. Kalimat tersebut sebenarnya berasal dari “Gara-gara telat makan, tiba-tiba jadi pusing”. Gegara dan tetiba mulai banyak digunakan pengguna bahasa Indonesia pada tahun 2015 dalam komunikasi sehari-hari, terutama melalui media sosial.

Gegara dan tetiba merupakan bentuk yang tidak menyalahi aturan bahasa Indonesia. Dalam ilmu morfologi gegara dan tetiba merupakan bentuk reduplikasi dwipurwa. Reduplikasi dwipurwa adalah pengulangan suku kata pertama pada sebuah leksem dengan pelemahan vokal. Contoh lain reduplikasi dwipurwa adalah lelaki dan tetamu. Bentuk tersebut berasal dari bentuk laki-laki dan tamu-tamu. Ada pula contoh lain reduplikasi dwipurwa yang menggunakan afiks (imbuhan), misalnya bentuk pepohonan dan bebatuan yang berasal dari pohon-pohon dan batu-batu.

Meskipun tidak menyalahi aturan bahasa Indonesia, gegara dan tetiba belum masuk sebagai lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga gegara dan tetiba belum termasuk sebagai kosa kata baku Bahasa Indonesia. Gegara dan tetiba masih termasuk sebagai ragam bahasa tidak baku bahasa Indonesia.

Fenomena berbahasa yang unik dan kreatif sangat dimungkinkan terjadi karena kekayaan bahasa Indonesia membuat pengguna bahasa menjadi lebih kreatif dalam menciptakan bentuk baru yang unik dan menarik. Bentuk gegara dan tetiba merupakan wujud kreatifitas pengguna bahasa dalam membentuk sebuah kata. Hal ini perlu diapresiasi karena pengguna bahasa turut memperkaya kosa kata bahasa Indonesia dengan menciptakan bentuk-bentuk baru.

Belakangan juga mulai muncul bentuk baru yang serupa dengan gegara dan tetiba, yakni bentuk tetugas dan bebuku. Bentuk tersebut berasal dari tugas-tugas dan buku-buku. Hal ini juga semakin menunjukkan, bahwa pengguna bahasa memiliki daya kreatifitas yang sangat tinggi dalam memodifikasi suatu bahasa.

Gegara, tetiba, bebuku, dan tetugas merupakan bahasa gaul yang digunakan oleh kaum muda sebagai kosa kata dalam komunikasi sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan, bahwa bentuk-bentuk baru yang serupa akan muncul di kemudian hari. Hal ini dapat terjadi karena bahasa bersifat dinamis. Maksudnya, bahasa tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Perubahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tataran, baik fonologis, morfologis, sinataksis, semantik, maupun leksikon. Sayangnya, kedinamisan bahasa ini juga memiliki sisi negatif karena beberapa kosa kata yang dianggap sudah tidak akrab bagi pengguna bahasa cenderung jarang digunakan, bahkan tidak pernah digunakan. Hal ini akan berujung pada kepunahan bahasa.

Lantas bagaimanakah nasib gegara, tetiba, bebuku, dan tetugas selanjutnya? Akankah kosa kata tersebut menjadi baku dan masuk sebagai lema KBBI ataukah akan hilang dengan sendirinya karena pamornya meredup dan tergantikan oleh kosa kata lain?

Apakah tulisan ini membantu ?

Ririn

I love reading and I love writing!

View all posts

1 comment