Soloensis

Bersama Solopos

Mungkin akan terdengar aneh, kelak, atau barangkali cukup menakjubkan: menulis pengalaman berkoran cetak di suatu era yang cukup cepat bergerak ke media digital, dari paper society ke paperless society. Memang sudah cukup banyak yang meramalkan, mesti sungguh belum begitu yakin apalagi diyakini penuh, bahwa era media cetak sudah menjelang nasib senjakala. Abad 18, dan khususnya abad 19 dan 20, adalah abad media cetak. Dan prestasi media cetak, seperti yang dikatakan almarhum Ben Anderson (1936-2015), menghasilkan suatu bayangan imajinasi kebangsaan (imagined community): kita terhubungan dengan sanak-saudara satu kebangsaan kita berkat kehadiran media cetak, meski sungguh kita tidak pernah saling kenal apalagi bertatap muka. Namun, ini sudah abad 21, dan dunia tampak bergegas dengan media digital. Media cetak perlahan, sangat perlahan barangkali, menghampiri kita namun sungguh masih mempunyai kekuatannya. Mungkin seperti kisah kecil ini, yang aku alami bersama Solopos.

***
Malam itu sudah sekitar jam 7. Aku mendapatkan telepon dari redaktur Solopos. Aku sedang membaca buku, seperti biasa, setelah dari Perpustakaan Pusat UNS, sampai akhirnya tertidur. Sang redaktur, yang kemudian aku ketahui bernama Ichwan Prasetyo, memintaku untuk mengirimkan foto. Tulisanku ternyata mau dimuat di rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos. Aku memang mengirimkan tulisanku siang itu, Ekspresi Pemuda, untuk memperingati hari Sumpah Pemuda tahun 2008, tapi aku tidak melampirkan fotoku. Terpaksa aku harus bergerak mencari warnet dari rumah kontrakan masku yang di dekat kelurahan Sangkrah, menuju daerah di depan sekitar Mangkunegaran, kalau tidak salah, Global Net, nama warnetnya.

Besoknya, aku mendapati tulisanku sudah dipajang di halaman Mimbar Mahasiswa. Itu adalah tulisanku yang pertama dimuat di media massa. Saat aku membacanya kemudian, betapa terasa aku terkesan ingin mengetahui banyak hal tentang apa yang terjadi pada gerakan politik mahasiswa dalam konteks kekinian dan terutama secara global yang, meminjam istilah keren bagiku waktu itu dari pemikir Francis Fukuyama, sudah mendekati “akhir sejarah” (the end of history). Aku mendapati pemikiran Fukuyama dalam beberapa artikel lama, dan akhirnya berhasil membaca penuh dalam buku yang diterbitkan Freedom Institute dan YOI, Amerika dan Dunia Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional (2005). Sebelum membaca esai Fukuyama ini, aku sudah pernah membaca gagasan dasar Fukuyama yang diterbitkan Qalam di Perpustakaan Permata. Perpustakaan ini dikelola teman-teman organisasi mahasiswa Katolik yang bermarkas di sekitar RRI Surakarta. Koleksi buku perpustakaan ini lumayan berkelas, tapi pengunjungnya sangat sedikit. Dulu aku ngonthel ke sana dari Sangkrah.

Gagasan utama tulisan berasal dari pamflet politik Tan Malaka, Semangat Muda, yang terbit tahun 1926. Gagasan Tan Malaka yang sangat marxis tapi nasionalis itu aku dapatkan dari sebuah situs di internet yang khususnya mengumpulkan karya-karya pemikir marxis dari seluruh dunia. Dalam tulisanku, jelas gerakan politik mahasiswa sudah tidak bisa lagi bersifat politik praktis, sungguh tidak marxis lagi seperti yang disodorkan Tan Malaka. Lagi pula, sekarang bentuk-bentuk politik mahasiswa sudah sangat beragam. Barangkali, inilah tulisan politikku yang pertama.

Sejak saat itu, aku terus mengirimkan tulisanku ke Solopos, dan lumayan cukup sering dimuat, selain juga mulai belajar mengirimkan tulisan ke media massa lain. Dan, terutama mulai mempelajari Solo dalam berbagai aspeknya.

***

Saat datang ke Solo, pertengahan tahun 2005, aku tidak membayangkan bakal kuliah di Universitas Sebelas Maret, nama yang sungguh tidak sesuai dengan panggilan singkatannya, UNS, dan yang membuatku merasa salah kampus sejak pertama mendaftarkan diri di dua jurusan yang hampir sama: sastra Inggris dan pendidikan bahasa Inggris. Sebenarnya aku ingin kuliah hukum atau ekonomi, tapi berkat pendidikan pesantrenku yang sedikit banyak sangat berurusan dengan hukum Islam dan agak anti pemikiran ekonomi (sayang sekali!), akhirnya hanya mendaftarkan di dunia jurusan itu.

Di kampus ini, aku mulai mempelajari jurnalisme. Selama pondok di Sidoarjo, aku hanya membaca berita dan mengkliping kolom-kolom yang dimuat di Jawa Pos dan Duta Masyarakat—juga tak perlu tahu kalau ada koran atau majalah berita lainnya. Tentu saja saat itu aku hanya mencuri koran pesantren, tidak membeli. Tak terbayangkan seorang santri membeli koran saat itu, bagiku yang tak pernah begitu akrab dengan koran atau media cetak lainnya, kecuali televisi, juga radio. Di kampus, aku mulai memahami apa itu berita, sistem produksinya, dan segala macam seluk beluk berita, berkat semangatku yang cukup lumayan untuk membaca buku-buku, berkat ikut pers mahasiswa.

Pada saat mengikuti pelatihan jurnalistik, aku mulai sadar bahwa di Kota Solo ada koran lokal Solopos yang, saat aku mulai masuk kampus, sudah begitu kuat pamornya, bahkan sangat cukup kuat di lingkungan kampus UNS. Cukup banyak pembicara yang didatangkan berasal dari Solopos, selain media lainnya. Semakin aku membaca perihal sejarah media massa di Indonesia, aku semakin sadar bahwa Solo ternyata mempunyai sejarah pers yang panjang dan begitu mewarnai sejarah Solo bahkan Indonesia.

Perlahan, aku mulai memposisikan diriku sebagai warga Solo, meski sudah sejak awal diterima di UNS, aku sudah pindah ke Solo secara formal dengan pindah KTP (Kartu Tanda Penduduk) ke Solo. Pada awalnya, semua ini hanya untuk mempermudah mengurusi berbagai administrasi, tapi semua ini ternyata membuatku semakin ingin mempelajari Solo. Di sinilah, aku semakin membutuhkan membaca Solopos, juga semakin cukup sering menulis untuk Solopos, meski tak sering dimuat.

Dalam kehidupan mahasiswa di Solo, juga di Indonesia secara umum, aku pikir, ada sesuatu yang tampaknya agak aneh dalam budaya akademik. Teman-teman mahasiswa yang begitu ingin menulis, sebagian besar bergerak ke dalam dunia jurnalistik untuk mengungkapkan gagasannya. Bukan menulis di jurnal-jurnal akademik, yang memang tidak pernah menjadi institusi yang kuat di Indonesia. Barangkali, hal ini karena sejarah pers di Indonesia lebih bersemangat perjuangan atau “bersemangat perlawanan” (adversary journalism) sejak awal kemunculannya, seperti yang pernah dikatakan Daniel Dhakidae (1977), khususnya yang digagas oleh intelektual awal Indonesia. Banyak polemik besar dari intelektual Indonesia sebagian besar muncul di media cetak, bukan di jurnal-jurnal akademik yang memang mutunya sebagian besar masih rendah.

Kasus Solopos dan kampus di Solo barangkali mengikuti jejak ini, sejak Solopos muncul tahun 12 Agustus 1997. Aku membayangkan bahwa para penggerak Solopos awal adalah para aktivis pers mahasiswa yang memang pada saat-saat itu begitu bersemangat dan sangat paham dunia politik yang sangat menggelegak. Waktu kemunculan Solopos ini, dalam bayanganku, begitu tepat mengingat latar politik yang sedang melanda Indonesia dan yang bakal terjadi pada tahun-tahun berikutnya begitu menyita perhatian masyarakat Indonesia, termasuk khususnya warga Solo. Media cetak menjadi medium yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengetahui situasi Solo, juga Indonesia, mengingat televisi yang baru mulai diliberalisasi tidak begitu menggebu memuat berita, berkat kontrol ketat penguasa terhadap media audio-visual ini.

Praktis, aku memahami institusi media massa saat berada di Solo. Dan berusaha memahami Solo mutakhir melalui berita-berita di Solopos, selain buku-buku tentang Jawa untuk mengikuti jejak Solo yang sudah lewat.

***
Terkadang, aku kepengen membayangkan berada dalam situasi tahu 90-an sampai menjelang tahun 2000 itu, dan bisa menulisnya. Namun, aku hanya mendapati sisa-sisa semangat itu saat memasuki dunia akademik, dengan semuanya hampir serba memasuki dunia baru. Aku harus mengejar ketertinggalanku dalam segala hal yang terkait dengan dunia akademik modern yang sedikit banyak berbeda dengan dunia pesantren klasik Islam, keindonesiaan yang sebelumnya hanya diketahui melalui sekolah, lalu hal-hal kejawaan yang sungguh berbeda dengan kejawaan yang sayup-sayup aku dengar di Sidoarjo, juga jurnalisme yang mulai sangat akrab dengan keseharianku, selain buku-buku berhuruf Latin yang begitu murah hati membuatku paham dunia modern yang sedang aku jalani. Tentu saja pada tahun-tahun itu, aku masih seseorang yang sungguh tidak tahu sama sekali perihal makna jurnalistik bagi kehidupanku, apalagi untuk kehidupan kolektif suatu negara-bangsa.

Namun, perlahan aku mulai memahami makna sebuah koran dalam suatu komunitas budaya, politik, dan ekonomi. Di sinilah, aku mulai memahami makna kehadiran Solopos di Solo dan sekitarnya. Hal ini kemudian terrefleksikan dalam beberapa tulisanku yang dimuat di Solopos. Yang pertama, selain beberapa tulisan budaya Jawa, adalah artikel yang memangkan Lomba Artikel Solopos-Bank Indonesia: Soloraya, Zona Ekonomi Integral. Gagasan dasar artikel yang ini kemudian dimuat pada 24 September 2012 ini adalah bahwa Soloraya tidak mungkin berkembang dengan baik kalau tiap wilayah kuasa politik lebih mengedepankan ego sektoral-ekonomis wilayah masing-masing, padahal warga Soloraya sendiri sudah menyatu berkat teknologi transportasi, komunikasi, dan tentu saja berkat kepentingan bersama yang saling menguntungkan. Dalam artikel ini aku juga mengkritik hasrat Solo untuk selalu menjadi yang paling utama mengambil keuntungan dari daerah di sekitarnya.

Artikel itu, kemudian disusul dan diperkuat dengan artikel yang aku tulis untuk menanggapi esai Bandung Mawardi dalam memperingati HUT Solopos 2013: Solopos, Kawasan, dan Berita. Artikel yang dimuat 24 September 2013, ini secara umum ingin mengatakan makna menjadi media cetak, dan perannya dalam suatu kawasan ekonomi-politik Soloraya. Secara umum, media cetak pasti berarti media-kata, bukan media visual, dan demikianlah sejarahnya, dan karakter khusus dan sekaligus keunggulannya. “Berita masih jadi saksi mata yang kurang mendalam, kurang skematis, dan kurang terarah berdasarkan kawasan. Dalam bayangan saya, Solopos tiap bulan atau tiga bulan sekali akan mengulas masalah kawasan di Soloraya secara mendalam dan reflektif dengan jangkauan masa depan yang visioner tentang dan untuk perkembangan kawasan Soloraya,” kata dalam tulisan itu. Semacam usul untuk sebentuk media cetak, Solopos, yang bisa menghadirkan berita analisis untuk perkembangan kawasan Soloraya di masa depan, sekaligus sebagai karakter keunggulan daya-saing media cetak menghadapi kecenderungan migrasi ke media digital. Sekarang, rasanya tidak mungkin media cetak menyaingi media digital yang begitu cepat bergegas. Maka, harus ada sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh pembaca media cetak: data analisis yang mendalam, bukan sekadar berita cepat seperti yang dihadirkan media digital. Inilah, menurutku, sebentuk pengejawantahan motto Solopos: “Meningkatkan Dinamika Masyarakat”.

Memang, tak bisa dipungkiri bahwa dalam arus media yang begitu beragam saat ini, aku juga mengalami perkembangan bermedia: dari media cetak ke media digital, meski porsi terbesarnya masih media cetak. Aku jadi ingat dahulu saat mulai belajar jurnalistik, ada perkataan yang khas perihal perubahan media. Dahulu, sebagaimana aku mengingat kata-kata itu, kalau ada peristiwa besar terjadi, orang pergi ke luar rumah, ke kios koran untuk mengetahui peristiwa tersebut. Namun, setelah ada televisi, orang malah masuk rumah, menyalakan televisi. Sekarang, berkat kehadiran kuasa digdaya internet yang memberdayakan media digital, orang malah tidak perlu ke mana-mana, cukup langsung membuka smartphone yang dipegangnya. Di sinilah tantangan, atau reposisi diri Solopos, perlu dipikirkan kembali.

Dan akhirnya, begitulah aku berkembangan bermedia bersama Solopos, hadir di dalam dan bersama Solopos, terpengaruh Solopos, dan akhirnya bermedia bersama Solopos, dalam arus perkembangan media itu sendiri, perkembangan Solo, Indonesia, dan akhirnya dunia di sekitarku.

Solo, 27 Desember 2015

Apakah tulisan ini membantu ?

fauzisukri

Bergiat di Bilik Literasi Solo

View all posts

Add comment