Soloensis

Pelajaran dari Ahok

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah memutuskan mengambil jalan politik bersama partai politik untuk maju dalam pemiluhan gubernur DKI Jakarta pada 2017 mendatang.
Keputusan itu disampaikan sendiri oleh Ahok di hadapan komunitas Teman Ahok dan partai pendukungnya, Rabu (27 Juli 2016). Sejauh ini ada tiga partai politik yang telah mendeklarasikan dukungan kepada Ahok dan siap mengusung Ahok di pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Tiga partai politik itu adalah DPD Partai Nasional Demokrat (Nasdem) DKI Jakarta, DPD I Partai Golongan Karya (Golkar) DKI Jakarta, dan DPD Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) DKI Jakarta. Tentu pengurus pusat tiga partai itu akan “all out” mendukung Ahok. Koalisi tiga partai ini cukup untuk mengusung Ahok sebagai calon gubernur karena telah memenuhi batas minimal perolehan kursi di DPRD DKI Jakarta.
Teman Ahok adalah komunitas yang setahun terakhir “berdarah-darah” mengumpulkan dukungan dari warga DKI Jakarta agar Ahok bisa maju dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 melalui jalur perseorangan.
Langkah ini menghasilkan lebih dari sejuta warga DKI Jakarta yang mendukung Ahok maju dalam pemilihan gubernur melalui jalur perseorangan. Bentuk dukungan mereka berupa formulir, tanda tangan, dan fotokopi KTP.
Konon, berdasar pembacaan saya dari akun Twitter beberapa “orang dekat” Ahok, beberapa hari sebelum Rabu, Ahok “menderita” lahir batin. Dia “kebingungan” hendak memutuskan tetap maju melalui jalur perseorangan bersama Teman Ahok atau melalui jalur “tradisional”: diusung dan didukung partai politik.
Ketika saya melihat siaran langsung Metro TV, Rabu sore, tentang pidato Ahok di hadapan komunitas Teman Ahok dan tiga partai politik pendukungnya, wajah Ahok terlihat cerah. Dia berbicara dibumbui canda. Dia berbicara dengan intonasi mantap, teratur, dan jernih.
Keputusan akhirnya adalah dia mengambil jalan “tradisional”. Keputusan itu dia ambil tanpa menafikan eksistensi Teman Ahok. Dia bermaksud menyatukan gerakan partai politik dan gerakan akar rumput masyarakat.
Ada hal menarik yang saya tangkap dari pernyataan Ahok saat menyampaikan keputusan maju di pemilihan gubernur DKI Jakarta bersama partai politik, yaitu syarat “tak ada transaksi”, “tak membayar partai pengusungnya”, dan “tak ada utang piutang” antara dirinya dengan partai pengusungnya.
Di sebagian pidatonya Ahok menjelaskan dia bersedia maju dengan dukungan partai politik karena dia mendapat kepastian tak perlu “membayar” partai politik, tak ada transaksi, dan tak ada utang-piutang antara dirinya dengan partai politik.
Inilah pelajaran yang menarik bagi saya. Ahok ingin mematahkan “pemahaman umum” bahwa siapa pun yang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah harus menyediakan dana besar untuk “membeli” partai politik sekaligus membiayai kampanye dan proses pencalonan hingga pemilihan.
Dari pernyataannya itu saya menangkap bahwa Ahok bersedia maju dengan dukungan tiga partai politik itu semata-mata dilandasi pemahaman bersama bahwa jabatan gubernur DKI Jakarta adalah alat untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik.
Di sebagian pidatonya pula Ahok mengatakan pastilah partai politik punya agenda sendiri yang urusannya pasti dengan kekuasaan. Yang jelas, Ahok mengatakan pilihan maju lewat jalur partai politik lebih memiliki peluang besar untuk sampai di tahap akhir kontestasi pemilihan gubernur daripada maju melalui jalur perseorangan yang rawan “dijegal” sejak proses awal: verifikasi dukungan oleh KPU.
Kita layak mencermati proses politik menuju pemilihan gubernur DKI Jakarta ini. Terkait keputusan Ahok, Teman Ahok telah mendeklarasikan sikap siap bersama partai pendukung untuk memenangkan Ahok. Tanda pagar #TetapAhok dirilis oleh Teman Ahok sebagai pernyataan mereka tetap mendukung Ahok dan siap memenangkan Ahok di pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Rival utama dan pertama Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tentu calon yang akan diusung PDIP. Kalau ternyata di saat-saat terakhir PDIP mendukung Ahok pula, selesailah sudah pemilihan gubernur DKI Jakarta: Ahok menjabat lima tahun lagi, 2017 2022.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment