Soloensis

Bahagia Itu Sederhana, Cukup Dengan Melihatnya Tersenyum

Pagi yang dingin tak mengurungkan niatku untuk bangun solat. Aku melihat jam dinding di kamarku, waktu menunjukkan pukul 3.00 dini hari. Baru kali ini hampir satu bulan aku bisa rutin bangun disepertiga malam. Layaknya seperti ada yang membangunkan, karena selalu jam 3.00 tepat aku terbangun.
Seperti biasanya aku langsung bangun mengambil air wudhu, solat dan berdoa. Kemudian sambil menunggu adzan subuh, aku membaca Qur’an. Tak lama kemudian akupun tertidur. Mungkin penyakit ngantukanku yang sulit dihilangkan. Hehe…
Hingga sebuah teriakan memanggil namaku, “Ta…Ta…Yunita… g bangun?” aku kaget setengah mati, terbangun dalam keadaan agak linglung. Refleks mataku melihat jam dinding, “setengah enam? Aku tadi sudah solat subuh belum ya?” kataku dalam hati dengan ekspresi agak bingung. “belum”, kata hatiku memantapkan. Aku langsung beranjak berdiri melaksanakan solat.
Seusai solat aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, “emang boleh apa solat sesudah tidur tanpa wudhu?” “ah mana ku tahu,” pikirku dalam hati. “Ta…Yunita…,” suara ibuku mebuyarkan lamunanku. “ya…,” sahutku sambil berlari menuju sumber suara. “kenapa bu?” kataku agak rikuh, takut dimarahi ibu. “kerjaan banyak, masak, nyuci piring, gelas, baju. Baru bangun? Belum ngombor segala, nanti juga ngambil raport,” keluh ibuku dengan tatapan sinis.
Maklumlah ibuku yang hanya seorang petani sekaligus peternak sapi membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Ya, bapakku meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 5 SD, kakakku baru duduk di kelas 3 SMP, sedangkan adikku masih duduk di kelas 3 SD. Mungkin beliau agak jengkel kepadaku karena aku sendiri yang belum bangun. Adik laki-lakiku sudah mencacah singkong buat si sapi, sedangkan ibuku sibuk memasak. Oh iya, kalau kakak perempuanku sekarang sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Jadi aku hanya tinggal bertiga bersama ibu dan adikku.
Aku langsung beranjak pergi untuk mencuci piring dan gelas kotor. Setelah selesai, aku bergegas ke kamar mandi dan mencuci baju. Kelihatannya aktivitas yang melelahkan, namun ketika itu sudah menjadi kebiasaan semua menjadi ringan dan mudah dikerjakan.
Setelah semua pekerjaan sudah kelar, kami bertiga mandi bergantian. Kemudian, kami pun sarapan bersama. Seusai sarapan, dengan naik satu motor, kami bertiga berangkat ke sekolah bersama-sama. Sebelum menuju ke SMKku, kami mengantarkan adikku ke SMPnya terlebih dahulu. Untung jam mengambil raporku dengan raport adikku beda satu jam. Jadi, ibu pergi sekolahku mengambil raporku terlebih dahulu.
Sampai di sekolahku, aku dan ibuku memarkir motor di sebelah pintu gerbang dan kemudian langsung berjalan menuju ruang kelas. Rasaku tidak karuan, sedikit deg-degan, was-was. “ah, lebay loe yun. Ini Cuma raportan, biasanya kan g pernah kamu mikirin yang namanya rapor?” kataku dalam batin. “Ah, mungkin ini gara-gara udah telat, jadi kamu was-was yun.” Kataku dalam hati menegaskan. “Mana kelasmu?” kata ibuku membuyarkan pikiranku. “itu paling ujung,” kataku sambil menunjuk sebuah bangunan.
Di jalan kecil menuju kelas, teman-temanku yang duduk di teras kelas bersorak sorai memanggil aku, layaknya mengejek, “cie… Yunita cah.” “kita sambut bintang kita hari ini, Miss Yun-yun Pret,” kata teman sebangkuku dengan kerasnya. Suasana semakin heboh. Teman-teman yang lain bertepuk tangan sambil melempar senyuman bahkan ada yang sampai tertawa. Aku yang pemalu tambah malu setengah mati, cengar-cengir salah tingkah. Aku begitu terkejut melihat kelakuan konyol teman-temanku. “malu-maluin aja sih,” kataku dalam hati. Pasalnya baru kali ini aku diejek di depan umum. Ibuku berkata kepadaku, “pada ngapain sih?” “mana ku tahu,” turturku pelan sambil menundukkan muka saking malunya.
Karena sudah telat, Ibuku langsung masuk ruang kelas. Sedangkan aku berhenti duduk menghampiri temanku di teras kelas. Aku komplen pada mereka, “pada ngapain sih tadi, gila…, malu banget dilihat banyak orang. Bikin jantungan aja.” Melihat ekspresiku, semua pada tertawa. Baru kali ini aku dikerjain teman-teman. “Ah, sudahlah. Jangan nambah-nambahin rasa maluku,” kataku sebel. “Cie, cie, cie… yang dapat juara 1 ngambek,” celutuk salah satu temanku. Aku yang tidak percaya, menyangkal, “Apaan sih? g usah nambah-nambahin lagi deh, belum puas?” “yaelah Pret, kamu pikir kita-kita ini bohong apa? Lihat tuh papan tulis di dalam kelas,” kata teman sebangkuku menjelaskan. Mendengar kata itu, aku terkejut tingkat dewa.
Aku refleks berdiri dan melirik papan tulis yang ada di dalam kelas. Namaku tertulis di deret atas dan ada tulisan angka 1 sebelum namaku. Aku terdiam, tak percaya apa yang terjadi. Pasalnya dari TK sampai kelas 2 SMK aku belum pernah sekalipun mendapat juara. Eh, pernah sekali waktu duduk di bangku kelas 5, itupun juara 2. ini pertama kalinya aku mendapat juara 1 dari 40 siswa di sekolah SMK terfavorit. Pikiranku melambung tinggi. Entah itu mimpi, entah itu keajaiban, yang jelas itu adalah sebuah anugerah dari Tuhan.
“Selamat ya yun,” kata teman-temanku yang menyalamiku secara bergantian. Dengan malu-malu dan masih belum percaya aku menjawab, “iya.” Akupun duduk kembali bersama teman-temanku. “Kok bisa sih kamu dapat juara 1,Pret?” kata teman sebangkuku. “Mana ku tahu, tapi akhir-akhir ini aku pengen banget dapat juara. biar ibukku itu bangga dan senang. Dan aku iseng-iseng berdoa ke Gusti Allah, biar dapat juara. eh taunya dapat juara, juara 1 pula.” “iya sih Pret, setelah aku pikir-pikir semester ini kamu lebih aktif, dan tambah agak rajin walaupun tetap sering telat,” kata teman sebangkuku menilaiku. “tapi aku belum percaya kalo aku dapat juara wik, baru kali ini.” “udah disyukuri aja Yun,” kata salah satu temanku.
Dari sini aku tersadar, jika memang kamu punya impian, teguhkan hati untuk berusaha mengejar impian itu. Jangan lupa untuk berdoa, mengiringi usahamu. Tidak ada yang tidak mungkin. Selagi kamu mau berusaha dan berdoa. Selanjutnya, hasilnya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah menunggu ibuku sambil besendau gurau, akhirnya ibuku keluar dari ruang kelas. “juara 1 to Ta? Biasanya tidak pernah dapat juara,” kata ibuku dengan senyuman di wajahnya. Aku terharu,baru kali ini aku merasa bisa membahagiakan satu-satunya orang tuaku. Benar-benar suasana yang sangat menyenangkan. Walaupun ibuku tak mengucapkan selamat, namun dari aura yang terpancar dari wajahnya yang sedikit keriput, ku tahu ibuku sangat bangga terhadapku dan beliau pun juga sangat senang akan prestasi yang telah aku raih. Ya, menurutku bahagia itu sederhana. Bisa membuat orang tua kita tersenyum saja sudah cukup membahagiakan.

Apakah tulisan ini membantu ?

Yunita

Sesosok yang Dulunya pemalu. Sejak SD sampai SMP jarang sekali tetangga yang mengenalinya. Bahkan ketika ada tetangga yang lewat depan rumah, dia lari menuju pintu masuk rumah.Namun layaknya turning point, ia mampu mengubah dirinya ketika duduk di bangku SMK. Dia mulai berani menunjukkan keberanian dengan mengikuti seleksi senior ekstra Pasukan Pengibar Bendera (PBB), di SMK N 1 Boyolali. Alhasil, dia berhasil menjabat sebagai seksi kegiatan di organisasi ekstrakulikuler tersebut. Setelah lulus dari SMK, dia bekerja sebagai operator sewing di sebuah perusahaan di Boyolali. Merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki, dia keluar dari pekerjaannya dan melanjutkan studinya. Sekarang dia masih belajar di Institut Agama Islam Negeri Salatiga jurusan Tadris Bahasa Inggris. Berusaha menggapai impiian ke luar negeri dan menjadi seorang penulis.

View all posts

Add comment