Soloensis

Ayo Membaca Berita, Wahai Anak Muda!

Gerakan Ayo Membaca hingga hari ini terus dilakukan. Tim Ayo Membaca Bersama Solopos gemar menyambangi sekolah.

Tujuan dan misi Ayo Membaca menarik publik. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan minat baca untuk para siswa.

Ayo Membaca lebih khusus mengajak pelajar untuk membaca news. Lebih jauh dalam gerakan ini ada misi jangka panjang, yaitu membangun kultur membaca supaya anak muda tetap membaca news.

Eksemplar Solopos yang dibaca pelajar memang bernama koran. Namun, persepsi saya menyatakan bahwa kerja utama bukan membaca koran, tapi membaca berita.

Hal itu bisa diketahui dari bagaimana pelajar memahami berbagai substansi berita. Mereka mampu menyampaikan isi berita secara orisinil dan memukau.

Hanya dengan 10 – 15 menit mereka mampu memahami substansi serta pelajaran yang dapat dipetik dari sebuah berita. Orisinalitas pikiran pelajar untuk mengungkapkan ulasannya tentu merupakan salah satu kerja literasi yang memukau.

Wajar bila kita terpukau. Sekarang ini, di zaman digital, kenikmatan menikmati internet belum dapat dipastikan bahwa para pelajar mengikuti berita.

Para siswa ke online tidak membaca news, dan mereka menyaksikan televisi tidak juga menonton news. Peralihan pelajar ke digital kerap tak diikuti dengan pembiasaan dan internalisasi nilai.

Gerakan Ayo Membaca tidak sekedar menawarkan “bacalah Solopos!”. Ayo Membaca mempromosikan kemerdekaan membaca, berekspresi dan berpikir, melalui suatu sarana surat kabar untuk menghindari kedangkalan berpikir dan berbuat.

Para siswa didorong menuangkan ide atau gagasan dalam tulisan, menyampaikan pendapat serta menumbuhkan sikap kritis. Gerakan literasi tersebut juga mampu memberi sensasi positif, pemahaman kewarganegaraan dan kesadaran diri.

Berita-berita yang menyoal hukuman bagi para koruptor, misalnya, mampu memberikan kesadaran sejak dini bagaimana sesungguhnya perilaku korup dapat memiskinkan dan menyiksa diri sewaktu di dunia dan di akhirat.

Esok hal ini bisa membuat para pejabat kian lebih berhati-hati. Jika mereka coba-coba untuk melakukan korupsi, anak-anak mereka tentu akan turut menanggung malu dan memikul aib keluarga, lantaran teman-temannya sudah membiasakan diri untuk mengikuti dan memahami isi berita.

Selanjutnya bagi seorang pendidik, ada sensasi kebanggaan tersendiri setelah siswa berani menyampaikan ulasan dan pendapatnya mengenai berita yang berjudul Warga Ngebut, Warga Waswas. Siswa dapat mengaitkan topik tersebut dengan sinetron Anak Jalanan.

Menurutnya, semangat utama yang menyangkut kepekaan sosial dan persahabatan pada tayangan yang sedang digandrungi para remaja itu mungkin bisa ditiru, tetapi kebut-kebutan tidak boleh dicontoh (Solopos, 21/3).

Ada juga yang mengulas dan memberi tafsir intelektual pada berita mengenai rivalitas antara Barca dan Madrid. Siswa berpendapat bahwa kalau ada suporter sepak bola yang membuat rusuh berarti mereka tidak memahami suportivitas.

Kemauan berpikir dan kemampunan memetik pesan moral dari substansi berita juga berkaitan pada keterampilan menulis dan berbahasa. Faktanya, di dunia ini jamak penulis dan pakar bahasa lahir dari ketekunannya dalam kerja mendaras koran.

Peran Kolektif

Keahlian-keahlian itulah yang berpeluang besar menciptakan “fajar intelektual dan moral”, dan diperuntukkan menggantikan “akhir sejarah”. Francis Fukuyama pernah menggagas bahwa sejarah telah berakhir, atau setidaknya zaman sedang di pusaran “akhir sejarah”.

Dalam pembahasan ini, sejarah generasi anak muda terus mengalami perubahan. Pergantian zaman ke era digital dan online menandai pertaruhan generasi anak muda terbaru.

Pergantian gaya dan budaya secara cepat, yang akan dialami generasi anak muda terbaru, bisa jadi menimbulkan kejutan pahit.

Ichwan Prasetyo, jurnalis Solopos, dalam esainya berjudul Substansi (Solopos, 7 Maret 2016) mengingatkan kepada kita bahwa berita yang hadir silih berganti melalui digital justru dapat menjadi pendangkal pikir bila tak diikuti dengan keberhasilan memahami substansi.

Berita yang tayang melalui digital kerap memunculkan perilaku yang aneh-aneh. Media sosial, misalnya, sering kali menghasilkan ”kerumunan” jamak memunculkan perilaku yang nirberpikir, nirmerenung.

Informasi yang dibuka—tanpa dibaca hingga tuntas dengan perenungan—dan dibagikan adalah informasi-informasi tanpa substansi yang hanya berdampak pada gosip, sensansi, dan kontroversi tak berujung.

Gerakan Ayo Membaca Bersama Solopos seolah disiapkan untuk generasi muda terbaru: generasi muda yang kita belum mampu menduganya. Terutama bagaimana wajah keilmuan dan keadabannya di masa depan. Mereka adalah model generasi Y, generasi Milenia maupun generasi terbaru setelahnya.

Jangan sampai generasi anak muda mutakhir dan setelahnya mengalami kemunduran intelektual dan moral. Untuk itu, jangan biarkan gerakan Ayo Membaca bekerja sendirian.

Guru dan pemerintah mungkin paling berkesempatan berpartisipasi dalam gerakan ini. Sebelum pelajaran pertama dimulai, guru dapat menyediakan beberapa menit kepada para siswa untuk menjaga kultur membaca.

Penerapan Ayo Membaca juga baik untuk diperlombakan bagi para siswa maupun kompetisi antar sekolah. Sementara ini, perlombaan membaca print berita, mengulasnya dan menafsirkannya secara impresif masih jarang diagendakan, kalau tak mau dikatakan nihil.

Pemerintah di bidang pendidikannya dapat mengadakan kompetisi tersebut sebagai ajang hiburan intelektual bagi remaja dan anak muda.

Ajang hiburan intelektual sebentuk itu bukan dimaksudkan untuk menggantikan berita digital. Print dan digital punya alpha dan omega masing-masing.

Media cetak dan digital tidak saling menggantikan, karena keduanya memiliki tantangan, strategi dan (seharusnya juga) program asyik yang berbeda dalam meningkatkan keilmuan pembaca.

Perlombaan “membaca berita” bertujuan untuk melestarikan kultur membaca berita beserta substansinya yang saat ini telah diperankan Solopos. Kompetisi literasi tersebut akan merawat semangat bagi sejumlah sekolah yang ikut terlibat di dalamnya.

Gerakan Ayo Membaca Bersama Solopos patut dikembangkan melalui agenda kreativitas yang beragam, salah satunya dengan ajang kompetisi yang menarik. Mari kita wujudkan kultur (pembacaan, pengulasan dan penafsiran berita) bagi generasi muda!

Penulis: Danang Muchtar Syafi’i
Guru MIM Inovatif Gonilan & Sekjen PC Pemuda Muhammadiyah Kartasura

Apakah tulisan ini membantu ?

Muchtaronichi

Pengisah Buku di MIM Inovatif Gonilan

View all posts

Add comment