Soloensis

Rio Haryanto, Riwayatmu Nanti…

Namanya Rio Haryanto. Usianya baru 23 tahun pada 22 Januari 2016 lalu. Putra asli Solo itu tidak perlu setua Ketua Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) La Nyalla Mattalitti atau Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi untuk membuat Indonesia bangga.
Ia hanya perlu waktu enam tahun untuk menorehkan sejarah sejak kali pertama berpartisipasi dalam arena Grand Prix (GP) 3 Series pada 2010. Rio juga tidak perlu berebut jadi yang paling benar untuk unjuk prestasi bagi Indonesia, seperti yang ditampilkan La Nyalla dan Menpora beberapa bulan terakhir terkait kekisruhan PSSI.
Rio tak pernah berkoar-koar di media massa untuk membuktikan baktinya kepada negeri tempat dia lahir. Cukup dengan ketekunan dan telaten di bidangnya lalu prestasi dia raih. Di usia semuda itu Rio telah menjadi fenomena. Jika tak ada aral melintang, bersama Tim Manor Racing yang berbasis di Inggris, Rio bakal menjalani debut ajang Grand Prix Formula 1 (F1) di Sirkuit Albert Park, Melbourne, Australia pada 18-20 Maret mendatang.
Empat belas tahun lalu tidak banyak orang mengenal kala Rio kali pertama menggeluti olahraga gokart. Mungkin hanya keluarga, kerabat, dan jurnalis olahraga di Solo yang tahu tentang keuletan seorang Rio. Siapa yang menyangka, putra bungsu Sinyo Haryanto dan Indah Pennywati itu kini membuat ratusan juta rakyat Indonesia bisa berjalan tegak karena negeri ini bisa dikatakan sejajar dengan Italia, Spanyol, dan negara maju lainnya di arena balapan paling bergengsi, Formula 1.
Rio mulai menekuni gokart pada usia enam tahun dan menjadi juara nasional kelas kadet pada 2002. Ia pernah mengalami patah tangan dalam sebuah insiden latihan. Insiden itu tak membuat dia patah arang. Ia terus melaju. Pada 2012 Rio membalap kali pertama di Grand Prix (GP) 2 bersama Carlin GP2 Team.
Pada tahun yang sama ia berkesempatan menjajal mobil F1 milik Marussia F1 Team sebanyak 79 lap pada uji coba pembalap muda F1 di Sirkuit Silverstone, Inggris. Kesempatan itu tidak disia-siakan Rio hingga ia menjadi orang pertama dari Indonesia yang mendapatkan FIA superlisence, syarat wajib bagi calon pembalap F1.
Pada 2013, Rio bergabung dengan Addax Team. Sayang, bersama tim terbarunya itu ia mendapatkan hasil buruk dan hanya mendapat poin di empat balapan kendati dua sempat meraih podium pertamanya di Silverstone. Pada musim 2014, Rio pindah ke Caterham dan mendapatkan hasil memuaskan di Abu Dhabi.
Tim Campos Racing menjadi tim berikutnya yang menjadi pelabuhan Rio pada 2015. Bersama tim ini Rio meraih kemenangan pertama di GP2 di Bahrain. Ia meraih kemenangan kedua dalam seri sprint race Austria. Di akhir seri Rio menempati posisi keempat.
Rio kembali mendapat kesempatan menjajal mobil F1 pada Desember 2015. Kali ini ia mencoba mobil milik Manor Racing dalam sesi tes pascamusim yang diadakan Pirelli. Rio menyelesaikan 55 lap dengan catatan waktu terbaik satu menit 49,593 detik dan berada di peringkat ke-15 dari 16 peserta.
Rio membuat dirinya dan Indonesia mendunia. Saya merasa terharu kala melihat wawancara dengan Rio dipasang di situs resmi Formula 1. Rio mempersembahkan baktinya itu untuk negerinya tercinta. Tentu kita berharap partisipasi Rio di arena olahraga bergengsi itu kelak kian membuat Indonesia dikenal dunia.
Harap diketahui, hingga saat ini di luar sana tak banyak orang tahu tentang Indonesia. Negara dengan ribuan pulau ini bahkan kalah terkenal dari Bali, salah satu pulau yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya membuktikan hal ini. Saat mendapat undangan menyaksikan salah satu pertandingan Piala Dunia Brasil pada Juni 2014, setiap kali saya mengenalkan diri dari Indonesia orang-orang di Brasil bingung. Ketika saya menyebut Bali, mereka langsung berkata,”Oh, I see…”
Rio membuat kita bangga. Cowok berzodiak Aquarius itu bakal beradu cepat dengan jago-jago balap dunia seperti Kimmi Raikonnen, Lewis Hamilton, Jenson Button, dan lain-lain. Selama ini kita hanya mengagumi para penunggang jet darat itu dari layar kaca tanpa kebanggaan batin. Para tukang ngebut itu memang tak sebangsa dengan kita. Kita cukup mengagumi tanpa prestise.

Keajaiban
Itu dulu. Saat ini kita punya gacoan baru. Dia adalah Rio Haryanto, pemuda kalem asal Kota Bengawan. Entah bagaimana nanti prestasi Rio, melihat dia beradu cepat dengan pembalap dunia sudah membuat kita tersenyum lebar. “Mas Bro… kita punya pembalap kelas dunia.” Syukur-syukur nanti Rio bisa membuat keajaiban-keajaiban baru lainnya.
Fenomena Rio datang pada saat yang tepat. Saat ini tidak ada cabang olahraga yang membuat kita bangga. Di cabang tinju Indonesia sudah tidak punya juara dunia. Chris John yang tak terkalahkan dalam 51 pertarungan sepanjang kariernya sudah menggantung sarung tinju setelah takluk dari jawara Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka, pada 6 Desember 2013 lalu.
Bulu tangkis sebagai olah raga yang selama beberapa dekade menjadi kebanggaan bangsa juga mulai meredup. Sepak bola? Ah, apalagi ini. Alih-alih bikin prestasi, malah membuat kita malu luar biasa. Untuk kali pertama sepanjang sejarahIndonesia mendapat sanksi dari FIFA sebagai akibat kisruh pengelolaan sepak bola pada 2010 lalu.
Fenomena Rio bak oase di padang pasir nan gersang. Rio seperti mengajari kita bahwa prestasi hanya bisa didapat dari kerja keras, keuletan, dan profesionalisme. Prestasi tak akan diperoleh dengan cara-cara instan. Bukan seperti program naturalisasi pemain oleh PSSI yang hasilnya nol besar. Impor pemain asing tidak membuahkan prestasi, malah menjadikan Indonesia bulan-bulanan Vietnam, Malaysia, bahkan Brunei Darussalam.
Fakta membuktikan kebanggaan Indonesia di olahraga sepak bola berasal dari kerja keras seorang Indra Safrie yang mengumpulkan dan menggembleng 22 anak muda selama dua tahun penuh. Saat itu Indra bahkan tak dibayar serupiah pun oleh PSSI karena induk sepak bola itu sedang dilanda dualisme kepengurusan.
Cucuran keringat, ketekunan, serta doa anak-anak muda Indonesia itu yang membuat kita memboyong Piala AFF U19 pada September 2013 lalu. Cucuran keringat, ketekunan, dan doa itu pula yang kini dibuktikan Rio. Selama 14 lebih ia menekuni bidangnya tanpa banyak omong. Hasilnya: luar biasa!
Rio seperti mengingatkan kita agar tidak lupa pada sejarah. Tengoklah Andi Ramang (sepak bola), Ellyas Pical (tinju), Nico Thomas (tinju), Liem Swie King dan Rudi Hartono (bulu tangkis). Legenda-legenda yang telah membawa harum nama Indonesia itu selalu berkutat pada tiga hal itu: kerja keras, ketekunan, dan doa.
Partisipasi Rio di ajang F1 membutuhkan dana sekitar Rp226 miliar. Besar? Relatif, tergantung dari sudut mana kita memandang. Jika kita melihat hanya dari sudut pandang sebuah cabang olahraga dan seorang atlet, dana itu kelihatan “wah”. Sekadar pembanding, uang Rp226 miliar itu bisa dipakai untuk memutar roda kompetisi sepak bola Indonesia selama empat musim.
CEO PT Liga Indonesia, Joko Driyono, menyebut untuk menggelar kompetisi yang diikuti 18 tim ISL membutuhkan dana Rp50 miliar (Solopos, 13 Mei 2015). Jika kita melihat dari sudut pandang investasi jangka panjang, dana itu terbilang kecil. Keikutsertaan Rio membuat nama Indonesia mendunia. Indonesia akan disegani dunia internasional.
Orang luar memandang negara kita tak lagi dengan sebelah mata. Iklim pariwisata terdongkrak, perekonomian terangkat. Dalam jangka panjang ekonomi akan tumbuh. Apalah arti ratusan miliar rupiah jika nanti Indonesia akan mendapatkan dana triliunan rupiah dari kunjungan wisata dan penanaman investasi. Apalagi, pemerintah saat ini gencar dengan perbaikan dan pembuatan sarana infrastruktur.
Perlu dicatat, dana Rp226 miliar masih kalah jauh dari uang negara yang dikorupsi para “tikus berdasi”. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sepanjang 2015 saja kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp31 triliun. Dana itu diembat para politikus dan pejabat negara, mulai anggota DPR/DPRD serta pejabat pemerintahan selevel gubernur/wali kota/bupati hingga pejabat di tingkat kecamatan dan kelurahan.
Tidak salah langkah pemerintah melalui Kemenpora memberi garansi pembiayaan Rio ke arena F1. Yakinlah Indonesia akan meraih hasil manis beberapa tahun mendatang. Akhirnya, kepada Rio kita belajar tentang arti sebuah prestasi. Tentang arti pengorbanan untuk negeri. Dari Rio kita belajar mengekang ego dan mengedepankan ketekunan serta profesionalisme. Kita berharap akan muncul Rio-Rio baru di masa mendatang. Semoga.

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment