Soloensis

HS Versi-ku

Aku suka memperhatikan beberapa teman yang rajin mengekspos di media sosial mengenai aktifitas Homeschooling (HS) yang dijalankannya. Menahan nafas aku dengan upload-upload-annya, terkesima.. (lebay!) Indah.. semuanya indah.. baik dari sisi material ajar, infrastruktur (tentu.. kan HS di rumahnya sendiri), sampai hasil dari yang diajarkan. Empat jempol (2 jempol tangan plus 2 jempol kaki) untuk para Ibu praktisi HS.

Ada seorang Ibu yang meng-upload foto hasil karya putrinya yang sangat menyukai dan menonjol dalam hal memasak. Jangan salah, hasil karyanya sekelas Chef *** (bintang lima). Sang anak membuat kerya olahan coklat dan keju dengan tema “Camping dan Api Unggun”. Semacam itulah, aku lupa detail judulnya.

Piring putih dengan 2 tenda yang dibuat dari 2 keratan coklat batang dibentuk limas. Dihiasi dengan keju parut dan sebagian diberi pewarna merah sebagai api unggun. Indah sekali karya bocah kecil yang berbakat itu, benar-benar mirip karya Chef yang di acara Masterchef Indonesia itu lho… MasyaAllah, benar-benar kreatif.

Namun dalam hati aku membatin, apa manfaatnya ya?

Ada satu lagi teman yang meng-upload tentang pendidikan akhlak bertemakan “Senyuman”.
Brapa banyak “Senyuman”?
55 Senyuman:
– bebas menonton
– bebas main game
– pilih mainan yang kamu sukai
– bonus makan di tempat yang kamu sukai
– bonus mengunjungi suatu tempat
Ditulis di papan tulis (blackboard) dengan kapur warna-warni dan tulisan yang berseni. Indahnyaa.. aku benar-benar berdecak kagum.. Ibu yang membuat itu sungguh kreatif dan sengaja meluangkan waktu untuk mempersiapkan semua perangkat atau materi ajar HS bagi putra-putrinya.

Perhatikan satu lagi, sudah pasti berkantong tebal. Coba baca kembali reward-reward yang disediakan untuk anak-anaknya yang melakukan “senyuman”. Aku saja tergoda, sudah pasti setiap hari akan tersenyum jika mendapati reward semacam itu.

Namun dalam hati aku berbisik, begitukah tersenyum?

~~~

Pantaslah ada teman yang minder dengan HS, merasa tidak mampu baik secara materi maupun secara kreatifitas untuk mempersiapkan kurikulum HS. Ya, kalau fakta-fakta HS yang dia temui dan lihat semacam di atas, aku juga jadi ciut untuk menjalankan HS.

Alhamdulillah aku bukan praktisi HS yang seperti itu. Aku tidak memiliki kantong tebal untuk membeli piranti yang indah-indah. Aku tak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan materi ajar yang serba wah.. sebab menyelesaikan urusan domestik sendirian (tanpa asisten). Belum lagi tugas kuliah yang bejibun.

Aku yakin banyak Ibu yang sepertiku. Sibuk dengan tugas domestik rumah tangga, memikirkan pendidikan anak-anaknya, bahkan kesibukan upgrading bagi dirinya sendiri. Lalu apakah ibu-ibu seperti ini tak “mampu” untuk running HS bagi anak-anaknya? Tentu sangat mampu.

Tak perlu ribet dan ribut masalah kurikulum. Tak perlu repot menyiapkan materi ajar. Yang paling utama adalah tentukan visi-misi dan tujuan pendidikan yang ingin kita capai. Tujuan utama pendidikan itu menumbuhkan iman pada diri anak-anak, membuat anak-anak mencintai Al-Quran dan menjadikannya sebagai akhlak, dan membiasakan as-sunnah ke dalam daily life.

Aku ingat betul nasehat Dr. Adian Husaini saat ceramah di Masjid Ulil Albab UII Jogja tahun lalu bahwa tujuan akhir balajar adalah menambah keimanan. Jika endingnya justru keraguan atau terkikisnya iman, ada yang salah dengan ilmu yang kita pelajari. Kurang lebih seperti itulah…

Jika “goal” sudah di-setting, itu memudahkan kita untuk membuat kurikulum HS. Setiap aktifitas yang dikerjakan seorang Ibu bisa menjadi program pembelajaran. Semua yang tersedia di rumah secara apa adanya bisa menjadi perangkat dan materi ajar.

Misalnya sedang memasak di dapur, meski hanya membuat orek tempe atau sayur sop itu menjadi program pembelajaran HS bagi anak-anak. Banyak pelajaran yang bisa diperoleh: melatih motorik halus dengan memotong tempe dan sayuran, teamwork, masukkan nilai-nilai bersyukur atas nikmat Allah.. Alhamdulillah, tak perlu beli batangan coklat yang mahal, bukan?

Ketika sedang mendatangi kelas bahasa Arab, ajaklah anak-anak. Ini salah satu materi penting dalam HS, pembiasaan dan teladan. Libatkan mereka dalam aktifitas belajar ibunya. Mereka akan melihat dan merekam secara otomatis apa yang dipelajari dan dihafal ibunya.

Saat ke perpustakaan kampus juga bisa menjadi waktu yang spesial untuk HS. Bila kita ingin membiasakan anak-anak dengan buku, lepaskan dia di perpustakaan. Cara yang aman dan hemat untuk membaca buku dan bisa dipinjam ke rumah juga. Anak-anak dapat memilih buku apapun yang disukainya. Kita bisa menghabiskan waktu dengan membaca bersama di perpustakaan atau meminjamnya untuk dibaca di rumah.

Perjalanan kemanapun bisa menjadi ajang pembicaraan yang mengasyikkan, memasukkan nilai-nilai dengan Al-Quran dan hadits. Bercerita kisah dan sejarah Islam, atau sekedar ngobrol masalah kekinian, contohnya LGBT (jadi inget kodok deh.. hehe)

Bahkan saat kedatangan tetamu secara mendadak, ketika di rumah tak siap jamuan sedikitpun, merupakan ajang praktek HS. Aku tinggalkan si kecil dengan amanah: “Kalau tetamu bunda sudah tiba, tolong persilakan masuk.” Aku pergi keluar untuk membeli sesuatu jamuan bagi mereka. Ketika pulang, tetamu sudah di dalam rumah, lengkap dengan minuman yang dipersiapkan si kecil bagi mereka. Salah seorang tamu mengatakan: Si adik menyiapkan minum bagi kami dan meminjamkan 3 mainan legonya bagi kami. Subhanallah.. si kecil bahkan mau berbagi “barangnya yang paling berharga” (lego) untuk para tamu. Padahal tetamu itu seusia ibunya, untuk apa coba main lego? ^^

Setelah tetamu pulang, aku pun mengapresiasi apa yang dilakukan si kecil. Dengan sederhana dia menjawab: “Kan ada haditsnya untuk memuliakan tamu, Bunda.. kakak kan ingin mendapat pahala dari Allah juga..” Allahumma.

Kukira begitu juga dengan senyuman. Ada hadits yang mengatakan senyum di wajahmu untuk saudaramu adalah sedekah. Jadi untuk memotivasi anak-anak tersenyum tak harus dengan reward yang memberatkan kantong kita. Bahkan reward yang diperoleh anak lebih tinggi lagi, yaitu pahala dari Allah. Seberapa sering engkau tersenyum, sebanyak itu pula sedekah yang engkau berikan kepadaku dan orang-orang di sekitarmu. Balasannya Surga lho… jauh lebih kereenn kan..? 😉

Perencanaan itu memang penting.. tetapi memanfaatkan apa yang tersedia di rumah sebagai perangkat dan materi ajar itu tidak mahal. Manfaatkan seadanya. Tak perlu membeli sesuatu yang mahal. Yang mahal biasanya justru tak terpakai. Beli crayon mahal-mahal tidak berguna, akhirnya diberikan ke anak saudara. Sebab si kecil lebih suka membuat coretan dengan pensil dan kertas. Dan alhamdulillah.. atas pertolongan Allah, hasil coretannya luar biasa. Si kecil mahir memainkan pensilnya dan mengungkapkan pemikirannya ke dalam bentuk gambar beralur dan sistematis: KOMIK. Padahal kedua orang tuanya tak ada yang pandai menggambar.

Ada kalanya kami saling berebut buku yang aku butuhkan sebagai salah satu referensi tugas kuliah, justru buku itu sedang asik dibacanya. Dia pun bisa menjadi editor makalah. Ketika letih begadang menyelesaikan makalah, pagi-pagi dia berujar: “Sini, kakak yang baca dan koreksi makalah Bunda.” Lalu dia duduk manis di depan laptop. Alhamdulillah..

Ketika selesai shalat, dia berlari ke pangkuan ibunya lalu sodorkan jemari tangannya supaya digunakan untuk menghitung dzikir sesudah shalat. Dia pun sangat menyukai saat-saat berdoa setelah dzikir. Aku sengaja membisikkan doa-doa yang kupanjatkan di dekat telinganya. Berharap dia akan merekam dan kelak menghafal doa-doa itu. Hal itu berlangsung sejak dia kecil, meskipun tidak rutin disebabkan segala kesibukan (ah alasan!) Sekarang sesekali masih berlangsung meski dia semakin besar 🙂

Seperti itulah HS yang kujalankan.. mengalir dalam setiap aktifitas. Sebab inti pendidikan itu teladan, mengarahkan dan pembiasaan. Kalau ingin anak mencintai Al-Quran, ya mulai dari diri kita sendiri. Masa menyuruh anak membaca Al-Quran sedangkan ibunya sibuk dengan gadget? Wal’iyadzu billah.. Kalau ingin anak-anak mengenal sejarah Islam, ya ceritakanlah atau sekedar membacakan buku-buku sirah dengan bersuara. Kalau ingin anak kita suka belajar, ya jangan pernah berhenti menuntut ilmu.

Yaa mungkin aku bukan tipe ibu yang pandai menyiapkan dan meluangkan waktu untuk menggunting atau menulis indah sebagai materi ajar HS. Tapi aku menyiapkan diri pada setiap hembusan nafasku merupakan bagian dari aktifitas HS. Mulai dari tidur hingga ke tidur lagi.. atau sekedar mengingatkan anak untuk berdoa saat masuk dan keluar kamar mandi, saat bersin, saat apapun juga.. Itulah HS, dalam seluruh rangkaian aktifitas, sebab sekolahnya kan di rumah.

Pada hakikatnya, HS itu seperti kita mendidik diri kita sendiri supaya layak untuk ditiru dan diteladani oleh anak-anak kita sendiri dalam sekolah kehidupan.

Apakah tulisan ini membantu ?

Anik Damayanti

Praktisi HS, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Islam

View all posts

Add comment