Soloensis

Melabeli Harus Berlogika

Berita di halaman 1 Solopos edisi Jumat (22 Januari 2016) dan edisi Sabtu (23 Januari 2016) menggunakan term atau frasa “eks Gafatar” atau “bekas anggota Gafatar” untuk menyebut lebih dari 1.000 pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dipulangkan dari Kalimantan dan transit di Asrama Haji Donohudan, Ngemplak, Boyolali.
Pada edisi Minggu (24 Januari 2016) dan edisi Senin (25 Januari 2016), Solopos menggunakan term atau frasa “anggota Gafatar” untuk menyebut “subjek berita” yang sama, yaitu lebih dari 1.000 orang asal berbagai daerah di Jawa Tengah yang dipulangkan dari permukiman Gafatar di Kalimantan.
Mereka dipulangkan karena warga di sekitar permukiman mereka yang diproyeksikan jadi kawasan mandiri ala Gafatar itu tak menghendaki keberadaan komunitas Gafatar tersebut. Pekan lalu berbagai media massa (cetak, siaran, online) memberitakan ada pembakaran hunian warga Gafatar di Kalimantan itu.
Mengapa Solopos mengubah penyebutan “subjek berita” dari “eks Gafatar” atau “bekas anggota Gafatar” menjadi “anggota Gafatar”? Ini karena persoalan pemberdayaan logika dan penalaran yang menemukan kesesatan berpikir saat menggunakan term “eks Gafatar” atau “bekas anggota Gafatar”.
Di mana kesesatannya? Begini, lebih dari 1.000 orang itu jelas secara “sadar” menerapkan konsep “hijrah” ala Gafatar sehingga mereka meninggalkan kampung halaman–sebagian diawali menjual seluruh aset–dan kemudian berpindah ke Kalimantan, ke lokasi yang diproyeksikan jadi kawasan mandiri ala Gafatar.
Inisiatif demikian ini tentu memunculkan pelabelan bahwa mereka ini bagian dari Gafatar, mereka anggota Gafatar, pengikut Gafatar. Tentu Solopos tidak membahas bagaiman asal mula mereka bergabung dengan Gafatar. Yang jelas, saat mereka “hijrah” ke Kalimantan berarti mereka bergabung dengan Gafatar, menjadi anggota Gafatar.
Saat terjadi konflik dengan penduduk asli atau penduduk di sekitar kawasan permukiman Gafatar itu, seluruh anggota Gafatar itu harus menyelamatkan diri atau diselamatkan, terlebih ketika ada tindakan anarkistis berupa pembakaran permukiman warga Gafatar.
Ketika mereka dipulangkan—lebih dari 1.000 orang itu awalnya berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah–status mereka tak otomatis menjadi “bekas pengikut Gafatar”. Di berbagai media massa, termasuk televisi, ada warga Gafatar yang sebenarnya enggan kembali ke tempat asal mereka dan ingin tetap menjadi bagian dari permukiman yang diproyeksikan jadi kawasan mandiri ala Gafatar itu.
Saat mereka sampai di Asrama Haji Donohudan juga tak ada deklarasi atau pernyataan bahwa mereka melepaskan diri dari Gafatar. Mereka tetap warga Gafatar, pengikut Gafatar. Proses selanjutnya setelah mereka kembali ke daerah asallah yang akan menentukan apakah mereka memilih tetap menjadi pengikut Gafatar atau memilih memisahkan diri dari Gafatar.
Secara normatif label “eks Gafatar” atau “bekas anggota Gafatar” bisa “diambil” jurnalis atau wartawan ketika ada fakta: 1. Pernyataan lisan atau tertulis yang menjelaskan telah keluar dari Gafatar. 2. Mengembalikan kartu anggota Gafatar (kalau ada). 3. Membakar kartu anggota Gafatar sebagai simbol keluar dari Gafatar. 4. Langkah atau tindakan lain yang secara faktual menjelaskan “telah keluar dari Gafatar”.
Faktanya sejauh pemberitaan yang dilakukan Solopos tak ada fakta-fakta di atas. Langkah Solopos mengganti term “eks Gafatar” atau “bekas anggota Gafatar” menjadi “anggota Gafatar” atau “pengikut Gafatar” adalah koreksi yang dilakukan internal redaksi Solopos untuk menjaga kesahihan logika dan kebenaran berita.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment