Soloensis

Anak Kok Dipaksa Belajar, Pie Toh?

Mata saya tertegun saat pagi itu mendapati tumpukan kertas buram di meja belajar si kecil. Kebiasaan saya setelah mengantar anak-anak ke sekolah adalah memberesi rumah, termasuk meja belajar dua malaikat kecil saya itu.

Tumpukan kertas tersebut adalah soal ulangan tengah semester si kecil, lengkap dengan nilainya. Ada sepuluh lembar kertas. Yang membuat tertegun adalah nilai di lembar kertas-kertas buram itu. Empat lembar masing-masing tertulis nilai 100, tiga lembar nilainya masing-masing 98, satu lembar tertera nilai 95, satu lembar bernilai 84 dan lembar terakhir tertulis nilai 72. Lembar terakhir adalah nilai mata pelajaran bahasa Jawa.

Tiba-tiba melintas di kepala saya ucapan Dr. Seto Mulyadi yang akrab kita kenal sebagai Kak Seto. “Jangan memaksa anak untuk belajar,” fatwa Kak Seto kala berkunjung ke Gedung Sasana Manggala Sukowati, Sragen pada 3 Agustus lalu.

Sejujurnya saya tidak pernah memaksa si kecil belajar. Tapi harus saya akui sering muncul kekhawatiran atas kebiasaannya yang hobi main sedikit belajar. Ketika hal itu terjadi di jenjang taman kanak-kanak (TK) saya tidak terlalu ambil pusing. Namanya juga anak TK, main-main adalah dunia mereka. Tapi ketika ia sudah masuk sekolah dasar (SD) jujur saya mulai deg-degan dengan kebiasaannya itu. Apalagi, setiap hari maksimal saya hanya bisa mendampingi mereka belajar tak lebih dari satu jam lantaran aktivitas pekerjaan.

Tapi tumpukan kertas yang membuat saya tertegun itu menjawab semua keraguan. Dengan intensitas pendampingan yang tidak maksimal ditambah lakunya yang seperti ogah-ogahan belajar ternyata daya tangkapnya terhadap pelajaran jauh di luar dugaan saya. Hanya pelajaran bahasa Jawa yang nilainya di bawah 80, itupun masih lebih baik dia dibanding bapaknya dulu saat masih SD.

Anak-anak punya siasat tersendiri dalam belajar. Caranya berbeda-beda. Sedikit atau banyaknya jam belajar tidak otomatis menentukan kualitas hasil. Setiap anak punya mekanisme sendiri menyiasati waktu.

Belajar mereka ya saat bermain itu, demikian pesan ustazahnya kala si kecil masih di TK dulu. Sang ustazah kebetulan psikolog. Beliau mengingatkan kami—orang tua—agar tidak sekali-kali memarahi si kecil hanya gara-gara tidak mau belajar. “Beri waktu kami satu pekan, kami akan mengambil hati mereka,” kata ustazah yang melihat istri saya berlinang air mata ketika menyerahkan anak kami ke sekolah bersistem full day itu. Kata-kata tersebut belakangan hari terbukti kesahihannya.

Tidak memaksa anak belajar bukan berarti membiarkan anak untuk tidak belajar sama sekali. Anak tetap harus belajar karena itu akan menentukan kualitas intelektualitas mereka. Tapi ada syarat utama, mereka harus belajar dalam suasana hati yang riang gembira.

“Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah harus mampu menciptakan suasana yang menggembirakan untuk anak belajar. Apabila anak belajar dalam suasana yang menggembirakan maka mereka akan terbebas dari rasa malas,” kata Kak Seto, sosok yang saya kagumi sejak kecil hingga kini.

Bagaimana dengan full day school? Menurut saya, kuncinya tetap pada suasana belajar yang menyenangkan itu, bukan pada lamanya belajar. Sedikit waktu belajar kalau suasananya tidak menyenangkan akan membuat anak malas. Sebaliknya, seharian berkumpul dalam suasana belajar kalau hatinya senang akan membuat anak-anak bersemangat.

Dalam kasus anak saya, keduanya full day sejak kelas 1. Pertimbangannya sederhana, karena saya bekerja seharian. Secara teknis jelas itu membuat ringan beban orang tua. Jika mereka tidak full day school lalu pulang tengah hari dan beraktivitas sendirian tanpa pantauan orang tua, bagi saya itu lebih mengkhawatirkan.

Sementara ketika full day di sekolah, mereka terpantau dengan baik oleh gurunya. Di siang hari, anak-anak itu tidur mulai pukul 13.00 WIB hingga 14.30 WIB. Mereka dibangunkan untuk salat Asar sebelum akhirnya dijemput orang tua pukul 16.00 WIB.

Berdasarkan pengakuan anak saya, aktivitas di sekolah sangat menyenangkan. Mereka tetap bisa bermain seperti ketika berada di rumah. Kawan-kawan sepermainan tentu saja kawan-kawan sekelas itu.

Untuk menunjang proses suka-suka di sekolah, anak-anak saya membawa mainan dari rumah. Si sulung membawa boneka, kartu Barbie, dan rangkaian karet untuk lompat tali. Yang kecil membawa senapan, lego, bola, dan robot-robotan. Kawan-kawan mereka pun tak kalah banyak membawa mainan ke sekolah. “Kata ustaz boleh kok,” si kecil berargumentasi.

Memaksa anak untuk belajar adalah bentuk kezaliman. Tanpa sadar orang tua memaksakan anak mengikuti pola pikir orang dewasa. Ini tentu sangat tidak adil. Kapasitas otak anak berbeda dengan orang dewasa.

Tentang proses belajar ini Rasulullah SAW punya sebuah wejangan yang sangat indah. Khatibun naasa biqadri ‘ukulihim, berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan (kemampuan) akal mereka. Berinteraksi dengan orang dewasa tentu berbeda dengan cara kita berbicara sama anak-anak. Cara belajar orang dewasa jelas berbeda dengan cara belajar anak-anak.

“Biarkan anak-anak belajar dengan caranya. Bapak ibu hanya mendorong, jangan paksa anak kita belajar dengan cara kita,” kata Anies Baswedan–mantan Menteri Pendidikan yang kini rela turun pamor demi mengejar jabatan sebagai gubernur di Ibu Kota Jakarta—suatu hari.
“Karena anak-anak kita ini hidup di masa yang berbeda,” lanjut Anies yang mengalami penyusutan penggemar karena aktivitasnya di dunia politik praktis.

Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin anak akan menjadi stres. Apalagi jika masih ada les-les tambahan di luar jam pelajaran sekolah. Les Matematika, les Bahasa Indonesia, les tari, les musik, les karate, les teh, les jeruk, les campur, de el el.

Bila anak stres, sekolah atau rumah bak penjara. Seperti burung dalam sangkar, kata Emillia Contessa puluhan tahun silam. Apalagi jika orang tuanya tidak sadar diri. Anak-anak stres malah dimarahi karena dianggap malas belajar. Habis sudah.

Suasana belajar yang nyaman tidak identik dengan ruangan megah dan fasilitas mewah. Dengan bangunan tua, meja kursi seadanya proses mengejar ilmu terasa asyik karena suasana belajarnya menyenangkan.

Sebaliknya, semewah dan selengkap apapun fasilitas sekolah jika cara guru menciptakan suasana belajar tidak baik, akan membuat anak mual dan pengin muntah. Anak mengantuk dimarahi, sedikit berisik dibentak, tidak bisa mengerjakan soal dihukum, ya bagaimana anak-anak tidak pusing, coba?

Setiap anak punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka punya keunikan yang pasti tidak akan sama antara satu dan yang lainnya. Jangan marahi anak-anak hanya karena kemampuan matematika mereka jelek, sebab pasti dia akan menonjol di pelajaran yang lain.

Anak saya yang pertama punya kelemahan di pelajaran berhitung tapi ia cemerlang di pelajaran yang berkaitan dengan hafalan. Anak saya yang kedua rata-rata pada pelajaran yang sifatnya hafalan tapi sangat menonjol di pelajaran berhitung dan logika.

Ya begitulah. Meminta mereka jos di semua pelajaran itu sama saja menzalimi mereka. Coba dibalik saja, apakah para guru itu hebat di semua mata pelajaran? Tidak kan? Bukankah mereka spesifik di mata pelajaran tertentu dan hanya tahu sedikit di mata pelajaran yang lain. Betul begitu, guru?

Wahai para orang tua (dan guru), didik putra-putri kita dengan kreativitas. Bisikkan kepada mereka semangat pantang menyerah, bukan marah-marah. Semangati mereka agar tidak mudah putus asa, ajari mereka dengan kekuatan cinta.
Dan yang utama, setop kekerasan terhadap anak. Baik kekerasan verbal apalagi kekerasan fisik. Karena apapun yang kita lakukan akan terekam dengan sangat kuat di memori mereka. Wallahu a’lam bisshawab.

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment