Soloensis

P Tiga (M. Lutfi Ulinuha)

Politik… kata yang kontrofersi dengan sejuta tanda tanya yang membingungkan jalan
hidup bangsa Indonesia. Sebagaian orang tertarik akan perpolitikan Indonesia dan support
ikut ambil alih didalamnya, tetapi tidak sedikit rakyat Indonesia yang enggan mendengar kata
politik dan anti mendengar namanya, karna ketidakpastian perpolitikan Indonesia yang
dipenuhi dengan politikus-politikus MODUS dengan kebohonganya yang terlalu sering
memberikan PHP (Politik Harapan Palsu) terhadap rakyat Indonesia, Terutama rakyat kecil,
rakyat yang awam yang mendominasi negri ini. Hal ini yang perlu digaris bawahi dan patut
dijadikan revisi yang kesejuta kalinya revisi terhadap perpolitikan Indonesia, karna tujuan
politik yang dimaksud tidak sesuai dengan definisi politik dan sangat melenceng jauh dari
praktek perpolitikan Indonesia.
Sangat diuntungkan rakyat Indonesia atas asas kenegaraan yang dianut oleh negri ini
dimana seluruh elemen masyarakat bisa ikut andil dalam kemajuan pemerintahan Negara ini
dengan ikut aktif dalam pemerintahan dari tingkatan bawah (RT) hingga tingkatan tinggi
yaitu pemerintahan pusat. Disini yang membuat saya bingung akan kemauan yang
sebenarnya bangsa ini, dimana UU memberikan kehendak dan kebebasan dalam perpolitikan
ini, sehingga tidak ada alasan orang yang takut berkecimung didalamnya, selama ia sanggup
dalam mengemban ketentuan perpolitikan dan sanggup memenuhi semua prasyaratnya.
Berbicara siapa yang berhak mengambil alih perpolitikan negri ini, lalu harus siapa yang
mengambil alih hal ini kalau bukan kita yang sanggup memberikan efek positif terhadap
kemajuan dan kesejahtraan rakyat ini kedepanya. Entahlah.
Memang jabatan adalah beban yang harus kita topang selama masanya, tetapi jabatan
bisa nikmat ketika godaan terus menerpa kita, dengan godaan bahwa di kursi jabatan
merupakan gudangnya uang sehingga bisa lebih leluasa melakukan korupsi, kolusi maupun
nepotisme. Heran jikalau ribuan calon berdatangan ketika masa pemilu raya datang. Angan-
angan menjadi pejabat semakin cocok ketika masa kampanye berlanjut. Rakyat siapa yang
tidak tertarik atau terayu oleh janji-janji manis juru kampanye yang handal dalam menarik
simpatisan rakyat, rakyat mana yang tidak mau diberikan fasilitas kemudahan hidup demi
meraih kesejahteraan hidup oleh calon Presiden dengan kata-kata yang begitu meyakinkan,
saat kampanye digelar.
Dalam konteks strategi Politik memang kampanye merupakan poin yang tidak bisa
dihilangkan dalam gelanggan perpolitikan, selama ia tidak melanggar ketatapan peraturan
yang telah ditetapkan sesuai undang-undang. Black campaign, money politic. Kampanye pada
dasarnya merupakan perkenalan diri seorang calon pemimpin dimana ia harus menebar
strategi-stategi kepemimpinanya yang akan membawa rakyat dan negaranya menuju hidup
yang lebih maju dan sejahtera. Kampanye bukan hanya sekedar janji-janji buta yang hanya
menarik simpatisan rakyat untuk memilih, tetapi kampanye merupakan sarana perpolitikan
untuk menyebarkan strategi nyata yang akan di laksanakan kelak masa pemerintahnya. Tetapi
hal yang terjadi di perpolitikan Indonesia, kampanye sendiri tidak sesuai dengan tujuanya, dimana para politisi lebih menjadikan sarana kampanye merupakan sarana perang yang saling
menjatuhkan pesaingnya. Menebar pitnah, dan menggiring seluruh elemen rakyat kepada
konflik yang begitu kejam.
Memang tidak semua politisi menjadikan kampanye negatife seperti itu, tetapi saya
melihat mayoritas politisi, sehingga saya sangat miris ketika politisi menjadikan kamapanye
tidak sesuai dengan tujuanya. Saya kira saya lebih suka menyebut hal ini dengan sebutan
Pembodohan Publik, nyatanya kampanye telah menjelma kita, jargon-jargon yang melekat
pada rakyat, politisi amplop lebih disukai rakyat, paparan janji-jani meyakinkan. Tetapi hal
itu hanyalah pembodohan publik, PHP (Politisi Harapan Palsu) dan hanya sandiwara politik
para elite politik yang haus akan jabatan kursi pemerintahan.
Ketika para politisi menjadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan, kita kembali pada
satu dekade kebelakang. Era orde baru dimana kekuasaan sepenuhnya dikuasai oleh
kekuasaan otoriter yang telah memimpin Negara ini seperempat abad lebih lamanya, disini
rakyat hanya dijadikan tumbal semata yang didalangi oleh dalang handal dan otoriter,
sehingga gerak-gerik rakyat terbatas dan selalu diawasi oleh elite pemerintahan. Kebebasan
berpendapat terbatas, sulit untuk melakukan akifitas berkemajuan sehingga disini barat
menilai keterlambatan Negara Indonesia terhadap perubahanya sangat lamban. Negara ini
dalam berkembang. Dalam konteks ini pernyataan Thomas Friedman selaku wartawan The
New York Times, dapat dibenarkan. Dia pernah berkata bahwasanya Negara Indonesia telah
menjadi Negara messy state, atau Negara amburadul. Saya sangatlah setuju dengan
pernyataan ini karna semenjak pemerintaha otoriter bangsa ini belum bisa beralih menuju
pembangunan yang begitu signifikan, sehingga relevan sekali jika Thomas Friedman berkata
seperti Indonesia sangat lamban dalam pertumbuhanya.
Di pertengahan tahun 1998 bangsa Indonesia seolah-olah akan memanen kehidupan
yang lebih sejahtera, sejak runtuhnya pemerintahan otoriter rezim orde baru, tetapi realita
sesungguhnya apa yang terjadi. Kurang dari setengah abad bangsa Indonesia dipimpin oleh
pemerintah otoriter kini tak kunjung mendapatkan kehidupan yang lebih indah. tetap hal nya
sama dengan kenyataan rezim orde baru, rakyat hanya dijadikan tumbal kekuasaan yang
menangih kenikmatan sesat, ditangan para politisi yang berfikir picik dan pragmatis. Heran
padahal asas yang dianut oleh Negara ini adalah asas demokrasi, kalau didefinisikan adalah
dari rakyat untuk rakyat, tetapi rakyat hanya dijadikan tumbal kekuasaan dan tidak sesuai
dengan demokrasi sesungguhnya. Begini lah cermin dan realita perpoitikan dan demokrasi
Indonesia yang patut dan wajib kita rubah dan depak para sampah-sampah elite politik licik.
Salah satu keniscayaan politik adalah keterbukaan, Seorang pemimpin menjadi lebih
terhormat dan hebat ketika didepan rakyat ia bersikap terbuka, mampu mendengarkan
aspirasi rakyat, menampung sekian saran demi motivasi dan apresiasi. Disini terlihat mana
pemimpin yang terlihat sangat merakyat dan terbuka atau hanya sekedar memasang topeng
keterbukaanya saja saat kampanye mendatang. Wujud nyata saling memasang strategi dalam
menarik simpatisan rakyat dalam kampante, berebut mengambil alih perhatian rakyat agar
bisa menang dalam pemilihan umum. Realita yang ada, pemimpin yang memasang topeng
keterbukaanya pada rakyat hanyalah sekedar formalitas perpolitikan Indonesia, pura-pura senang menampung keluhan aspirasi rakyat demi tercetusnya program kerja yang formalitas.
Disini saya kira hanya sekedar kemunafikan para elite politik saja, didepan rakyat kita harus
benar-benar seutuhnya untuk rakyat dan tidak hanya sekedar pura-pura jadi pemimpin baik,
alim, bijaksana, dermawan. Itu semua hayalah gaya klasik dan munafik. Kemunafikan inilah
yang banyak terjadi di kanca perpolitikan Indonesia dimana muka-muka pemimpin baik
terlihat hanya didepan rakyat saja. Demi untuk menjadi pemimpin dan menang dalam pesta
politik.
Menurut A. Yusrianto (2013) sejatinya perpoltikan Indonesia itu adalah memakai
logika matematika dimana mereka sangat begitu merinci dan menghitung detail “untung-
rugi” nya. Hal itu yang disampingkan oleh rakyat Indonesia. Seandainya kalau kita mau
berpikir kritis dan menganalisis kecil-kecilan para elite politik, pikiran kita akan tercondong
pada uang atau modal awal mereka yang telah dihambur-hamburkan untuk keperluan politik,
kampanye dan lain-lain. Poin ini kita bisa telaah secara logika karna jika para pedagang
politik itu mengeluarkan modal awal 1 milyar, untuk membeli kursi legislatif. Maka
pedagang politik tersebut harus bisa memutar otak dan berpikir ekstra keras mengatur strategi
bagaimana ia harus bisa membalikan modalnya. Sebagai contoh saya ambil dari salah satu
kabupaten di Jawa Barat yang menjadi korban modal politik akibat tidak puas dengan hasil
yang ia raup dalam bisnis politiknya, yaitu Agus Supriadi seorang bupati Garut yang tercatat
menyelewengkan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) selama tahun 2004
hingga 2006.
Tindak korupsi yang dilakukan oleh Agus Supriadi terjadi di berbagai sector, mulai
dari sector perdagangan dan ekonomi rakyat hingga sector pendidikan . pada sektor
perdagangan Agus Supriadi kecipratan dana dari pembangunan an pengembangan proyek
pasar Cikajang. Terbongkarnya kasus Agus dalam penyelewangan pasar Cikajang berawal
pencairan dana talangan. Perlahan tapi pasti, aksi Aksi Agus Supriadi seaku bupai Garut
lainya terus terungkap, Agus memanfaatkan momentum pemilu untuk mencuri uang
rakyat.Saat itu gubernur Jawa Barat memnerikan dana bantuan penyelenggaraan pemililu
kepada pemerintah garut, tetapi alhasil Bupati Garut justru seenaknya menyelewengkan demi
membeli harta kekayaan. Merasa perbuatanya tidak diketahui dan merasa sebagai penguasa
Garut. Hal ini masyarakat Garut menunjukan curiganya kepada sang Bupati akbiat
perlakuanya yang sangan aneh dan mencurigakan, disini akhirnya warga curiga akibat gaya
hidup Agus yang lebih modern dan banyak barang baru di rumahnya. Bayangin saja siapa
yang tidak curiga jika pemimpin yang semakin kaya raya dan rakyatnya semakin miskin,
banyak mobil mewah, barang mewah yang di boyong atau dibeli oleh Agus. Dan tidak
sungkat warga Garut melaporkan tindakan Agus kepada KPK (Komisi Pemberantaran
Korupsi)
Agus Supriadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ada kesaksian dan bukti
kuat atas penyelewengan dana pemerintahan Garut. Akibat tindakanya Agus harus berhenti
menikmati uang haramnya dan harus berurusan KPK, untuk menjalani hukuman. Hukuman
pertama Agus dari KPK adalah penyitaan rumah dan kendaraan mewah yang diduga
merupakan hasil dari korupsi. Sang bupati lalu diajukan ke depan pengadilan tindak pidana
korupsi untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya, pada persidangan tersebut. Jaksa penuntuk dari KPK menuntut Agus Supriadi dengan hukuman 10 tahun penjara, meski
demikian pada tanggal 123 April 2008 majlis hakim memutuskan Agus menjalani hukuman
selama 7,5 tahun.sejak itu hingga hampir satu windu rumah baru Agus adalah bui penjara
yang disekat oleh jeruji besi sebagai ganjaran atas kelicikan Agus dalam perpolitikan yang di
emban nya.
Politik era sekarang tidak menjadikan kodrat politik dengan realitanya, dengan contoh
diatas. Dewasa ini elite politik mejnadikan politik sebagai bisnis yang sangat menggiurkan.
Karna sejatinya kursi jabatan maupun kursi legislative adalah gudang uang yang terkumpul
dari rakyat. Nama bisnis terkadang untung terkadang rugi, begitu juga para elite politik yang
hobi bermain diatas perpolitikan Indonesia, berdansa diatas kebingungan rakyat. Keuntungan
elite politik pun bisa mencapai jutaan kali lipat akibat dari perdagangan politik. Seharusnya
saran dari saya Perpolitikan Indonesia patut diganti namanya menjadi perindustrian politik,
sesuai dengan kenyataan wajah perplotikan Indonesia .
Pembodohan Publik kini saya tidak akan segan-segan untuk mengumbar salah satu
elite politik yang dulu pernah berjanji manis terhadap rakyat, sampai sekarang hanyalah
omong kosong belaka. Sebut saya mantan Presiden kita yang ke 6 Susilo Bambang
Yudhoyono atau yang lebih akrab di sapa SBY. Kritik saya terhadap kinerja presiden, lewat
cara membandingkan antara janji-janji politiknya dengan fakta yang terjadi di lapangan, ini
bukanlah evaluasi karna evaluasi tertuju pada pemerintahan yang sedang berlanjut. Ini kritis
saya terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono semasa ia memerintah dua periode
berturut-turut yang tidak sesuai dengan mulutnya sewaktu kampanye. sekali lagi bukan
bermaksud menjatuhkan dan menghancurkan citranya sebagai Mantan Presiden. Tetapi
dalam kapasitasnya sebagai Presiden, sangatlah banyak hal yang harus dikrritik
kepemimpinanya.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampil mencalonkan diri sebagai Presiden
untuk yang pertama kalinya periode 2004-1009, banyak elemen masyarakat menaruh simpati
terhadapnya. SBY sangat menunjukan kepedulian dan komitmenya lewat kampanye yang
digelar pada pesta pemilu raya dulu. Ia tidak hanya mencanangkan pemerintahan yang bersih
dari korupsi, tetapi juga bkesejahteraan dan pentingnya memajukan pendidikan untuk anak
bangsa, persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini terangkum dalam visi-misi SBY
sebagai calon presiden saat itu.
Namun demikian, seiring berjalanya waktu, kepercayaan yang diberikan oleh rakyat
ternyata tak mampu dipikul dengan sebenar-benarnya, dengan pemun amanah, dan komitmen
yang kuat. Jaringan Suara Indonesia (JSI), dalam salah satu surveinya yang dilakukan pada
10-15 Oktober 2011 silam, menunjukan dari sekian banyak janji SBY yang terpaparkan saat
kampanye silam, tercatat ada 15 janji politik SBY hanya ada tiga yang terpenuhi selama dua
tahun kepemimpinanya.
Dalam survey tersebut diungkapkan bahwa janji SBY yang telah terpenuhi yaitu :
1. Pelayanan dan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.
2. Kesejahteraan guru dan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.
3. Meningkatkan pembangunan insfraktrktur.
Itulah tiga janji dari sekian banyak janji yang terpenuhi, dan tiga janji ini atas
penilaian masyarakat yang cukup terealisasi menurut survei Jaringan Suara Indonesia (JSI).
Hanya satu yang saya ungkap dari sekian ribu elite politik yang membanjiri kanca
perpolitikan dan ikut ambil alih dalam kursi legislatif juga parlementer. Bayangkan saja jika
semua diungkap janji-janji mereka didepan public dan dituntuk untuk bisa merealisasikan
secara nyata. Mau sampai kapan Perpolitikan kita seperti ini, mau berubah kapan wajah
skema perpolitikan selama ini. Apa politik Indonesia sudah beubah status menjadi
perindustrian politik !. kalau seperti ini selamanya, perpolitikan Indonesia merupakan
pembodohan publik semata.

Apakah tulisan ini membantu ?

amalia anzhafa

Melesir bakat dan insipirasi

View all posts

Add comment