Soloensis

Mengaudit Jurnalisme

Saya antusias mengikuti adu data, adu logika, dan adu argumentasi antara Majalah Tempo di satu pihak dengan mereka yang terafiliasi sebagai Teman Ahok di pihak satunya. Perdebatan yang saya ikuti hanya yang di Twitter.

Majalah Tempo beberapa kali menerbitkan laporan berbau investigasi yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ada laporan ihwal pembelian lahan dan bangunan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ada laporan ihwal proyek reklamasi pantai utara Jakarta, dan yang termutakhir adalah ihwal “dugaan” aliran dana Rp30 miliar ke komunitas Teman Ahok yang bersumber dari para juragan pemegang hak reklamasi pantai utara Jakarta.

Teman Ahok adalah komunitas kaum muda pendukung Ahok. Mereka ini bekerja keras mengumpulkan dukungan untuk pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta melalui jalur perseorangan. Sampai saat esai singkat (dan tidak mutu) ini saya tulis, Teman Ahok telah mengumpulkan lebih dari sejuta fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) warga DKI Jakarta yang mendukung Ahok maju sebagai calon gubernur dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 mendatang.

Secara umum, komunitas Teman Ahok yang diwakili beberapa personel yang aktif di Twitter dan punya pengikut cukup banyak meragukan kesahihan dan keakuratan data-data laporan Tempo. Di sinilah yang membuat saya tertarik mencermari “perang” dua pihak tersebut, “perang” wacana di Twitter. Saya menangkap ada semangat “mengaudit” jurnalisme Tempo yang terkait dengan Ahok.

Auditornya tentu saja personel-personel di Twitter tersebut, yang terafiliasi sebagai atau dengan Teman Ahok. Yang jelas para “auditor” itu adalah pendukung Ahok. Dalam pemaknaan saya, inilah salah satu dampak positif media sosial sebagai “mitra” bagi pers atau media massa yang kukuh berpijak di atas kredo-kredo jurnalisme.

Mengaudit jurnalisme Tempo yang dilakukan personel-personel Teman Ahok itu penting justru untuk menjaga muruah atau harga diri jurnalisme kita. Saya sebagai pencinta dan pembaca Tempo, dan kebetulan berprofesi sebagai jurnalis, selalu berusaha memahami “perang” antara dua pihak itu sebagai berkah bagi jurnalisme. Saya menangkap banyak pelajaran penting bagi kehendak meningkatkan kualitas jurnalisme kita.

Perang dua pihak yang kemudian saya masukkan dalam istilah “mengaudit jurnalisme” ini layak dicermati para jurnalis, para akademisi jurnalisme, dan masyarakat umum yang berkehendak melek media atau punya kemampuan literasi media. Saya tidak berkehendak menyimpulkan Tempo yang benar atau teman-teman Ahok di komunitas Teman Ahok itu yang benar.

Tempo dalam pemaknaan saya adalah aset sangat berharga bangsa ini. Kredibilitas jurnalisme Tempo dibangun seturut sejarah perkembangan bangsa ini. Saya termasuk warga bangsa ini yang meyakini Tempo punya standar jurnalisme tinggi. Tinggi di sini tentu saja bermakna praksis-praksis jurnalisme di media ini–dan grupnya tentu saja–dilaksanakan berbasis kredo jurnalisme ala elemen-elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, kode etik jurnalistik, dan UU Pers.

Tak perlu argumentasi berbelit-belit dan data yang sangat detail–bagi saya–untuk meyakini kredibilitas jurnalisme Tempo. Kredibilitas itu dibangun puluhan tahun dan kebetulan saya kenal dan pernah bergaul dengan beberapa jurnalis Tempo yang kini menjadi bagian dari “garis depan” jurnalisme Tempo. Saya tahu kredibilitas dan profesionalisme mereka.

Ketika di Twitter ada akun yang memunculkan semacam uraian panjang yang muaranya adalah mempertanyakan kredibilitas Tempo, saya memaknainya sebagai bagian dari mengaudit jurnalisme Tempo. Itu hak publik, hak pembaca Tempo, hak siapa pun yang ingin mendapatkan kebenaran berdasar produk jurnalisme Tempo.

Salah satu uraian panjang di Twitter itu membedah kondisi keuangan penerbit Tempo yang kemudian dikaitkan dengan kredo jurnalisme Tempo. Saya menangkap ada kesimpulan dari uraian panjang tersebut bahwa Tempo “menjual diri” demi menutup kerugian dan demi mengejar pemasukan (iklan) untuk menyehatkan perusahaan.

Persoalannya, dari uraian panjang itu saya tak menemukan ada data konkret bahwa “garis api” di Tempo telah padam. Dalam praksis jurnalisme “garis api” itu semacam manifestasi ideologi dan kredo yang secara tegas memisahkan jurnalisme (berpijak kredo jurnalisme, kode etik jurnalistik, dan UU Pers) dan urusan usaha (perusahaan, iklan, pendapatan perusahaan).

Apakah “garis api” di Tempo telah padam? Jika jawabannya adalah “ya” berarti analisis panjang lebar di Twitter itu benar adanya. Bila jawabannya ternyata “tidak”, artinya analisis panjang lebar di Twitter yang mengaitkan kondisi perusahana penerbit Tempo dengan kredo jurnalisme tak menemukan landasan logisnya. Bisnis pers punya ciri khas, yaitu selalu ada perbenturan antara urusan kredo jurnalisme dengan urusan usaha (iklan, keuangan). Jamaknya yang dimenangkan adalah kredo jurnalisme.

Kemudian, ketika gugatan terhadap Tempo di jagat Twitter itu masuk ke ranah meragukan kesahihan dan keakuratan data-data dalam produk jurnalisme yang muncul di Tempo, ini hal yang positif. Argumentasinya begini: jurnalisme yang baik, jurnalisme yang profesional, jurnalisme yang kukuh berpihak pada kredo jurnalisme selalu bisa diaudit.

Mengaudit jurnalisme artinya mempertanyakan kevalidan data, mempertanyakan kesahihan cerita yang dibangun, dan termasuk juga mempertanyakan kompetensi narasumber yang digunakan. Narasumber anonim pun bisa diaudit oleh publik–siapa pun yang berkehendak mendapatkan keyakinan atas produk jurnalisme–dengan menelisik kelogisan data yang dikaitkan dengan narasumber anomim.

Saya memaknai “perang” antara Tempo dengan teman-teman Ahok itu masih dalam kerangka mengaudit jurnalisme itu. Siapa yang benar? Bagaimana cara membuktikan siapa yang benar itu? Waktu yang akan berperan penting–bahkan jadi faktor determinan–untuk membuktikan jurnalisme Tempo akurat atau tidak atau malah teman-teman Ahok itu yang benar.

Ingat, dalam jurnalisme kebenaran yang muncul adalah kebenaran prosedural, yaitu kebenaran yang dikonstruksikan oleh prosedur jurnalisme yang sangat ketat–sekali lagi, sangat ketat–sehingga memungkinkan kebenaran yang diungkapkan akan “berubah” seturut kian panjangnya prosedur jurnalisme yang ditempuh dan waktu yang berjalan. Untuk memahami kredo jurnalisme demikian ini Anda bisa membacanya di buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang membahas elemen-elemen jurnalisme.

Bila Tempo telah menjalankan prosedur jurnalisme yang ketat dan kukuh berpijak di atas kredo jurnalisme, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan bila teman-teman Ahok itu meyakini Tempo melakukan manipulasi dan insinuasi, nanti akan terbukti seturut “audit” jurnalisme yang mereka lakukan dan seturut kredo jurnalismem yang dijalankan Tempo. Bisa jadi pada akhirnya, Tempo mendapat tambahan kredibilitas karena lulus dalam “audit” yang dilakukan publik (teman-teman Ahok) dan teman-teman Ahok menyumbang peran penting memperbaiki dan mengontrol praksis jurnalisme.

Ichwan Prasetyo

Jurnalis cum buruh di Solo

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment