Soloensis

Sehari Merasakan Menjadi Gerilyawan Vietkong

Hari terakhir pengembaraan Ho Chi Minh City-Phnom Penh-Siem Reap, saya dan teman-teman kembali mendamparkan diri di Ho Chi Minh City. Berhubung kami masih punya waktu seharian penuh, sebab pesawat yang akan membawa kami kembali ke pelukan ibu pertiwi tercinta (cie…cinta Tanah Air banget!) berangkat malam, maka kami mengambil paket one day tour (tentu saja dengan memperhitungkan juga jadwal penerbangan malam kami. Pokoknya jangan sampai meleset dah! Meleset, bisa hangus tiket pulang kami).

Yah namanya juga wisatawan backpacker yang punya prinsip selagi masih ada waktu kudu dimanfaatin banget buat ngubek-ubek seluruh objek wisata! Begitulah, kami pun berusaha semaksimal mungkin menikmati detik-detik terakhir kami di kota yang pernah menyandang nama Saigon ini. Saya memutuskan untuk ikut one day tour ke Cu Chi Tunnels yang ditawarkan oleh pihak hotel (penginapan saya terletak di Bu Vien Street, District 1, Ho Chi Minh City. District 1 merupakan kawasan turis di Ho Chi Minh City. Semua keperluan turis tersedia di sini! Yah kalo Anda pernah mendamparkan diri di kawasan Kaosan Road Bangkok, kurang lebih seperti itulah suasananya, pokoknya semua keperluan turis tersedia di satu kawasan tersebut, kita enggak perlu susah-susah or jalan jauh-jauh dari penginapan deh untuk mendapatkan semua kebutuhan kita). Harga one day tour ini sangat beragam, mulai USD 4,5 – USD 5 per paket (harga tersebut belum termasuk tiket masuk ke Cu Chi Tunnels senilai 75.000 Vietnam Dong/VND. Kurs mata uang yang berlaku saat itu USD 1 = 19.000 VND). Kebetulan, saya dapat paket seharga USD 5. Di one day tour ini, peserta tur dijemput oleh pihak penyelenggara. Mobil jemputan berupa mini van yang sangat nyaman berisi sekitar 7 orang (plus satu tour guide). Pukul 08.00 waktu setempat (tak ada perbedaan waktu antara Saigon dan Jakarta), mobil penjemput datang. Perjalanan ke Cu Chi Tunnels hanya butuh waktu sekitar 30 menit. Tapi, ternyata, peserta tur diajak mampir terlebih dahulu di pusat pembuatan kerajinan tangan khas Vietnam. Yang membuat saya salut, seluruh pekerja di tempat tersebut adalah kaum difabel. Di setiap sudut pabrik terdapat tulisan yang kurang lebih isinya seperti ini: Pemerintah Vietnam melarang kaum difabel menjadi pengemis atau peminta-minta di jalanan, karena itu mereka sengaja diberdayakan di pusat kerajinan tangan ini. Hebat ya! Jadi, bukan sekadar slogan alias omdong, tapi ada action-nya.

Saat mengunjungi tempat tersebut, ingatan saya melayang ke kampung halaman saya, Solo. Banyak sekali kaum difabel menjadi pengemis di sejumlah perempatan jalan. Kenapa langkah Pemerintah Vietnam ini tidak kita tiru ya? (Hal serupa juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Kamboja yang memberdayakan kaum difabel sebagai penabuh gamelan khas Kamboja. Para penabuh gamelan ini ditempatkan di setiap obyek wisata, misal di Royal Palace dan Angkor Wat). Setelah puas melihat proses pembuatan kerajinan tangan khas Vietnam, rombongan bergerak menuju tujuan semula: Cu Chi Tunnels.

Di Cu Chi Tunnels, kami bertemu banyaaak sekali turis. Sebagai starting point, rombongan diajak menyusuri hutan yang dipergunakan untuk bergerilya pasukan Vietkong saat melawan tentara Amerika Serikat. Setelah melalui hutan-hutan, tibalah saatnya merasakan pengalaman sesungguhnya menjadi gerilyawan Vietkong: menyusuri tunnels supeeeeer sempit dan supeeeeer panjaaaang! Saya sarankan bagi penderita klaustrofobia sebaiknya men-delete objek satu ini sebab lorongnya sangaaaat sempit, panjang dan gelap. Hanya cukup untuk ukuran 1 orang, itu pun dalam posisi jongkok. Di beberapa tempat, kita malah harus merangkak. Benar-benar merangkak dan hanya berpegangan pada teman di depan kita. Saya aja yang bukan penderita klaustrofobia sempat merasa ngeri. Betul-betul enggak bisa ngebayangin bagaimana para Vietkong itu dulu hidup dan berjuang di bawah tanah seperti itu!

Di beberapa bagian, ada lorong yang menyempit, bercabang dan sangat gelap. Di terowongan ini kita harus benar-benar mendengarkan instruksi tour guide, jangan coba-coba belok sendiri karena bisa tersesat. Namun, jangan khawatir kehabisan napas atau pingsan kecapekan. Kalo pingin berhenti dan keluar, Anda tinggal tereak aja nanti seluruh anggota rombongan di depan Anda akan berhenti memberi kesempatan Anda keluar dan memberi kesempatan teman di belakang Anda untuk menggantikan posisi Anda di barisan. Di beberapa terowongan terdapat semacam pintu darurat. Jadi bila sewaktu-waktu pengunjung merasa dengkulnya capek merangkak-rangkak, pinggang sakit, atau merasa sesak napas, atau ngeri terlalu lama berada di kegelapan lorong, mereka bisa langsung ke luar dan menghirup udara segar. Pintu keluarnya berupa lubang vertikal yang harus Anda buka dari bawah lorong. Uniknya, di beberapa bagian lorong ada ruangan-ruangan luas yang katanya itu menjadi tempat rapat, rumah sakit, dan sebagainya. Tapi ada pula ruangan-ruangan terbuka di udara terbuka, bukan di bawah tanah. Sumpah! Berada di dalam terowongan itu rasanya seperti tak ada akhirnya atau tak ada ujungnya. Saya benar-benar salut dengan Vietkong yang bisa membangun terowongan sesempit dan serumit itu…

Selain menyusuri terowongan, pengunjung juga bisa menjajal aneka senapan laras panjang. Lha ini yang paling asyik! Di sini, pengunjung tak perlu membeli tiket lagi, melainkan cukup beli peluru. Setelah memilih jenis senapan, pengunjung akan ditawari ingin beli berapa butir peluru. Jenis-jenis senapan laras panjang yang saya ketahui adalah AK 47 dan M 16. Berhubung saya tidak begitu familier dengan senapan model otomatis, maka saya memilih senapan bikinan Kalashnikov (alias AK 47). Saya beli 10 butir peluru seharga USD 14 (Rp 140.000 jika diasumsikan USD 1 = Rp 10.000). Sebelum menembak, tour guide membisiki saya,”Kalau kamu bisa menembak tepat di sasaran, kamu dapat hadiah topi, kaus dan sebagainya.” Wah! Jadi semakin semangat menembak sasaran nih! Tapi ternyata, menembak sasaran itu tak semudah main kelereng ya! Seluruh tembakan saya meleset dengan sukses! Bravo! (Plus bonus telinga tuli mendadak saking kerasnya bunyi tembakan! hah). Oya, sedikit tips buat yang ingin memotret teman yg sedang beraksi dengan AK 47, sebaiknya mewaspadai dimana arah jatuh selongsong peluru. Meski pun tidak berbahaya, tapi jidat bisa benjol dan kulit bisa melepuh kepanasan juga bila terkena selongsong peluru. Meski tak membawa pulang hadiah, saya sangat senang. Karena, kapan lagi bisa mencoba ngerasain jadi gerilyawan kalau bukan di Cu Chi Tunnels? Seperti kisah Vietnam yang berakhir happy ending, petualangan seharian yang melelahkan dan menakutkan itu juga berakhir dengan bahagia: seluruh wisatawan berkumpul di sebuah gubuk beratap rumbia, kami duduk mengitari meja. Sementara di meja terhidang singkong rebus dan teh hangat. Setelah bersulang cheers, kami semua menyantap semua hidangan itu dengan lahap. Melalui diplomasi singkong rebus dan teh, Pemerintah Vietnam seolah tak hanya ingin menghapus rasa lelah wisatawan, melainkan juga menghapus kenangan buruk saat AS menggempur habis-habisan negara tersebut.

O ya, saat berada di Ho Chi Minh City kita bisa juga dengan mudah ngedapetin suvenir bergambar logo partai komunis. Jadi, kalo saya melihat, Vietnam lebih dewasa dalam hal berpolitik dibandingin Indonesia. Mereka tidak menderita fobia terhadap komunis.

Sebetulnya Kamboja juga menawarkan wisata sejarah kelam masa lalu saat Khmer merah berkuasa. Di tempat tersebut kita bisa melihat sisa-sisa kekejaman pasukan Khmer dan ribuan warga yang menjadi korban. Tapi kami memilih tidak memasukkannya dalam daftar kami karena kami tidak mau melihat terlalu banyak tragedi dalam wisata kali ini. Cukup melihat tragedi Saigon saja. Saya benar-benar trenyuh membayangkan masa itu membayangkan orang-orang Vietnam yang berpostur kecil-kecil dengan persenjataan seadanya kemudian dibandingin dengan postur tentara AS yang tinggi besar plus persenjataan komplit, rasanya sungguh bukan lawan yang seimbang. Yah begitulah.

Di foto yang saya upload itu memperlihatkan seorang turis Kanada berusaha masuk ke pintu vertikal bikinan Vietkong, dengan demikian Anda bisa memiliki bayangan : pintu masuknya aja sesempit itu, apalagi bagian dalamnya! Bagi turis Asia seperti saya, enggak masalah berada di terowongan itu karena sepertinya dibikin seukuran tubuh orang-orang Asia yang super mungil. Kendati demikian kalo tidak terbiasa, ya tetap aja dengkul terasa mo copot dan pinggang pegalnya luar biasa hehe…

(Astrid – astridpwd@gmail.com)

Apakah tulisan ini membantu ?

Astrid Prihatini Wisnu Dewi

i love travelling sooo much!

View all posts

Add comment