Soloensis

IRONI KEDELAI IMPOR DI NEGERI TEMPE

Siapa yang tidak kenal dengan tempe dan tahu? Sebagai masyarakat Indonesia, produk olahan kedelai tersebut tentu menjadi makanan yang seringkali dikonsumsi. Tak lengkap rasanya bila makan tidak ada tempe dan tahu. Berbagai menu masakan dapat diolah dari bahan tersebut. Ditambah lagi dengan harganya yang terjangkau serta kandungan protein yang tinggi, tempe dan tahu sudah menjadi produk olahan kedelai favorit di negeri ini. Oleh karena itu, tidak dapat terelakkan lagi, besarnya ketergantungan bangsa ini terhadap tempe dan tahu dengan bahan baku dari kedelai.

Kedelai dengan nama latin Glycine max (kedelai kuning); Glycinesoja (kedelai hitam) merupakan tumbuhan serbaguna yang menjadi sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kadar protein yang tinggi dapat digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak.  Pemanfaatan utama kedelai adalah dari bijinya. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji kedelai dapat dibuat menjadi berbagai bentuk seperti tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco.

Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia berada pada urutan ke-15 sebagai negara penghasil/produsen kedelai terbesar di dunia dengan tahun produksi 2017. Negeri ini pun sudah menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sementara hasil SUSENAS yang dilaksanakan BPS tahun 2018, menunjukkan konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia sebesar 7,61 kg dan tahu 8,23 kg. Ironisnya, pemenuhan kebutuhan akan kedelai yang merupakan bahan baku utama tempe dan tahu, sebanyak 2,58 juta ton harus diimpor dari luar negeri. Hal ini terjadi karena produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan kedelai dalam negeri.

Dari Buletin Konsumsi Pangan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2019, konsumsi atau penggunaan kedelai mengalami kenaikan setiap tahunnya, sedangkan produksi kedelai lokal berjalan statis. Produksi kedelai lokal selalu dibawah 1 juta ton per tahun. Pada 2014, volume produksi kedelai di Indonesia tercatat 954.997 ton. Setahun kemudian, volumenya naik, tetapi tidak signifikan, hanya 963.018 ton. Pada 2016, produksi malah menurun ke angka 859.653 ton, dan menurun lagi tahun berikutnya menjadi 538.728 ton. Hal ini menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri.

Pada 2014, konsumsi kedelai mencapai 2.063.893 ton, dengan tingkat konsumsi per kapita sebesar 6,43 kg. Setahun kemudian, terjadi kenaikan sebesar 8,08% dari tahun 2014. Kenaikan konsumsi kedelai ini terus terjadi hingga tahun 2018 yang mencapai 2.448.480 ton. Jika dilihat dari volume produksi kedelai lokal, konsumsi kedelai di dalam negeri masih sangat belum mencukupi. Hal ini yang menyebabkan Indonesia masih terus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Volume impor kedelai selalu bertambah setiap tahun, seiring peningkatan kebutuhan kedelai dalam negeri dan kenaikan jumlah penduduk. Tanda-tanda impor kedelai meningkat terlihat saat United States Department Agriculture (USDA) merilis ekspor kedelai AS ke Indonesia pada 16 Agustus 2018. Berdasarkan data USDA, ekspor kedelai AS ke Indonesia dari awal tahun hingga 23 Agustus 2018 mencapai 2,38 juta ton. Jumlah tersebut naik 4,4% dibandingkan dengan periode yang sama 2017 sebanyak 2,27 juta ton.

Negara Amerika Serikat merupakan negara terbesar pemasok kedelai ke Indonesia. Sebanyak 2,52 juta ton dari total impor sebanyak 2,58 juta ton pada 2018, berasal dari negara Amerika Serikat. Kemudian sebesar 0,054 juta ton berasal dari negara Kanada. Diikuti negara Malaysia sebagai negara pemasok kedelai terbesar ketiga pada 2018 pula, yaitu sebanyak 0,01 juta ton. Selain itu, negara yang menjadi pemasok kedelai ke Indonesia antara lain Argentina, Ethiopia, Uruguay, Tiongkok, dan lainnya.

Kedelai impor dan kedelai lokal memiliki kualitas yang tentunya berbeda. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Perbedaan dari kedua kedelai tersebut dipaparkan pada presentasi Direktur Aneka Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kementerian Pertanian, Maman Suparman pada diskusi di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, pada Selasa, 7 Agustus 2012 silam. Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik. Sementara kedelai impor sebaliknya.

Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya. Bahkan bisa kurang empuk. Dalam hal budidaya, kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing. Kedelai lokal memiliki umur tanaman lebih singkat 2,5 – 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 – 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. Bila varietas lokal umumnya masih berproduksi di bawah 2 ton per hektare, maka impor bisa mencapai 3 ton per hektarenya. Biji impor pun umumnya lebih besar.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syaifuddin, berpendapat dari segi kualitas dan harga kedelai impor lebih ramah kepada industri dibandingkan dengan kedelai lokal. Aip mengilustrasikan 1 kg kedelai impor dapat dijadikan tempe seberat 1,8 kg. Sementara untuk 1 kg kedelai lokal hanya bisa dijadikan 1,4 kg tempe. Dari segi harga, kedelai impor berada pada kisaran Rp 6.000-7.000 per kg dibandingkan dengan kedelai lokal yang menyentuh angka Rp 8.500 per kg.

Tidak bisa dipungkiri dengan kedelai impor, harga tempe dan tahu bisa lebih terjangkau. Kebiasaan pengrajin menggunakan kedelai impor, ditambah tidak adanya pembatasan kuota impor dan bea masuk kedelai impor yang dipatok 0% membuat impor semakin naik. Namun, dikhawatirkan impor yang tak terbatas dapat mematikan kedelai lokal atau produksi dalam negeri terganggu, bahkan hingga tidak laku di pasar. Petani lokal pun tidak punya pilihan selain menjual dibawah haga impor, agar laku di pasaran.

Disisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bahwa terdapat kedelai lokal yang kualitasnya lebih baik dibandingkan kedelai impor. Hanya saja, hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. Salah satunya berasal dari Grobogan, Jawa Tengah.

Kabupaten Grobogan menjadi sentra pertanian nasional karena produksi kedelainya tinggi. Dari tahun 2014 produksinya mencapai 50.116 ton. Kemudian mengalami penurunan menjadi 48.008 ton pada tahun berikutnya. Tahun 2016 naik lagi menjadi 53.349 ton, diikuti kenaikan terus menerus pada tahun 2017 dan 2018 yaitu menjadi 61.272 ton dan 64.219 ton, yang merupakan penyumbang produksi kedelai tertinggi di Indonesia.

Menurut Penelitian Universitas Gajah Mada (UGM), kedelai grobogan memiliki kadar protein kedelai premium seperti kedelai impor dari Amerika Serikat untuk produksi makanan di dalam dan luar negeri. Kandungan lemaknya juga lebih rendah. Walaupun kebanyakan petani ogah menanam kedelai yang harga jualnya lebih murah dibandingkan beras jagung, tidak demikian halnya dengan petani di grobogan. Kedelai menjadi produk penting mayoritas masyrakatnya. Kedelai ditanam daalm 2 kali setahun dan menjadi tanaman pangan yang ditanam monokultur, kutuk, tegaan. Menanam kedelai mudah, asalkan mau tahu keadaan tanaman.

Sayangnya, kualitas kedelai dan sistem pertanian kedelai di Grobogan belum bisa diimplementasikan secara baik di wilayah lain seluruh Indonesia. Kementerian Pertanian mengaku kedelai lokal kalah pamor, karena permintaan tetap sedikit walau kualitas tinggi. Dibutuhkan kerja keras dan kemauan dari pemerintah dan petani kedelai Indonesia untuk belajar dari keberhasilan pertanian kedelai di Grobogan, agar cita-cita swasembada kedelai tidak hanya sekadar mimpi. Impor memang belum bisa dihilangkan, selama kedelai lokal belum cukup untuk swasembada. Dibutuhkan tata niaga yang mampu menjaga ketersediaan dan harga kedelai, sekaligus mensejahterakan petani.

Mari bersama wujudkan swasembada kedelai!

 

Penulis : Azizah, Mahasiswi Politeknik Statistika STIS

 

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Azizah Azizah

    Mahasiswi Politeknik Statistika STIS, Jakarta

    View all posts

    Add comment