Soloensis

Dijual, Koran Solopos Beserta Cerpen di dalamnya

Dijual, Koran Solopos Berserta Cerpen di dalamnya

oleh: Daruz Armedian

26 April 2015

Aku mengira, dunia ini bakal sepi. Bakal sunyi seperti malam yang abadi. Sebab, jalanan terasa lengang. Orang-orang menikmati liburan di tempat-tempat liburan. Atau, bersantai-santai di emperan rumah sambil meniup-niup kopi yang asapnya mengepul menggambar suasana hari ini. Atau, menonton televisi dan bercanda tawa dengan keluarga.
Seperti biasa, aku menyiapkan sepeda. Sepagi ini aku memang harus berjualan koran dan uangnya untuk makan. Semenjak memutuskan merantau di negeri orang; Yogyakarta, aku memang sudah siap untuk kerja segala-galanya. Ya, termasuk jualan koran. Sebenarnya, aku bisa saja kerja di warung-warung, menunggu warnet, atau di pabrik-pabrik yang memang untungnya lebih banyak ketimbang jualan koran. Akan tetapi, aku membutuhkan waktu luang yang lebih banyak. Waktu di mana aku belajar menulis di sebuah komunitas menulis; Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta, PPM Hasyim Asy’ari. Dan tentu saja, jualan koran adalah pilihan paling tepat. Berangkat pagi, pulang pagi juga.
Seperti biasa juga, setiap hari minggu, aku akan menengok koran satu per satu. Mencari-cari kolom sastra. Barangkali tulisanku dimuat di sana. Entah puisi atau cerpen seperti yang setiap minggu kukirimkan. Dan tentu saja, selain bahagia karena tulisan dimuat, kebahagiaan itu juga akan dapat bonus honor dari koran yang memuatnya. Tetapi, seringnya, tulisanku tidak dimuat.
Pukul 05:30 aku berangkat dengan mata berat. Sebab tadi malam begadang dengan kawan-kawan pondok. Kujalankan sepedaku. Kayuh demi kayuh, pori-poriku melahirkan peluh. Tapi tidak, aku tidak mengeluh. Sebab sampai di sana, sampai di tempat penyedia koran, (aku yang saat itu entah kenapa, langsung menengok koran Solopos) meloncat-loncat melihat tulisanku di sana. Tepat kolom sastra, cerpen berjudul “Hikayat Terpidana Mati.” Yang mengisahkan tentang Bali nine.
Aku juga langsung melihat koran Harian Jogja yang memang punya hubungan kerjasama dengan Solopos, Jaringan Bisnis Indonesia. Betapa saat itu aku tak berpikir apa-apa kecuali bahagia. “Akhirnya tulisanku di Solopos juga setelah belasan kali ngirim ke sana dan tidak dimuat-muat. Terimakasih.” Gumamku terus menerus. Orang-orang di sampingku memandangku dengan wajah aneh. Tapi, siapa peduli?.
Aku menjual koran dengan Solopos kutaruh di depan dan kedua ada Harian Jogja—yang biasanya lebih laku koran Tribun Jogja di depan. Alasannya pasti, selain koran Tribun Jogja lebih murah, koran ini seperti ada hubungan erat dengan Jogja.
Terus-terusan aku bilang: “Koran, Koran, Koran. Ada tulisanku di dalamnya.” Tetapi, banyak yang tidak peduli. Tak mengapa. Sebab, kebahagiaan tulisan dimuat di koran tak tertandingi oleh apa pun.
Ada ibu-ibu membawa sayuran di belakang sepedanya. Turun kemudian bertanya,
“Solo Pos itu koran mana, le?”
“Koran dari Solo, Bu. Harganya 4.000.” Ibu itu mengangguk-angguk. “Ndak beli, Bu? Ada tulisan saya di dalamnya loh.” Lanjutku terkesan memaksa. Sebab, aku tahu, ibu ini memang sering lewat sini, tapi tak pernah sekali pun beli koran. Ya, baru kali ini, akhirnya ibu itu beli juga. Dan barangkali tak peduli di dalamnya ada tulisanku atau tidak.
Aku selalu berdo’a. Semoga, walau ibu itu tidak membaca tulisanku, anak-anaknya yang membaca, atau orang lain lah pokoknya.
Tak berselang lama, datang gadis berseragam putih abu-abu membawa motor. Aku tahu, gadis ini sudah pernah membeli koranku. Tetapi jarang. Aku bersemangat menawarkan:
“Mbak, koran Solopos, Mbak. Atau Harian Jogja. Ada tulisanku di sini.” Kataku seperti merayu. Sebab tahu, gadis ini biasanya beli koran Kompas.
“Oh, ya?”
Aku mengangguk. Dan ia penasaran. Mungkin, mungkin saja gadis itu tak pernah mengira orang yang setiap hari menawarkan koran di perempatan ini bakal menulis di koran. Maka aku menunjukkan halaman tepat cerpenku dimuat. Ia membaca sebentar. Mungkin judul dan nama pengarangnya saja. Mungkin saja.
“Kalau nulis di sini dapat honor ya?” tanyanya.
“Iya. Sekitar 128.000 dipotong pajak.” Jawabku antusias.
Dan rasanya ia memang penasaran. Dibelilah koran Soloposku yang terakhir. Di sinilah, aku membayangkan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Misalnya saja gadis itu terperangah membaca tulisanku. Atau membaca dengan biasa saja tetapi merenungkan, hebat juga. Penjual koran sekaligus menulis di koran. Dan seterusnya dan seterusnya.
Perkiraanku tentang hari Minggu bakal sepi, bakal sunyi seperti malam yang abadi, ternyata salah besar. Orang-orang bahkan seperti lebih membludak ketimbang hari-hari biasa. Ada apa ini? Aku masih tak peduli. Koranku toh laku semuanya.
Diriku toh sekarang sudah tidak lagi jualan koran. Dan semuanya adalah kenangan.
Termasuk gadis itu yang hari-hari selanjutnya tidak pernah muncul kembali. Dan lima hari selanjutnya, aku tak pernah jualan koran lagi.**

Nb: Sekarang tulisanku hampir tiap minggu dimuat di koran-koran atas nama Daruz Armedian. Selain cukup buat makan, aku tidak punya waktu lagi kalau pagi. Sebab sudah menjadi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga jurusan Filsafat. Meski begitu, saya masih sering menyempatkan menengok koran. Termasuk Solopos.
Saya jualan koran sejak “Selasa, 23 September 2014 sampai 29 April 2015” ada jeda, saya tidak berjualan pada bulan Desember, Januari, Februari. Dan setiap berjualan, saya menuliskan catatan. Kecuali bulan Maret dan April. Tempatnya berjualan berpindah-pindah. Kadang di perempatan ringroad selatan Yogyakarta, di dekat Universitas Ahmad Dahlan, di pertigaan depan pos polisi, dan terakhir, dua bulan menetap di perempatan jalan Parangtritis km. 3 dekat pom bensin. Dan di bawah ini contoh catatan penjualan koran pertama, betapa jualan koran adalah pengalaman yang kadang indah dan kadang mengerikan:

Selasa, 23 September 2014
Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Di dadaku seperti ada gemuruh. Lalu perlahan-lahan gemuruh itu berubah jadi semacam pelangi. Warna-warni perasaanku.
Aku terlalu pagi berangkat ke penyedia koran. Bahkan sampai lampu merah belum berfungsi. Jalanan masih sepi. Pertamakalinya kini aku benar-benar akan jualan koran. Kalau tidak, sudah dipastikan aku tidak bisa makan atau terpaksa ngutang. Ya, aku tahu, hasil jualan koran tidaklah seberapa. Tapi, bukankah usaha sendiri itu lebih baik daripada menggantungkan diri pada orang lain?
Aku kira jualan koran itu dengan berkoar-koar seperti gagak. Koran, koran, koran. Ternyata tidak. Kita cuma diam sambil berdiri atau mondar-mandir menenteng koran. Pertama-tama aku ngambil Tribun Jogja sebanyak 20. Itu saja. Tak lebih. Sebab aku masih takut kalau nanti tidak laku. (Kemudian minggu-minggu setelahnya, aku mengambil koran, Kompas, Jawa Pos, Republika, Suara Merdeka, Solopos, Harian Jogja, Merapi, Harian Bola, Minggu Pagi, Tribun Jogja.)
Masih seperti tadi, jalanan sepi. Walaupun lampu merah sudah berfungsi, tapi pengendara masih enggan berhenti. Dan, inilah pembeli koran pertamaku. Kakek tua yang menaiki onthel reot. Aku kira sebelum ini, pembeli koran adalah orang-orang yang menaiki mobil mewah atau bapak-bapak yang naik motor dengan pakaian gagah. Ternyata tidak, awal-awal ini yang beli bahkan yang tidak pernah aku tebak. Tukang becak, ibu pembawa sayuran, sopir truk, dan kernet bis.
Baru terjual lima, tiba-tiba di belakangku ada penjual koran. Datang mendekat sambil bilang.
“Loh, kamu kok jualan di sini. Tempatmu mana?”
Aku kebingungan, “Maaf, Pak. Saya kira tidak ada orang yang jualan di sini.”
“Ini tempat saya. Kalau mau jualan, di pertigaan sana.” bapak itu menunjuk-nunjuk arahnya.
“Oh, iya, Pak. Maaf.” Dengan sigap aku meraih onthelku. Bukan ke tempat yang dimaksud bapak tadi. Aku bertolak lurus sampai perempatan. Mulai lagi menenteng koran. Tapi, lama sekali tidak ada pembeli. Oh, sulit juga lakunya kalau ke tempat yang seperti ini.
Aku kembali, juga bukan ke tempat yang dimaksud bapak tadi. Akhirnya, aku berhenti sejenak ke tempat temanku berjualan. Saat ini aku bingung mau juaalan ke mana. Setelah beberapakali melihat tempat—sampai siang jam 9—aku berjualan di perempatan jalan ringroad. Aku tahu ini tempat ibu (yang aku sendiri tak tahu namanya) berjualan. Tapi hari ini tidak ada. Lumayanlah, hal itu bisa membuatku lega. Koranku habis.
Masalah pendapatan, hari ini tidak terlalu banyak. Namun cukup buat makan sehari. Sekitaran 12.000 Rupiah. Kalau dihitung-hitung per koran Tribun Jogja, untungnya 600 Rupiah. Agak mirislah jadi penjual koran itu.

Saya berterimakasih kepada Solopos (Soloensis) #Soloensis yang telah memuat cerpen saya. Sebagai pemacu semangat menulis.

Biodata: Daruz Armedian, nama pena dari Ahmad Darus Salam. Pegiat sastra di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Tercatat sebagai mahasiswa baru di UIN Sunan Kalijaga. Cp: 085606093128
No Rek: BRI 6645-01-017011-53-7 a.n. Ahmad Darus Salam

Apakah tulisan ini membantu ?

armediandaruz

Penjual koran yang sering menulis di koran-koran.

View all posts

1 comment