Soloensis

BIARKAN ANAK MENJADI DIRINYA SENDIRI

BIARKAN ANAK MENJADI DIRINYA SENDIRI

Masih ingatkah kita (orang tua), bagaimana kita waktu masih sekolah? Apakah kita sangat bergantung pada orang tua? Apakah orang tua terlalu khawatir dengan keadaan kita, prestasi, akademik, usaha, tugas sekolah/kuliah kita? Ataukah mereka risau ketika kita berada di tempat Kuliah Kerja Nyata alias KKN?

Mungkin sebagian besar menjawab: tidak! Kita terlalu mandiri dan bisa menyelesaikan masalah, tugas sekolah dan kuliah sendiri dengan sedikit bantuan.

Orang tua zaman dahulu mendidik anak dengan sepenuh hati tanpa memaksa anak-anaknya menjadi seperti mereka. Justeru mereka berusaha keras agar anak-anaknya tidak seperti mereka. Orang tua menginginkan kita bisa melebihi mereka. Usaha, kemampuan dan pekerjaan, harus lebih mapan dari mereka. Orang tua cukup mengajarkan kemandirian kepada kita.

Orang tua hanya mendidik dan membimbing, mencarikan biaya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Jarang orang tua yang terlibat langsung dalam menyelesaikan tugas-tugas anak-anaknya. Bahkan mungkin tugas anak-anaknya, orang tua tidak tahu-menahu sama sekali. Dalam hal ini untuk anak yang sudah dewasa. Untuk urusan ini, orang tua percayakan pada anaknya. Keterlibatan orang tua dalam bidang akademik, hanya sebatas membantu sebisanya bukan sepenuhnya.

Orang tua yang memiliki putra/putri yang sudah menjadi mahasiswa, tidak pernah khawatir anak-anaknya nanti akan bagaimana. Mereka sudah yakin kalau anaknya bisa menyelesaikan tugas atau masalahnya secara mandiri (ada sedikit, hanya sedikit bantuan).

Akan tetapi orang tua zaman sekarang, tentang tugas anak-anaknya terlalu cemas (kecemasan yang berlebihan). Anaknya belum maju berusaha, orang tua sudah menyodorkan bantuan. Anak-anak belum bertempur, orang tua sudah siap menyediakan obat-obatan yang diperlukan. Sebagian anak menjadi tidak mandiri dengan perlakukan orang tuanya. Kadang-kadang orang tua ikut berpikir keras untuk anaknya. Kekhawatiran orang tua sangat berlebihan. Permasalahan sepele bisa saja menjadi besar. Padahal anak mampu melewatinya.

Orang tua juga kadang menjadi orang yang egois. Keinginan mereka, anak harus menurut orang tua dalam banyak hal. Dari hal kecil hingga hal besar. Kalau anak-anak tidak mau memenuhi permintaan orang tua (cita-cita), orang tua gampang sakit hati, mudah terluka lantas mengatakan anaknya tidak penurut.

Lebih parah lagi, ada orang tua yang mengatakan anaknya durhaka hanya gara-gara anak tidak bisa menjadi “yang diharapkan” orang tua. Cita-cita anak mungkin tidak sama dengan keinginan orang tua. Stop, jangan lakukan sesuatu yang membuat anak-anak menjadi sangat tergantung pada orang tua. Anak-anak memiliki cita-cita, setiap anak unik dan istimewa, setiap anak memiliki hak untuk mengembangkan diri.

Mereka (anak-anak) tidak sama dengan orang tuanya. Mereka bisa saja berbeda jauh dari orang tua. Tugas orang tua membimbing dan mendidik. Kalau anak bisa mandiri, tanggung jawab terhadap agamanya tidak diragukan lagi, berakhlak dan budi pekerti baik, lantas buat apa kita sebagai orang tua mengkhawatirkan anak-anak. Kalau pemikiran orang tua sejalan dengan anak, okey baguslah. Akan tetapi kalau tidak sejalan, hargailah kemampuan mereka.

Tiap anak terlahir membawa rezeki masing-masing. Pandai dan pas-pasan kemampuan berpikir, berpotensi dan berbakat atau tidak, tiap anak berbesa. Ada ukuran pandai karena ada yang tidak pandai. Kalau semua orang tua menginginkan anaknya pandai, berarti di dunia ini justeru tidak ada yang pandai. Bukankah bila ada pandai, tentu ada bodoh? Setidaknya kemampuan pas-pasan, bahasa kerennya bodoh.

Kalau anak-anak memiliki kemampuan (kepandaian) yang pas-pasan, jangan paksa mereka (harus) menjadi seperti orang tua. Setiap anak memiliki kelebihan, maka kenali dan gali potensi anak. Jangan sampai orang tua sibuk “memaksa” anak lantas menjadi lupa bahwa ada potensi besar yang tersimpan dalam diri anak.

Tidak mungkin setiap anak menjadi dokter! Anak memiliki banyak pilihan. Mau jadi dokter, ilmuwan, pengusaha, pedagang, petani, wirausahawan dan lain-lain, silakan saja. Kalau bisa dukung mereka, beri motivasi dan semangat untuk mereka.

Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena terlalu memaksa agar anak sama seperti kita. Jangan sampai batu permata kita anggap hanya batu biasa.
Semoga bermanfaat!

Apakah tulisan ini membantu ?

Noer Ima Kaltsum

Ibu Rumah Tangga, Ibu dari 2 anak. www.noerimakaltsum.com

View all posts

Add comment