Soloensis

Vietnamkan Thailand di Rajamangala

Jika penilaian prestasi sepak bola ditentukan dari cantiknya organisasi permainan, kolektivitas antarlini, atau skill individu pemain maka selesailah sudah. Tidak ada harapan untuk Tim Nasional (Timnas) Indonesia di Piala AFF 2016.

Sebab sejak fase grup hingga final, tak ada peragaan kolektivitas permainan laiknya Vietnam atau meliuk-liuknya pemain ala Therasil Dangda dan Chanathip Songkrasin, di Tim Garuda. Indonesia lebih mengandalkan efektivitas permainan kendati dampaknya kualitas pertandingan menjadi menjemukan. Hati kita sering dongkol melihat long ball dari bek ke striker dilakukan berulang-ulang.

Tapi untungnya, sejarah berjaya tidaknya sebuah tim sepak bola ditentukan oleh sebuah kemenangan. Sebagus apapun permainan sebuah tim jika akhirnya keok ya tercatat sejarah sebagai tim yang hanya nyaris menang. Menang permainan kalah skor, kata kawan saya. Juga, sehebat apapun skill seluruh pemain jika berakhir dengan kekalahan, ya tetap dicatat sebagai tim pecundang.

Dan hingga hari ini, kemenangan sebuah tim yang menjadi satu-satunya parameter untuk sebuah sejarah sepak bola. Setidaknya dengan parameter itu, hingga leg kedua final Piala AFF 2016 nanti sore menghadapi Thailand di Stadion Rajamangala, Bangkok, Tim Garuda masih bisa menjaga asa sebagai juara Asia Tenggara.

Dengan catatan, Boaz Solossa dan kawan-kawan bisa mem”vietnam”kan Thailand di kandang mereka. Indonesia cukup memaksakan hasil seri untuk tampil sebagai juara, persis seperti yang mereka lakukan kepada Vietnam untuk bisa melaju ke final. Jika itu bisa dilakukan, maka FIFA akan mencatat Indonesia lah kesebelasan terbaik Asia Tenggara tahun ini. Meskipun untuk itu Stefano Lilipaly dan kawan-kawan harus didikte sepanjang 2×45 menit, itu tidak masalah. Yang penting menjadi juara.

Yah, mau bagaimana lagi. Berangkat ke Filipina dengan skuat seadanya, Alfred Riedl tidak punya pilihan selain mengandalkan semangat juang pemain dan efektivitas permainan. Materi pemain Timnas Indonesia saat ini tak sebaik saat ditukangi Alfred Riedl di tahun 2010 silam, yang tampil impresif sepanjang fase grup dan semifinal, lalu keok di pertandingan final.

Dengan skuat yang ada sekarang, berharap permainan secantik Vietnam atau sesuperior Thailand ya jelas sulit. Bermain kompak, semangat juang tinggi dan terpenting bermain efektif, itu sudah cukup. Boleh saja Tim Garuda dibombardir sepanjang pertandingan tapi satu atau dua serangan balik bisa membuahkan gol, itulah permainan efektif.

Pertahanan parkir bus, kenapa tidak? Saat Chelsea juara Liga Champions musim 2011/2012 memecundangi Bayern Muenchen, ketika itu mereka pun memarkir nyaris seluruh pemain di depan kotak penalti. Lalu ketika ada yang berhasil menguasai bola sesegera mungkin melakukan serangan balik untuk mencetak gol. Sejarah mencatat, Chelsea lah juara Liga Champions tahun itu, bukan Barcelona atau Bayern Muenchen yang mengurung mereka nyaris sepanjang 2 x 45 menit.

Ini bukanlah ungkapan pesimistis. Justru inilah yang realistis saat ini. Berharap Indonesia tampil ciamik, melihat permainan meliuk-liuk ala Oktovianus Maniani di Piala AFF 2010 ya ngayawara. Kenapa? Ya jelas pembatasan pemain itu yang jadi penyebabnya.

Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan pemain di skuat Garuda, sebenarnya masih banyak pemain jos yang tidak bisa dipanggil Riedl gara-gara kesepakatan tidak boleh mengambil lebih dari dua pemain dari satu klub.

Mau contoh? Tengok ke Persib Bandung. Di sana ada wonder kid Febri Haryadi yang sedang hot-hotnya kendati masih berusia sangat muda, 20 tahun. Ia jelas lebih layak dibandingkan Muchlis Hadi Ning Syaifullah yang belum sekalipun diberi kesempatan bermain oleh Riedl. Jangankan di timnas, di klubnya, PSM, pun Muchlis lebih banyak menghangatkan bangku candangan.

Riedl memanggil Muchlis karena tidak ada pilihan lain setelah di menit-menit terakhir Persipura tidak mengizinkan Yohanes Pahabol bergabung ke Timnas. Tapi masalahnya, Riedl tak bisa memanggil Febri Haryadi karena Persib sudah menyumbangkan Zulham Zamrun dan Yanto Basna.

Kiprah Lerby Eliandry juga dipertanyakan. Di luar satu gol “keberuntungan”-nya ke gawang Thailand di fase grup, sumbangsih Lerby ke permainan timnas nyaris tak terlihat. Kalau boleh berandai-andai, sesama dari klub Pusamania Borneo FC masih lebih layak Terens Puhiri dibandingkan dengan Lerby.

Jadi wahai pecinta sepak bola Indonesia, jangan menuntut banyak ke timnas kita saat ini. Cukup kita semangati mereka, karena hanya semangat membara itulah yang menjadi modal utama mereka kini, sembari mengharap keberuntungan menaungi. Tengoklah ke dua leg melawan Vietnam. Murni semangat dan kekompakan mereka yang membuat akhirnya lolos dari lubang jarum.

Hal yang sama juga terlihat di final leg pertama melawan Thailand, Rabu (14/12) lalu. Meskipun seperti diajari cara bermain sepak bola oleh anak asuh Kiatisuk Senamuang, Boaz cs. mampu membalik prediksi dengan membungkam Thailand di 25 menit sebelum laga bubar. Semoga di final leg kedua hari ini, semangat dan kekompakan itu masih terjaga. Jangan lupa berdoa dewi fortuna bermurah hati dan menaungi skuat Garuda.

Indonesia sudah dua kali dipecundangi Thailand di final Piala AFF (dulu bernama Piala Tiger). Di tahun 2000 Indonesia keok dengan skor mencolok 1-4 dalam final di Stadion Rajamangala, Bangkok. Sementara dalam final tahun 2002 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Indonesia takluk 2-4 melalui drama adu pinalti.

Faktor mental yang menjadi biang kekalahan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan di dua kekalahan partai final tersebut. Padahal, pada final di SUGBK tahun 2002, Timnas Indonesia didukung nyaris 100.000 penonton.

Nah dalam Piala AFF 2016 ini mental Tim Garuda sudah teruji bahkan sejak masa uji coba. Ketinggalan dua gol melawan Vietnam dalam laga persahabatan di Stadion Maguwoharjo Sleman, Andik Vermansyah dan kawan-kawan berhasil membalas hingga kedudukan berakhir imbang 2-2.

Demikian pula kala menghadapi Singapura di laga terakhir babak penyisihan grup di Rizal Memorial Stadium Filipina. Timnas yang ketinggalan satu gol dari Singapura berhasil membalik kedudukan menjadi 2-1 sehingga lolos ke semifinal. Dua kali pertandingan di semifinal menghadapi Vietnam juga bukti betapa mental pasukan Garuda sudah teruji.

Jadi, cukup dua kali saja Indonesia dipecundangi Thailand. Saatnya Indonesia membalas. Toh The War Elephants—julukan Thailand–juga tidak bagus-bagus amat. Meskipun mereka tak tersentuh kekalahan sepanjang fase grup hingga semifinal, nyatanya mereka bisa dikalahkan di leg pertama final. Dan Indonesia lah satu-satunya tim yang bisa mengalahkan mereka, sekaligus satu-satunya tim yang bisa menyarangkan gol ke gawang Thailand.

Meskipun unggul organisasi permainan, terlihat jelas Thailand terkendala stamina. Konsentrasi mereka yang terpecah dengan ajang prakualifikasi Piala Dunia membuat energi Therasil Dangda cs. terkuras. Bahkan demi mimpi ke Piala Dunia, sebelumnya federasi sepak bola Thailand sempat mewacanakan mengirimkan Tim U-23 ke ajang Piala AFF sebelum akhirnya mengubah keputusan di detik-detik terakhir pendaftaran pemain.

Kondisi inilah yang harus bisa dimanfaatkan Tim Garuda. Anak asuh Riedl dihuni tenaga-tenaga muda yang memiliki stamina prima. Selain Boaz yang berusia 30 tahun selebihnya adalah tenaga-tenaga muda yang siap tempur. Darah muda tak pernah mau mengalah, kata maestro dangdut H. Rhoma Irama.

Riedl tinggal menyulut militansi anak asuhnya untuk menciptakan sejarah, sejarah bagi Indonesia dan sejarah bagi Riedl sendiri. Meskipun hebat sebagai pemain, Riedl belum membuktikan kehebatannya sebagai pelatih. Selama 26 tahun melatih tim nasional dan klub sejumlah negara, belum sekalipun pria 67 tahun itu mempersembahkan gelar juara.

Absennya Andik Vermansyah memang mereduksi kekuatan Timnas. Tapi ada nama lain yang layak dicoba. Dia adalah Bayu Gatra. Mantan pemain Timnas U-23 itu memiliki karakter yang mirip dengan Andik. Dan seperti halnya Bayu Pradana yang merupakan pilar utama Mitra Kukar, Bayu Gatra adalah roh kekuatan Madura United.
Terbukti, Madura United yang kokoh sebagai pemuncak klasemen Torabika Soccer Championship (TSC) selama beberapa pekan akhirnya melorot ke peringkat ketiga setelah ditinggal Bayu Gatra ke Timnas. Madura United kini bahkan lempar handuk dari perebutan takhta juara TSC.

Dalam sudut pandang saya, Bayu Gatra lebih pantas menggantikan Andik dibandingkan Zulham Zamrun yang tampil mengecewakan meski beberapa kali diberi kesempatan tampil. Riedl tidak perlu takut bereksperimen. Toh perjudiannya memasang Hansamu Yamma Pranata dan Manahati Lestusen menggantikan Yanto Basna justru berujung positif.

Cukup empat kali saja status runner up Piala AFF tersemat di lengan para penggawa Timnas Indonesia. Saatnya kini Indonesia menjadi yang terbaik. Saatnya mengangkat tropi juara. Dan kesempatan itu datang tahun ini, sore ini. Kengerian pelatih Thailand Kiatisuk Senamuang dan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan Ocha atas kengototan Timnas Indonesia harus ditutup dengan gelar juara untuk Tim Garuda. Indonesia harus juara.

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment