Soloensis

Lupus sebagai Cagar Budaya

Dari sekian banyak ikon budaya pop yang “ngetren” pada era 1980-an hingga 1990-an ada satu yang sampai saat masih “diuri-uri”, minimal oleh kreatornya, yaitu Lupus.
Lupus pada awalnya adalah judul cerita bersambung di Majalah Hai, majalah remaja pria, karya penulis Hilman Hariwijaya. Serial Lupus dimuat Majalah Hai pada 1986. Cerita bersambung ini muncul sepekan sekali, setiap Hai terbit.
Pada akhir 1986, Lupus dibukukan. Penerbitnya Gramedia. Formatnya buku saku. Saat itu memang ngetren remaja membawa buku dengan cara diselipkan di saku belakang celana. Mungkin itu yang menginspirasi Gramedia menerbitkan Lupus dalam bentuk buku saku.
Saat Lupus terbit di Majalah Hai dan kemudian dibukukan, saya masih kelas V di sebuah sekolah dasar di kaki Gunung Merapi. Di kawasan Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat itu saya mengenal Lupus dari Majalah Hai bekas, edisi beberapa bulan sebelumnya, yang dijual di Pasar Pakem, Kecamatan Pakem, Sleman, DIY. Seingat saya, sepekan sekali ibu saya selalu ke Pasar Pakem. Saat itu saya selalu meminta dibelikan Majalah Hai Bekas.
Kesukaan saya pada Lupus saat itu tentu saja tak kontinu. Tak setiap pekan penjual buku di Pasar Pakem itu punya persediaan Majalah Hai bekas. Pergaulan saya dengan Lupus via Majalah Hai bekas berlanjut hingga saya masuk SMP.
Baru saat kelas I SMP itulah saya ngeh Lupus terbit dalam bentuk buku saku. Saat itu saya belum mampu mengoleksinya. Harga buku Lupus kala itu termasuk mahal bagi saya yang hidup di perdesaan.
Saya mulai mengoleksi Lupus dalam format buku saku ketika saya kelas I SMA. Sebuah SMA di Kecamatan Pakem, di kaki Gunung Merapi. Pada era itu, sosok Lupus sangat mudah saya pahami dan saya identifikasi.
Remaja bernama Lupus adalah tokoh rekaan Hilman Hariwijaya. Sosoknya mudah dipahami remaja era 1980-an hingga 1990-an. Lupus adalah remaja laki-laki siswa SMA. Dia berasal dari keluarga kalangan menengah level bawah.
Ibunya pengusaha katering. Dia punya seorang adik perempuan, Lulu. Lupus bukan sosok remaja “the have”. Dia ke sekolah naik sepeda onthel, sepeda balap. Walau berasal dari keluarga sederhana, Lupus menjalani hidup penuh optimisme. Canda dan tawa adalah penawar kegalauan yang muncul sebagai remaja.
Kisah Lupus adalah wakil kehidupan remaja, kawasan urban maupun kawasan pinggiran–seperti saya, pada era 1980-an hingga 1990-an itu. Hidup yang penuh canda tawa, hidup yang ringan dan easy going tak menihilkan aspek perjuangan.
Untuk “mencukupi” kebutuhan bergembira sebagai remaja era itu, Lupus–sepemehaman saya ini adalah alter ego Hilman–nyambi jadi jurnalis lepas di Majalah Hai. Honor dari aktivitas sebagai wartawan lepas inilah yang membuat Lupus menjadi remaja yang up to date pada masa itu.
Komunitas tempat hidup Lupus juga sangat pas dengan kesejatian remaja era 1980-an hingga 1990-an. Teman-teman dekat Lupus, Gusur, Boim, Anto, Nyit-Nyit, Fifi Alone, dan lainnya adalah “wakil” karakter-karakter remaja era itu.
Tak mengherankan bila masa itu buku Lupus terjual ratusan ribu kopi. Bila ditotal berdasar lebih dari 20 buku Lupus yang terbit, sudah pasti buku itu terjual jutaan kopi pada masa itu. Setelah era remaja zaman Lupus lahir terlewati zaman, Lupus direvitalisasi kreatornya beberapa kali.
Lupus pernah muncul menjadi film layar lebar. Pernah muncul jadi sinetron bersambung di televisi. Pernah diterbitkan ulang. Pernah muncul versi junior si Lupus: Lupus kecil. Kemudian muncul pula terbitan ulang Lupus tanpa perubahan sama sekali.
Beberapa hari lalu saya membaca–secara sekilas–pengumuman di laman Facebook Boim Lebon (ini adalah tokoh riil dari Boim yang sahabat Lupus di serial Lupus itu) ihwal ikhtiar menghidupkan kembali Lupus di era sekarang.
Inti pengumuman itu adalah kehendak menjaring sebanyak mungkin pendapat dari para fans Lupus (tentu mereka ini menjadi remaja pada era 1980-an hingga 1990-an) apa yang layak dilakukan di era sekarang untuk menghidupkan lagi Lupus.
Di kolom komentar muncul banyak nada positif ihwal rencana itu. Saya yang pernah (sekarang masih sebenarnya, tentu dengan pola pilir era remaja saya dulu) jadi fans berat Lupus malah jadi mengernyitkan dahi, bertanya-tanya, tentang apa maksud sebenarnya dari pengumuman kehendak menghidupkan kembali Lupus di era sekarang itu.
Dalam pemahaman saya, setiap generasi punya “monumen” zaman. Lupus adalah “monumen” zaman remaja era 1980-an hingga 1990-an. Lupus yang jadi “idola” remaja era itu tak mungkin dihidupkan lagi pada era sekarang.
Lupus yang jadi wartawan lepas tentu tak bisa hidup di era sekarang. Lupus era sekarang lebih layak jadi pedagang online. Lupus yang naik sepeda balap tak mungkin hidup di era sekarang. Lupus era sekarang lebih layak naik mobil Honda Jazz. Lupus yang suka permen karet dan menempelkan sisanya di bangku bus kota tak mungkin hidup di era sekarang.
Lupus era sekarang mestinya penggemar martabak Kota Barat (markobar) yang delapan rasa itu….(bukan promosi lho ya). Artinya, kehendak menghidupkan kembali Lupus itu sebenarnya lebih tepat dimaknai membikin Lupus baru sesuai konteks dan ruang zaman sekarang.
Apakah nama Lupus masih layak jual di era sekarang? Jangan-jangan akan lebih mudah masuk ke benak dan kehidupan remaja sekarang bila namanya adalah Subari, Kasimo, Slamet…atau Reynold, Burhan, Gatot, Andre…..
Saya sebagai fans berat Lupus era 1980-an hingga 1990-an berpendapat, Hilman, Boim, dan kawan-kawannya sebaiknya memunculkan tokoh remaja baru yang lebih selaras dengan zaman sekarang. Tinggalkan Lupus. Biarkan dia jadi “monumen” remaja era 1980-an hingga 1990-an.
Apakah kehendak menghidupkan lagi Lupus dengan konteks zaman sekarang itu sebenarnya cuma indikasi Hilman cs telah kehilangan ide membikin karakter fiksi untuk remaja sekarang?
Apakah kehendak menghidupkan lagi lupus dengan konteks zaman sekarang itu sebenarnya cuma laku “mengejar” target eksistensi di dunia hiburan, budaya populer, yang perhitungannya tak lain adalah seberapa banyak pemasang iklan dan seberapa banyak keuntungan yang akan diraih?
Bila dua pertanyaan di atas adalah kredo sebenarnya yang mendasari kehendak menghidupkan lagi Lupus, jelas Lupus baru tak akan “sehidup” Lupus di era 1980-an hingga 1990-an. Biarkanlah Lupus yang suka permen karet, berambut ala sarang burung, dan suka naik bus kota itu jadi “cagar budaya” remaja era 1980-an dan 1990-an.
Cagar budaya Lupus itu akan selalu hidup sepanjang zaman. Dia akan jadi catatan sejarah. Budaya literer yang akan membuatnya abadi sebagaimana Patih Gadjah Mada abadi dalam catatan sejarah bangsa ini.

Ichwan Prasetyo
Fans berat Lupus
Naskah ini telah lebih dulu diunggah di anantasena.wordpress.com

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment