Soloensis

Reichstag, Gedung Parlemen yang Penuh Kisah

 

(Foto: R. Bambang Aris Sasangka)

Berwisata ke gedung parlemen mungkin belum terlalu populer di Indonesia. Namun di Jerman, gedung parlemen nasional di Ibukota Berlin merupakan salah satu objek wisata yang penting.

Saya cukup beruntung bisa berkunjung ke gedung yang dikenal dengan nama Reichstag ini, yang arti harfiahnya adalah parlemen kerajaan. Saya berkunjung tahun 2011 silam, saat berkesempatan mengikuti kursus singkat jurnalisme media online. Memang gedung kuno itu dulunya merupakan gedung parlemen di era pemerintah Kekaisaran Jerman. Nama Reichstag itu yang masih terus dipakai untuk menyebutnya, meski secara resmi parlemen federal Jerman disebut sebagai Bundestag. Gedung rancangan Paul Wallot itu diresmikan penggunaannya pada 5 Desember 1894 setelah masa pembangunan selama 10 tahun.

Sayangnya, gedung ini kemudian terbakar pada tahun 1933, hanya beberapa waktu setelah Adolf Hitler naik ke puncak kekuasaan. Di masa Perang Dunia II, gedung ini juga rusak berat akibat pertempuran. Perang Dingin yang kemudian terjadi dan membuat Berlin terbagi dua antara Berlin Barat dan Berlin Timur membuat gedung ini tak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya sebagai tempat wakil rakyat bersidang dan beraktivitas.

Baru kemudian setelah komunisme runtuh dan Jerman kembali bersatu, pada 1991 parlemen Jerman (Bundestag) yang saat itu masih berada di ibukota lama Jerman Barat, Bonn, memilih untuk pindah ke Berlin. Segera diadakan kontes untuk mencari desain terbaik bagi renovasi gedung Reichstag yang lantas dimenangi arsitek terkenal Inggris, Norman Foster.

Norman Foster merombak seluruh bagian dalam gedung, namun tetap mempertahankan bagian luarnya. Hasilnya, sebuah gedung yang tetap pada wajah aslinya yang penuh ornamen di bagian luar, namun modern di bagian dalam. Jadi bisa dibilang renovasi ini ini menjadikan bangunan gedung lama yang asli menjadi kulitnya saja, bagian dalamnya sama sekali baru. Yang juga unik, jejak-jejak peperangan pada Perang Dunia II sengaja dipelihara di gedung ini. Gedung parlemen ini memang menjadi salah satu tempat pertempuran sengit antara pasukan Jerman yang bertahan dengan pasukan Uni Soviet yang menyerbu Berlin di penghujung Perang Dunia II, yang berpuncak pada aksi bunuh diri pemimpin rezim Nazi Adolf Hitler. Jejak perang itu di antaranya adalah coretan-coretan dari tentara Rusia di sejumlah bagian dinding bangunan lama Reichstag. Coretan dalam tulisan Rusia menggunakan kapur atau arang itu masih terlihat cukup jelas.

Sebagai sebuah gedung parlemen, apalagi di negara yang maju seperti Jerman, bagian dalam Reichstag bisa dibilang sederhana dan minimalis, mirip gedung-gedung perkantoran modern. Hanya ada beberapa lukisan dan ornamen dekoratif dari kaca yang tergantung di plafon. Kursi-kursi yang ada, termasuk di dalam ruang sidang paripurna pun kursi berdesain modern dari baja, bukan kursi kayu berukir dengan jok kulit yang mewah. Dinding dan pintu kaca terlihat di mana-mana, dan bahkan dari koridor depan seluruh ruang sidang paripurna bisa terlihat jelas. Menurut petugas pemandu, hal ini memang disengaja untuk memperlihatkan transparansi.

Yang tak kalah menarik dari rancangan Norman Foster adalah kubah kaca yang segera menjadi ciri khas gedung ini, menggantikan kubah model lama. Kubah yang transparan dan memperlihatkan struktur kerangkanya ini menjadi tujuan utama wisatawan karena bisa dinaiki sampai ke puncak. Dari puncaknya, seluruh panorama Kota Berlin terlihat jelas, dan di bawah kaki kita terlihat pula ruang sidang paripurna yang memang terletak tepat di bawah kubah ini.

(R. Bambang Aris Sasangka)

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment