Soloensis

Agama Digital

Seorang kawan sibuk berselancar di Internet untuk mencari bahan khotbah Jumat di masjid kantor dia. Kawan saya itu memanfaatkan teknologi Internet karena itu cara paling cepat dan mudah mendapatkan materi khotbah.

Bandingkan kalau harus mencari di buku. Butuh pengorbanan waktu dan tenaga yang lebih banyak. Di mesin pencari, kawan saya tadi tinggal mengetikkan kata kunci yang dia inginkan. Ribuan konten agama dalam sekejap tersaji di komputer.
Tinggal bagaimana kawan saya tadi memilih, memilah, memverifikasi sehingga sah untuk disampaikan di mimbar khotbah. Mudah bukan? Kemudahan itu yang menggoda orang untuk lebih memercayakan pencarian konten agama kepada mesin pencari ketimbang mencari sendiri data dan informasi secara konvensional.
Tak bisa kita mungkiri teknologi digital ikut mendisrupsi pengajaran agama di negeri ini. Orang belajar agama dan sosialisasi nilai-nilai agama mulai memanfaatkan teknologi digital.

Perubahan ini yang membuat deg-degan para agamawan, pendakwah, termasuk organisasi keagamaan mapan yang masih memanfaatkan saluran tradisional (tatap muka, misalnya) dalam berdakwah. Mereka terancam kehilangan pengaruh dalam membentuk pengetahuan keagamaan bagi umat. Pemeluk agama kini lebih independen, otonom dalam membentuk persepsi keagamaan dan keyakinan mereka.

Peneliti bidang sosiologi agama dan media dari Kanada, Christopher Helland (2000), sejak 1999 meneliti pemanfaatan Internet, khususnya website, untuk kepentingan agama. Dia menemukan dua pola relasi antarkeduanya.
Pertama, pola religion online adalah aktivitas menggunakan Internet sebagai sumber pengetahuan keagamaan, termasuk dalam proses belajar beragama. Kedua, online religion adalah aktivitas dengan mengekspesikan pengamalan serta praktik ritual keagamaan melalui Internet.

Pada pola ini partisipan bisa berinteraksi langsung dalam kegiatan peribadatan. Pola relasi agama dan Internet hasil penelitian Helland ini terus berkembang, apalagi setelah booming penggunaan media sosial.
Pemanfaatan media sosial, termasuk aplikasi percakapan, untuk kepentingan agama kian masif. Karakter media sosial yang interaktif serta mudah menyebarkan pesan memang efektif untuk mencapai audiens yang diinginkan.

Pesan-pesan keagamaan tiap detik berseliweran dari gawai ke gawai dalam tempo cepat. Banyak peneliti yang tertarik meneliti fenomena ini. Selain konsep religion online dan online religion, kita juga mengenal terminologi digital religion (agama digital) dan virtual religion (agama virtual) yang semua itu sebagai kategori penjelas relasi agama dan internet.

Konsekuensi

Membeludaknya konten agama di Internet memunculkan banyak konsekuensi. Di satu sisi akan mempermudah siapa pun mengakses pengetahuan agama di Internet. Pada pihak lain kemudahan itu memantik kekhawatiran.
Sudah jamak kita pahami di dunia maya siapa pun bisa memproduksi konten keagamaan. Tidak semua konten didesain untuk kepentingan kemuliaan agama. Sangat mungkin informasi yang berseliweran itu memuat kepentingan-kepentingan lain di luar ranah keyakinan dan spiritualitas.

Termasuk tentu saja konten untuk kepentingan ideologi politik yang memanfaatkan brand agama sebagai tunggangan. Kita punya pengalaman kelam tentang hal itu. Setiap proses politik perebutan kekuasaan berlangsung, pemanfaatan agama untuk tujuan politik dipastikan marak.
Sang pendesain pesan paham bahwa cara termudah dan termurah untuk menggerakkan orang adalah dengan menyentuh sistem keyakinan mereka. Orang akan rela bertindak yang kadang-kadang di luar kelaziman.
Dalam pandangan sosiolog Max Weber, setiap individu pasti beragama. Setiap individu meyakini ada kekuatan lain di luar dirinya sehingga mendorong setiap individu melakukan sesuatu sebagai bentuk loyalitas terhadap agama yang dia percayai.

Memanfaatkan konten agama di Internet membutuhkan prasyarat tertentu agar tidak salah arah. Beberapa prasyarat itu antara lain media literacy (literasi media). Literasi media merupakan kemampuan orang untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, membuat bermacam pesan yang melintasi berbagai konteks (Livingstone, 2004).
Literasi media tak hanya berlaku bagi konsumen pesan, tapi juga pembuat konten. Dengan literasi media setiap orang punya bekal untuk membuat dan menerima informasi secara kritis. Ingat, setiap pesan di media adalah dikonstruksi oleh pembuat pesan dengan agenda tertentu.

Dengan demikian memanfaatkan konten kegamaan di Internet tidak bisa hanya dengan menerima begitu saja tanpa proses verifikasi yang cukup. Pengakses Internet untuk kepentingan agama juga perlu religious literacy (literasi keagamaan).
Pengajar senior literasi keagamaan di Harvard Divinity School, Diane L. Moore, memaknai literasi keagamaan sebagai kemampuan membedakan dan menganalisis persimpangan fundamental agama dan kehidupan sosial, politik, budaya melalui berbagai sudut pandang.

Seseorang dengan literasi keagamaan akan mampu membedakan dan mengeksplorasi mana dimensi religius, dimensi pesan asli agama, dengan dimensi lain di luar agama. Ia tidak mudah menerima pesan keagamaan yang sudah dikacaukan oleh kepentingan lain.
Selain itu, hidup di masyarakat serba terbuka juga membutuhkan kemampuan berpikir yang terbuka pula. Keterbukaan itu diperlukan agar kita tidak terkungkung oleh pemikiran sendiri atas informasi yang kita terima.

Algoritme mesin pencari di Internet selalu mendekatkan jejak digital pada aspek-aspek yang kita sukai. Mesin secara otomatis menyodorkan informasi yang menjadi perhatian pengguna. Kita mengonsumsi informasi yang itu-itu saja.
Kita didorong berpikir tertutup di alam terbuka, padahal di luar informasi yang dipilihkan mesin pencari banyak data keagamaan yang luar biasa kaya dan berkualitas.

Saya berpikir kita masih mengalami keterkejutan budaya terkait masuknya teknologi Internet dalam ranah keagamaan. Kecepatan perubahan teknologi digital melebihi pertumbuhan literasi media dan literasi beragama.
Jadilah setiap konten yang bersimbol agama masih dimaknai sebagai agama itu sendiri. Entah sadar atau tidak, sebagian dari kita lantas mengimani, padahal boleh jadi itu pesan-pesan palsu.

Makin mendekati pesta akbar politik di di negeri kita pada 2019 mendatang, saya meyakini akan banyak pihak yang memanfaatkan keterkejutan budaya ini untuk kepentingan kekuasaan. Hmmm…

Penulis :

Sholahuddin
sholahuddin@solopos.co.id
Manajer Penelitian
dan Pengembangan
Harian Solopos

Keterangan : Artikel ini pernah dimuat di Harian Solopos edisi Senin, 5 Maret 2018

Apakah tulisan ini membantu ?

sholahuddin

Laki-laki pencari Tuhan.....

View all posts

Add comment