Soloensis

BUKAN PELAKOR

BUKAN JATUH CINTA BIASA

Santi menghampiri meja Fitri. Setengah berbisik Santi bilang,”aku mau curhat.” Fitri menghentikan pekerjaannya. Keningnya berkerut.
“Waktuku banyak. Kalau mau curhat, silakan.”
“Tapi bukan di sini tempatnya. Di lesehan tempat kita biasa makan bareng.”

Fitri mematikan laptopnya. Dia meraih tas dan rompinya lalu bergegas meninggalkan ruangan. Santi mengikutinya. Kurang dari sepuluh menit, mereka sudah sampai di warung makan lesehan.

Sambil menunggu pesanan datang, Santi mulai membuka pembicaraan.
“Aku tidak bisa berbohong pada suara hatiku. Aku menyukainya, tepatnya jatuh cinta padanya.”
“Wajar, kamu sebagai perempuan dewasa merasakan jatuh cinta. Menurutku baik dan perlu dirayakan.”
“Masalahnya aku jatuh cinta pada orang yang keliru.”
“Kenapa?”Tanya Fitri
“Witing tresna jalaran saka kulina,”kata Santi.
“Bagus. Artinya kamu sudah mengenalnya lebih dekat.”

Makanan yang dipesan telah datang. Kedua perempuan itu menghentikan pembicaraan dan fokus menyantap makan siang. Fitri melihat wajah Santi berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ah, wajar. Namanya juga orang sedang jatuh cinta.

00000

MENGUNDURKAN DIRI

Tiba-tiba Santi datang ke rumah Fitri tanpa memberi tahu lebih dahulu. Fitri memberi isyarat kepada anak-anaknya untuk masuk ke rumah. Santi diterima di ruang santai samping rumah.

“Aku mau mengundurkan diri dari kantor. Tepatnya besok pagi,”kata Santi.
“Kenapa tiba-tiba? Memang ada apa?”
“Aku mau fokus pada satu pekerjaan saja.”

Fitri semakin tidak mengerti. Bukankah di kantor Santi nyaman-nyaman saja? Fitri mengaitkan pengunduran diri ini dengan masalah asmara kemarin. Jelas itu!

“Kamu bisa membagi waktu. Selama ini semua berjalan dengan baik. Santi, jujurlah padaku. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” Atau, kamu sedang menghindari seseorang?”
“Maksudmu siapa Fit?”
Santi menatap Fitri seolah ingin meminta penjelasan. Fitri tersenyum lalu berkata,”Lupakanlah!”

00000

MARWAN DAN SECANGKIR KOPI SUSU

Sudah 19 tahun mereka bersahabat. Sembilan belas tahun, bukan waktu yang singkat. Dalam kurun waktu tersebut, tentu saja banyak hal sudah dibagi termasuk pengalaman. Ada yang unik dalam persahabatan ini. Meskipun dekat sudah lama, bersyukur tidak ada hal-hal yang membuat mereka jauh. Meski bersahabat dan akrab, tetap saja mereka membatasi diri untuk hal yang sangat pribadi.

Fitri, Marwan, Umar dan Hakim. Empat cangkir kopi susu tertata di atas meja. Berempat mereka memainkan cangkir masing-masing. Fitri mengambil kopi susu dengan sendok kecil lalu diseruputnya. Hakim menuangkan sedikit kopi susu di atas lepek. Umar menghangatkan telapak tangannya dengan memegang cangkir. Marwan langsung mengambil cangkir dan meniup kopi susu panas.

“Kopi susu buatan Marwan memang mantap tiada duanya,”puji Fitri.
“Nikmatnya tiada tara karena tak berbayar,”Umar menimpali.
“Apalagi menyeduhnya dengan sejuta cinta,”Hakim mulai menggombal.
“Nggak usah menyanjung berlebihan. Ada berita baru nih,”kata Marwan
“Gosip apaan?”
“Kemarin, istriku dapat hadiah berupa kopi susu. Nah, biar adil, sekarang aku kasih sendiri-sendiri saja. Mulai besok, kita buat kopi susu sendiri,”kata Marwan
“Ooooo, tidak bisa.” Terdengar koor dari Fitri, Umar dan Hakim.

Fitri tersenyum. Marwan dan secangkir kopi susu adalah perpaduan yang pas. Untuk mendapatkan kopi susu yang sama nikmatnya, sudah sepantasnya kalau mereka bertiga kamu buatkan.
Pisang rebus dan kacang rebus sudah menipis. Fitri memberi kode untuk menghabiskan kopi susu dan kembali untuk mengerjakan pekerjaannya.

00000

MENDADAK NIKAH

Tanpa Hakim, Umar dan Marwan, Fitri berada di lesehan ayam goreng. Rasanya ingin segera menuliskan kejadian beberapa minggu terakhir. Sambil menunggu pesanan karena antriannya terlalu banyak, Fitri membuka laptop.

Fitri menerima panggilan telepon seluler dari Santi. Sebentar kemudian Fitri menutup teleponnya. Fitri mulai membuka file demi file. Belum sempat menambah tulisan, Santi sudah berada di dekatnya.

“Kamu semakin ceria. Tidak seperti waktu yang kujumpai pertama kali, tiga tahun silam. Sepertinya ada yang membuatmu berubah,”kata Fitri.
“Berkat kamu, Fit.”
“Kok, bisa aku. Alasannya kenapa?”
“Banyak yang bisa aku ceritakan. Aku mengganggu tidak?”
“Nggaklah. Aku pingin segera mendengarnya.”
“Beberapa waktu yang lalu, aku memutuskan mengundurkan diri dari kantor, aku memiliki alasan tertentu.”

Fitri mulai memasang telinga lebar-lebar.
“Aku bingung mau memulai cerita dari mana. Sepertinya kilas balik saja,”Santi mulai bercerita.
“Hari Minggu yang akan datang, aku menunggu kedatanganmu di rumahku. Kali ini kamu harus datang sebab kemarin kamu tidak memenuhi undanganku.”
“Kamu kok memaksa banget sih, San?”
“Aku mau menikah.”

Fitri semakin kaget. Ada wajah seseorang yang tiba-tiba hadir. Marwan! Beberapa waktu yang lalu Marwan mengatakan kalau setiap dekat dengan Santi akhir-akhir ini, perasaannya tidak terkendali. Marwan tahu, seandainya Santi tahu perasaan yang sebenarnya, pasti Santi akan menjauh dan memutuskan hubungan persahabatan.

Benar, Santi akhirnya menjauh lalu akan menikah. Semoga Marwan bisa menerima kenyataan. Benar, Marwan telah berkeluarga. Apakah alasan Marwan sudah bukan sendiri lagi, lantas Santi menjauh?

00000

MENJADI BUKAN YANG PERTAMA

“Aku sadar, mungkin banyak orang yang tidak percaya dengan yang aku lakukan. Tapi semua telah terjadi. Aku memutuskan untuk segera menikah ada alasan tertentu. Mungkin kamu juga akan mengatakan tidak masuk akal.

Benar, kata orang cinta telah membutakan seseorang. Dengan berbagai pertimbangan, tentu saja pendapat dari orang tuaku, aku memutuskan segera mengakhiri kesendirianku.

Aku berharap, dengan menikah dan berumah tangga, hatiku benar-benar tenang dan perjalananku kutempuh tidak sendirian.

Berat rasanya untuk mengatakan padamu, orang yang telah aku anggap sebagai sahabat sejak tiga tahun yang lalu. Fit, nantinya aku bukanlah perempuan yang pertama bagi calon suamiku.”

Fitri kaget! Artinya? Ah, mana mungkin Santi? Pasti Santi sedang bercanda!

“Ada perempuan lain yang sudah mendampingi calon suamiku. Tapi percayalah, aku bukan pelakor. Mereka yang datang secara baik-baik. Perempuan itu memintaku untuk menjadi pendamping suaminya.

Orang tuaku menyerahkan semuanya padaku. Dan aku semakin yakin, aku bisa bersamanya.”

Fitri membayangkan Marwan yang kecewa melihat kenyataan ini. Pasti wajahnya kusut. Kemudian secangkir kopi susu berubah menjadi secangkir kopi pahit lagi getir. Wan, tabahkan hatimu ya.

Setelah ini, tidak ada lagi empat cangkir kopi susu seduhan Marwan untuk dinikmati berempat. Tak ada lagi bincang-bincang ringan ditemani ubi rebus dan kacang rebus. Meja itu akan kosong di saat istirahat sore. Fitri menarik nafas panjang.

00000

BUKAN SECANGKIR KOPI SUSU TERAKHIR

Umar dan Hakim mengenakan jaket. Keduanya hendak ke bengkel. Fitri membuka plastik berisi kacang rebus.

“Kopi susu tanpa gula,”kata Fitri sebelum Marwan menyiapkan kopi susu panas.
“Tumben tanpa gula. Sepertinya lagi mengurangi karbo ya.”
“Pingin saja.”

Sebentar kemudian kopi susu sudah berada di atas meja.

“Fitri, jangan lupa hari Minggu hadir pada acara pernikahan Santi.”
Sebenarnya Fitri tidak mau membahas hal satu ini, takut nanti menyinggung Marwan. Ternyata Marwan sendiri yang memulainya.
“Insya Allah aku datang pada acara istimewa sahabat karibku.”

“Fit, sebenarnya beberapa hari ini aku mau menanyakan sesuatu padamu tapi kok rasanya berat. Seperti ada beban. Setiap bertemu kamu, rasanya serba salah.”
“Kenapa? Kamu itu seperti berhadapan dengan orang yang baru kamu kenal saja. Bicaralah, aku akan mendengarkan.”
“Fit, 19 tahun kita berteman dan akrab. Demikian juga dengan Hakim dan Umar. Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kita sering melakukan banyak hal bersama-sama.

Memang, untuk masalah pribadi, kita masih membatasi untuk bercerita. Mungkin kali ini saat yang baik aku mengatakannya padamu.”

Fitri mulai menyimak dengan serius. Kali ini tanpa Hakim dan Umar, jelas suasananya jadi berbeda. Fitri berharap semoga bisa mendengarkan tanpa memotong cerita Marwan. Apapun yang dikatakan Marwan, semoga tidak ada hal yang membuat kecewa.

“Belasan tahun yang silam, istriku pernah mengatakan bahwa dia ikhlas seandainya aku mencari pendamping yang lain. Saat itu, aku tidak menanggapi omongannya.

Mungkin karena aku menganggap bahwa kata-kata istriku diucapkan ketika dia sedang sakit. Aku berkonsentrasi dalam penyembuhan sakitnya. Aku tidak pernah mempunyai pikiran untuk menikah lagi.

Beberapa bulan terakhir, aku bertemu dengan orang istimewa, yang benar-benar membuatku menyukai orang tersebut. Ketika aku bertanya pada istriku apakah keikhlasannya andai aku menikah lagi, masih berlaku untuk saat ini. Jawabnya adalah ya, masih berlaku.

Aku seperti mendapatkan lampu hijau. Tidak perlu waktu yang lama, aku bisa menyelami orang tersebut. Kamu tahu, siapa yang aku maksud.”
“Siapa?”
“Santi. Tak perlu aku jelaskan mengapa Santi keluar dari kantor. Kamu pasti tahu jalan ceritanya. Aku mau membantu Santi keluar dari masalah. Semoga niat baikku diridhai-Nya.”

“Jadi? Wan, kamu akhirnya sama….” Fitri mengambil beberapa butir kacang lalu ditimpukkan ke arah Marwan.
“Apa-apaan, kamu Fit.”
“Semoga samawa. Salam buat istrimu, mbak Riana. Benar-benar hatinya mulia.”

Keduanya tersenyum. Fitri menyeruput kopi susu buatan Marwan.
“Kopi susu ini bukan cangkir yang terakhir, kan?”goda Fitri.
“Masih ada cangkir yang lain untuk hari esok.” (TAMAT)

00000

Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian dan waktu. Itu hanya kebetulan saja.

Sumber : www.noerimakaltsum.com

Apakah tulisan ini membantu ?

Noer Ima Kaltsum

Ibu Rumah Tangga, Ibu dari 2 anak. www.noerimakaltsum.com

View all posts

Add comment