Soloensis

Ujaran Kebencian dan Budaya Literer

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana menggelar sesi khusus konferensi membahas ujaran kebencian atau hate speech yang disebarkan atau dikemukakan di media, tentu yang dimaksud adalah media massa dan media sosial.

Saya mendapat informasi bahwa konferensi khusus membahas ujaran kebencian yang diselenggarakan PBB itu akan dilaksanakan pada 2 Desember 2015. Informasi itu saya peroleh dari poster seperti foto di atas yang saya peroleh dari linimasa Facebook dan Twitter.

Ini menunjukkan ujaran kebencian telah menjadi fenomena global. Di dunia Barat, ujaran kebencian ini–bisa kita lacak di arsip-arsip berita di Internet–awalnya muncul di media massa, ya media massa yang kita kenal sebagai media massa berbadan hukum, media massa yang kita kenal sebagai pers.

Ujaran-ujaran kebencian dalam perspektif ini biasanya berlatar belakang isu agama, ekonomi, ras, dan kepentingan politik. Di dunia Barat itu tak terlalu jadi masalah. Ada ujaran kebencian yang di dunia Barat tak termasuk ujaran kebencian karena kultur kebebadan di Barat yang “liberal” dan mayoritas masyarakatnya berliterasi tinggi.

Ingat kasus Charlie Hebdo? Nah, ada beberapa materi satire bikinan majalah ini yang–bagi kita–tergolong ujaran kebencian, misalnya ketika menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW, tetapi di bangsa sana, di Barat sana, itu tergolong biasa-biasa saja.

Bisa jadi, di Barat sana masyarakatnya bisa memahami “posisi” ujaran kebencian dalam peradaban mereka. Mereka juga bisa memaknai ujaran kebencian itu secara proporsional. Persoalannya, ketika platform Internet kini menjadi tulang punggung komunikasi dan informasi, persebaran ujaran kebencian menjadi lintas budaya, lintas negara, tak ada batas apa pun yang mampu menghalanginya.

Seperti kebiasaan majalah Charlie Hebdo itu, kebiasaan bikin kartun satire. Di Barat sana, ketika platform Internet belum semasif sekarang, materinya tak cepat tersebar. Begitu era Internet, materi yang di tempat asalnya cuma satire ketika melintas jagat menjadi ujaran kebencian.

Dalam konteks kita kini (bangsa Nusantara, Indonesia) platform komunikasi bertulang punggung Internet inilah yang belakangan berperan nyata “membudayakan” ujaran kebencian. Dalam konteks kebudayaan Timur, ujaran kebencian sebenarnya sesuatu yang otomatis dihindari. Level maksimal ujaran kebencian paling hanya gosip, ngrasani, gibah.

Ketika platform komunikasi via Internet jadi tulang punggung hubungan antarmanusia, kebudayaan Nusantara yang menabukan ujaran kebencian itu menjadi tersingkirkan secara tegas dan jelas. Manusia-manusia Nusantara yang hakikatnya berperasaan halus karena punya landasan perkembangan jiwa berbasis kearifan lokal tanah tumpah darah kemudian bermetamorfosis menjadi manusia-manusia biadab.

Internet yang salah satu wujudnya adalah media sosial menciptakan “kerumunan” yang anonim–tak semua warga media sosial kenal dan tahu masing-masing pribadi, bahkan sebagian memang benar-benar anonim karena pakai akun anonim. Kerumunan “anonim” ini membikin manusia-manusia Nusantara yang berbudi halus itu menjadi liar, tanpa nalar, berujar tanpa dipikir.

Logikanya sama persis dengan si A yang pencinta sebuah klub sepak bola. Ketika sendirian dia adalah sosok yang manis, halus tutur katanya, tak suka mengganggu manusia lain. Begitu dia berkumpul bersama ratusan atau ribuan suporter lainnya, si A ini bisa berubah total menjadi manusia yang bengis, tanpa perasaan, memalak sesuka hati, memukul semau-maunya.

Ketika mesin cetak ditemukan dan kemudian mengubah dunia, Nusantara dalam kondisi dijajah Belanda. Nusantara tak sempat turut menikmati persemaian abad literasi yang didukung oleh mesin cetak yang menghasilkan berjuta-juta buku di seluruh dunia.

Meski terlambat, Nusantara kemudian juga menikmati budaya literasi. Poltik etis yang dijalankan penjajah Belanda sedikit banyak berperan membuka jendela budaya literasi. Founding fathers negeri ini adalah sosok-sosok yang berbudaya literasi tinggi. Mereka penulis dan pembaca buku yang tekun. Mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia cerdas.

Sayang, awal mula Nusantara berkenalan dengan budaya literasi ini keburu disergap budaya visual. Kita menjadi bangsa yang belum menjadi bangsa berbudaya literasi tinggi dan kemudian keburu menjadi bangsa berbudaya visual, terlampau cepat meninggalkan budaya literer, tanpa menjadi bangsa berbudaya literer lebih dulu.

Budaya visual yang mengharu biru Nusantara kemudian disusul oleh media sosial. Bekal budaya literer yang lemah membuat mayoritas warga Nusantara menjadi “konsumen” media sosial dalam level yang “belum cerdas”. Saya berkeyakinan, ketika budaya literer matang maka bangsa Nusantara ini tak akan mudah silau dengan platform-platform baru berkomunikasi dan berbagi informasi.

Budaya literer atau literasi meniscayakan–setidaknya–perenungan, penghayatan, dan imajinasi. Tiga laku ini membutuhkan laku berpikir, merasakan, ngulir budi. Dalam budaya komunitas berbudaya literer tinggi, dalam komunitas yang tingkat literasinya tinggi, laku demikian ini menjadi kredo sehari-hari.

Dalam laku demikian ini, setiap orang–yang berbudaya literasi–akan selalu berpikir, merasakan, dan berimajinasi sebelum berkata, menulis, dan bertindak. Laku demikian mencegah munculnya ujaran kebencian sebagaimana yang selama ini merebak di berbagai platform media sosial berbasis Internet.

Konferensi khusus ihwal ujaran kebencian yang akan diselenggarakan PBB itu tentu harus membahas dua hal yang menjadi aras utama persebaran ujaran kebencian, yaitu platform komunikasi era kini yang nirbatas dan realitas masih banyak bangsa–salah satunya Indonesia–yang belum berbudaya literer.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

1 comment