Soloensis

Surat Pembaca dan Epistoholik Indonesia

Dalam sebuah media baik itu majalah mingguan, dwi mingguan, bulanan serta koran sebagai sebuah harian akan didapati kolom surat pembaca (di BERNAS kolom bebas bicara). Kolom ini diberikan oleh redaktur untuk pembacanya guna menyampaikan gagasan, inspirasi, keluhan maupun ide-ide yang layak ditulis yang ditujukan kepada institusi baik swasta dan Pemerintah maupun kepada masayarakat itu sendiri.

Oleh karena itu demi memberikan pelayanan dan kesempatan kepada pembaca maka kolom surat pembaca layak di adakah oleh sebuah media. Dengan demikian segala penyaluran “uneg-uneg” dari pembaca yang perlu disampaikan kepada sesama pembaca menjadikan kajian pembelajaran positif.

Lalu bagaimana urgensi surat pembaca bagi media maupun bagi pembaca? Pasti banyak kepentingan yang layak diterima oleh media maupun pembacanya. Karena surat pembaca itu sendiri merupakan sebuah ajang komunikasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam “ide” dari surat pembaca tersebut. Sehingga isi dari surat pembaca sangatlah bermakna karena betul-betul ditulis oleh penulisnya dengan tulus dengan hati nurani yang bersih tanpa maksud mendapatkan sesuatu dari tulisannya. Isi dari surat pembaca benar-benar dialami oleh penulisnya yang mungkin tidak sempat terekam oleh wartawan sebuah media.

Seperti halnya ungkapan yang di kemukakan oleh Ahmad Sofyan mengenai kelompok epistoholik Indonesia yang gemar mengisi rubrik surat pembaca. Seperti ditulisnya bahwa membaca surat pembaca mereka (warga epistoholik), kita mengorbankan waktu bukan untuk sebuah kesia-siaan. (kompas Jateng 25/10/04).

Kalau mau tahu jantung kota New York baik dari kehidupan rakyatnya, aroma jalanan dan ributnya pasar di tengah sibuknya manusia yang kian kemari bacalah surat pembacanya. Maka masyarakat Amerika sudah terbiasa bila membaca surat kabar dan majalah kolom yang paling pertama di buka adalah kolom surat pembaca. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Akankah surat pembaca jadi tujuan pertama untuk membaca surat kabar atau majalah? Ataukah kita terbiasa dan interes terhadap berita-berita yang berbau gosip belaka. Marilah kita bersama-sama “belajar” menjadi manusia yang kritis, karena dengan demikian nasib bangsa tidak semakin terpuruk seperti sekarang ini.

Epistoholik

Surat Pembaca dan Epistoholik adalah sebuah mata rantai yang saling membutuhkan. Apa yang dimaksud Epistoholik? Karena sering kita jumpai dalam kolom surat pembaca tertulis pengirimnya dengan memberi embel-embel “epistoholik”.

Epistoholik Indonesia (EI) adalah sebuah wahana komunitas antar penulis surat-surat pembaca se Indonesia. Sebuah hoby yang “langka” ketika manusia-manusia yang tergabung dalam EI menuliskan segala ide, gagasan “kecil” dan dikirimkan ke media. Dari gagasan itu sering muncul tanggapan baik positif maupun negatif. Namun tanggapan-tanggapan yang muncul semakin menjdi pemicu untuk terus maju melangkah tanpa mengenal lelah.

EI sendiri muncul atas sebuah dorongan hati bersih Bambang Haryanto karena “kegatalannya” terhadap negeri ini yang carut marut, sehingga ditulislah sebuah gagasan dan dikirimkan kepada media. Namun yang menjadikan pemicu untuk menggagas terbentuknya komunitas EI karena termotivasi oleh majalah TIME edisi 6 April 1992. Dari majalah TIME istilah epistoholik muncul yang merupakan paduan antara kata “epistle” yang berarti surat dan “oholic” yang berarti kecanduan. Anthony Parakal (72 tahun) seorang warga Evershine Nagar mumbay, india karena prestasi hebatnya dengan menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar dunia sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris. Parakal sendiri menulis surat pembaca sejak tahun 1955. Karena dorongan inilah yang membuat sosok Bambang Haryanto mencetuskan membentuk komunitas EI.

Usia bukanlah penghambat untuk selalu menuliskan sesuatu yang “mengganjal”, seperti halnya yang dilakukan oleh Hadiwardoyo dari Yogyakarta yang berusia 80 tahun serta Soeroyo seorang pensiunan tahun 1981 yang aktif menulis di surat pembaca dengan semboyan TOPP (Tua, Optimis, Prima dan Produktif) yang merupakan warga EI.

“Setelah pensiun, post power syndrome saya jauhi, saya harus berani menghadapi kenyataan. Saya beristirahan total setiap hari dari bangun tidur sampai tidur kkembali yang sungguh menjemukan. Guna menghilangkan sebel, saya isi waktu dengan banyak mendengarkan siaran radio, melihat tayangan TV serta banyak membaca. Apabila ada hal-hal yang tidak selaras dengan pola pikir saya maka saya coba tulis dan kirimkan ke surat kabar. Saya merasa senang bila tulisan saya di muat pastilah dibaca banyak orang. Inilah salah satu hiburan saya selaku manula/wredatama/pensiun” begitu alasan Soeroyo. Dengan demikian ibaratnya “tajam pisau karena diasah”, semakin potensi dikembangkan meski sudah tua maka akan muncul banyak ide yang muncul ke permukaan dan dapat menjadi bahan kajian bagi mereka yang sedang berkuasa. Potensi tetap sebagai potensi tidak pernah nyata (in actu) bila tanpa dicoba disalurkan.

Banyak tokoh tokoh yang masih menulis dan sukses meskipun sudah tua.Dapat di simak Mark Baker Edy (87 tahun) malah mendirikan surat kabar christian Science Monitor, George Berhnard Shaw (9 tahun) menulis Fartfetched Fables, Paramodya Ananta Toer juga tetap aktif menulis meskipun sudah tua. James Pennebaker profesor psikologi dari universitas Siutern Methodist University dalam penelitianya menyatakan bahwa menuliskan perasaaan-perasaan akan semakin membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan kekebalan tubuh. Karena dengan menulis emosi dan perasaan-persaan mendapatkan penyalurannya.

Dengan demikian aktif menulis tidak memandang usia begitu juga untuk menulis di suat pembaca. Oleh karena itu pembentukan wadah EI memang hal yang positif. Dimana visi dan misi EI mengharapkan melalui wahana EI antar penulis surat pembaca dapat saling mengenal kemudian dalam semangat asah asih asuh saling menyemangati sesamanya untuk menghasilkan karya surat pembaca yang kritis dan bermanfaat bagi masayarakat. Karena aktivitas melahirkan gagasan berbentuk tulisan sebagai salah satu media pembelajaran seumur hidup bagi setiap insan. Oleh karena itu wajarlah bila komunitas EI sebagai “hoby” yang langka semakin terbentuk jati dirinya, semakin menjadikan “kegerahan” penguasa bila melihat tulisan-tulisannya di berbagai media massa.

Hal ini disebabkan warga EI dalam menularkan gagasan tidak hanya sebuah keluhan semata karena merasa dirugikan oleh “produsen”. Justru tulisan-tulisan warga EI banyak menambah wacana kepada semua orang untuk semakin memperbaiki kinerja, meluruskan segala kebijakan yang keliru karena berbentuk kritik-kritik sosial yang bersifat membangun. Karena tanpa adanya “mereka” yang berani melontarkan gagasan dengan banyak dipendam akhirnya tidak terjadi check and balances.

Para warga EI dalam kesehariannya tidak lepas dari alat tulis dan blocknote mini. Setiap kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat akan segera direkam melalui tulisan karena sering terjadi obrolan para tukang becak, gelandangan, seniman, guru, perawat, Pegawai negeri, wirasawasta, pedagang, pelajar, anak-anak kecil mengenai segala permasalahan hanya sebatas debat kusir tanpa adanya solusi. Sebuah tulisan akhirnya lahir karena berbagai obrolan yang muncul tiba-tiba tanpa adanya penyaluran resmi kepada pejabat yang berwenang, itulah peran warga EI ketika mendengarkan segala persoalan masyarakat kemudian disalurkan lewat tulisan di media.

Maka tidak mengherankan “hoby” langka menulis di surat pembaca memetik hasil dengan pemberian penghargaan kepada Bambang Haryanto sebagai pencetus Epistoholik Indonesia oleh MURI (musium Rekor Indonesia) pada hari Kamis tanggal 27 Januari 2005 bertepatan dengan ulang tahun MURI ke 15. Dan piagamnya diserahkan pada tanggal 22 Maret 2005.

Semoga EI akan semakin eksis di bumi pertiwi dan tentunya sebagai warga EI penulis berharap kepada EI. Pertama: semakin mengedepankan kepentingan masayarakat banyak dalam setiap penulisan gagasan, kedua: Jangan pernah berhenti untuk menulis, karena lewat tulisan itulah segala bentuk penyimpangan/penyelewengan/ ketidak benaran akan kita luruskan, ketiga: Jangan pernah meninggalkan cita-cita mulia demi kebaikan semua pihak, Keempat: Janganlah pernah berhenti memberikan pembelajaran demi pencerahan kepada mayarakat maupun penguasa dengan apa yang kita lakukan. Kelima: Menulislah dengan hati nurani yang tulus tanpa adanya pihak-pihak tertentu sebagai “sponsor”. Keenam, Semoga kiprah EI akan pula memberi inspirasi munculnya penulis lain untuk berani menulis di media mengenai permasalahan aktual yang ditemuinya.

Selamat atas dideklarasikannya hari Epistoholik Indonesia dan penghargaan dari MURI. “Anda menjadi apa yang Anda pelajari karena pikiran anda begitu kuat sehingga Anda menjadi apa yang anda letakkan dalam kepala Anda”, demikian kata Robert T. Kiyosaki. (Lingua Epistoholica). Semoga semakin eksis dan diterima keberadaanya bagi masyarakat Indonesia dengan gagasan-gagasan yang mulia demi kemshalahatan bangsa. Bagaimanapun surat pembaca dan Epistoholik Indonesia adalah sebuah mata rantai yang tiada terputus yang saling membutuhkan dan melengkapi. Episto ergo sum

FX triyas hadi prihantoro

Pegajar SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Warga epistoholik Indonesia.

* pernah dimuat di Harian Bernas Jogja

Apakah tulisan ini membantu ?

2 comments