Soloensis

Mencari Nalar Sehat Pers Indonesia Di Tengah Kegilaan Nalar Pers Indonesia Pasca Reuni Akbar 212

Tanda-tanda kegilaan pers Indonesia telah mucul ke permukaan publik pasca Reuni Akbar 212. Bagaimana tidak di sebut gila jika peristiwa besar seperti Reuni Akbar 212 saja tidak di tampilkan di halaman muka media cetak tingkat nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Harian Sindo yang notabene mereka adalah media cetak yang terbit di Jakarta.

Mengutip statemen Peter Kansius Ojong, seorang pendiri Harian Umum Kompas yang berbunyi:

“Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa”

Dari statemen itu lah seharusnya pers menjadi fungsi kontrol bagi penguasa, bukannya malah berselingkuh sembari bercumbu mesra dengan penguasa hanya untuk kepentingan politik dan bisnis semata.

Rasanya terlalu bodoh jika media-media cetak yang sudah saya sebutkan di atas tadi mengabaikan atau bahkan tidak mengetahui bahwa pada tanggal 2 Desember aka nada agenda tahunan Reuni 212. Padahal jika media-media cetak yang saya sebutkan tadi bersedia meliput peristiwa besar nan bersejarah  itu, maka bukan tidak mungkin media tersebut ratingnya akan meningkat di tengah kondisi penurunan minat baca media cetak di Indonesia.

Melihat halaman muka media cetak yang saya sebutkan tadi yang rata-rata mereka tidak menampilkan Reuni Akbar 212 di halaman muka, tampak nya ada kekuatan besar yang mengarahkan mereka dari belakang yang sengaja menjadikan Reuni Akbar 212 menjadi berita tidak penting, basi, tidak relevan, tidak bermutu dan hilang dari layar televisi maupun koran.

Sungguh, dari sini terciumlah aroma kooptasi dari penguasa yang menginginkan agenda super damai, super akbar, damai, santun, sangat beradab itu hilang dari publik dan serasa ingin menyembunyikan nama baik dan prestasi anak bangsa yaitu umat islam yang akhir-akhir ini di tuduh radikal, anti NKRI, intoleran, anti pancasila, dan berbagai stigma negatif lainnya.

Kegilaan pers semakin jelas ketika pengamat politik Rocky Gerung turut mengkritisi pers nasional yang tidak menaruh perhatian pada kegiatan Reuni Akbar 212 hari minggu (02/12/2018) lalu. Saya mengutip komentar beliau dari KIBLAT.NET yang berbunyi :

“Jadi kalau pers nasional tidak memberitakan itu, artinya pers memalsukan sejarah, karena orang gak pernah tau ada satu peristiwa, mau dikasih nama apa aja itu, dengan kumpulan orang sebanyak itu, dengan ketertiban, dengan kepemimpinan intelektual, tapi tidak dimuat oleh pers”, kata Rocky Gerung dalam forum Indonesia Lawyers Club pada Selasa malam (04/12/2018).

Apa yang sekiranya mengganggu dan membahayakan kelanggengan kekuasaan maka  tidak akan diliput dan disembunyikan dari publik, sedangkan apa yang sekiranya bisa membantu kelanggengan kekuasaan untuk kepala negara saat ini akan tetap diberitakan walaupun remeh temeh,tidak penting dan tidak mengandung nilai berita sama sekali, kebenaran dan keadilan ditutup dan disembunyikan. Rocky juga menyebut pers saat ini tak ubahnya seperti humas pemerintah.

Jadi, sangatlah jelas keikutsertaan pemerintah  mengarahkan media nasional dalam menentukan arah kebijakan politik redaksinya. Media telah dikooptasi oleh penguasa hanya demi kelanggengan kekuasan, ideologi, politik dan bisnisnya.

Pers nasional sudah tidak lagi menjadi fungi kontrol penguasa, sudah bukan menjadi pengkritik penguasa, dan bahkan menjadi penjilat penguasa.  Pemilik media tak henti-henti nya terus bermesraan dengan penguasa ,tak menjaga jarak dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi berharap imbalan dari penguasa. Jika sudah seperti ini, dimana letak nalar sehatnya???

 

    Apakah tulisan ini membantu ?

    YOGA PERWIRA

    MAHASISWA IAIN SURAKARTA

    View all posts

    Add comment