Soloensis

Asing dan Keterasingan…

Seorang teman menuliskan statusnya di akun Facebook, ”Ya biarin data pribadi saya dicuri. Lha wong saya tidak punya data apa-apa.” Status kawan saya itu untuk menanggapi skandal pencurian data oleh konsultan politik Cambridge Analytica untuk kepentingan pemenangan pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 silam.

Kawan saya itu tidak khawatir data pribadinya dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Ia cuek saja. Secara global pengguna media sosial (medsos) tidak begitu mempedulikan tentang keamanan data privasinya. Pemilik akun jejaring sosial terus meningkat di tengah ketidakberesan pemanfaatan data pengguna baik oleh pemilik aplikasi maupun pihak lain.
Konsultan Simon Kemp di situs www.wearesocial.com menunjukkan dalam tiga bulan pertama pada 2018 pengguna medsos dunia meningkat lebih dari 100 juta. Total hampir mencapai 3,3 miliar pada akhir Maret lalu. Sebanyak 2,234 miliar di antaranya pengguna Facebook.Bagaimana di Indonesia?

Menurut situs tersebut, pengguna akun facebook di Indonesia mencapai 140 juta, menempati posisi tiga besar setelah India dan Amerika Serikat. Pengguna Instagram 56 juta (nomor empat dunia). Sedangkan pengguna Twitter 6,6 juta atau peringkat 11 dunia. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017, penetrasi internet di Indonesia mencapai 143 juta, atau 54,68% dari 262 juta penduduk Indonesia. Artinya lebih dari separuh penduduk sudah melek internet. Yang elok dari dua data di www.wearesocial.com dan APJII itu, hampir semua pengakses internet di Indonesia mempunyai akun Facebook.

Saya tidak tahu, sedih, gembira atau gabungan antara sedih dan gembira melihat data pengguna internet tersebut. Di satu sisi bertambahnya pengguna internet menunjukkan tingkat kemelekan teknologi internet kian meningkat. Salah satu penanda kemajuan bangsa. Pada lain sisi pemanfaatan internet yang sebagian besar untuk berselancar di medsos menjadi kabar yang tak menarik.

Di balik banyaknya pengguna medsos (khususnya Facebook) di Indonesia, ada hal yang patut direnungkan terkait relasi pengguna medsos dengan sang pemilik aplikasi. Sesungguhnya pengguna medsos tak berdaulat atas informasi dan aktivitasnya sendiri. Ada nuansa keterasingan (alienasi). Alienasi berasal dari bahasa Latin “alienatio”, derivasi dari kata kerja “alienare”. Artinya “menjadikan sesuatu menjadi milik orang lain (Schacht, 2005 : 12). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna “alienasi” adalah “pemindahan hak milik dan pangkat kepada orang lain”.

Di ranah ilmu sosial, keterasingan memang punya makna yang sangat luas. Secara sederhana keterasingan merupakan situasi di mana manusia tak punya kuasa atas apa yang ia ciptakan sendiri. Manusia berkreasi atas sesuatu, tapi hasil kreativitas itu dikuasai orang lain. Sebuah pengalaman di mana orang merasa dirinya seperti alien (makhluk asing), jelas ahli psikologi sosial, Erich Fromm.

Kecenderungan

Ilmuwan Sosial Karl Marx pernah menganalisis fenomena alienasi pada buruh yang bekerja kepada pemilik modal. Pekerja kehilangan otonomi atas dirinya karena mereka menciptakan barang tapi tidak berdaulat atas barang itu. Buruh harus menyerahkan barang kepada sang majikan.
Pengguna jejaring sosial memang bukan pekerja. Tapi relasi pengguna dengan pemilik aplikasi sebangun dengan relasi pekerja-majikan. Setiap orang bisa membuka akun media sosial secara gratis, tapi dengan menyerahkan data pribadi seperti nama, jenis kelamin, tempat tinggal, tanggal kelahiran, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, hobi, serta aktivitas lainnya. Setiap saat aplikasi selalu memancing pengguna untuk terus memproduksi konten, baik berupa tulisan, video, gambar. Penyedia aplikasi juga menyediakan tanda “like” di setiap data yang Anda unggah. Sang kreator aplikasi tentu punya maksud dan kepentingan atas data-data pribadi pengguna.

Kumpulan data aktivitas pengguna dapat diolah dengan teknologi big data sehingga menghasilkan informasi yang sangat berharga. Dari aktivitas dan informasi pengguna di medsos akan tergambar data demografis maupun psikografis (perilaku, minat, hobi). Profil-profil pengguna bisa dibaca dengan jelas berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Jadilah data segmentasi yang bernilai emas sebagai basis pengambilan keputusan yang sangat penting.

Data itu bisa dimanfaatkan berbagai peruntukan seperti kepentingan bisnis dan politik oleh pemilik aplikasi. Perusahaan medsos menggunakan data pribadi sebagai model bisnis untuk mengeruk keuntungan. Pengguna seperti tak sadar telah dieksploitasi untuk kepentingan kapitalisme. Pengguna jadi terasing terhadap kumpulan data miliknya yang jumlahnya miliaran itu. Siapa penguasa data itu? Ya perusahaan pemilik aplikasi yang berpusat di Amerika Serikat (AS) sana. Orang asing.

Dalam konteks ini, pengguna medsos mengalami dua keterasingan sekaligus. Keterasingan secara pribadi seperti paparan di atas. Kemudian keterasingan sebagai warga negara. Negara kita tak berdaulat pada ranah digital. Tata kelola internet dunia selama ini dikuasai AS. Negara kita cukup puas sebagai penikmat teknologi itu. Siapa peduli situasi ini? Politisi?
Bobot politik isu kedaulatan digital sangat tidak seksi. Bandingkan isu-isu “asing” lainnya. Utang luar negeri Indonesia. Tenaga kerja Tiongkok yang masuk secara massal. Penguasaan pemodal asing atas aset-aset penting di dalam negeri. Impor dosen asing untuk memicu kemajuan ilmu dan teknologi di Indonesia. Kesemuanya punya nilai politik yang tinggi, sebagai bahan mengkritik pemerintah.

Sementara politisi kita sangat berkepentingan terhadap platform asing itu. Selain sebagai media untuk berebut pengaruh publik memasuki pemilu 2019, politisi juga bisa mengintip arus percakapan di media sosial untuk kepentingan kampanye. Bila politisi dan para buzzer nyaman terhadap platform asing, maka isu kedaulatan digital jadi tak menarik. Andai mereka protes “anti asing” ranah digital, maka akan mengenai muka sendiri. Mosok mau protes platform asing dengan media facebook, twitter, instagram? Lucu kan? Jadi ya lebih baik diam…

Sepertinya pengguna medsos akan tetap happy-happy saja. Narsis, nyinyir, menyebar kabar hoaks tetap jalan. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Mereka terasing tapi tak merasa dirinya terasing. Ya itulah keterasingan dalam arti sebenarnya…..

    Apakah tulisan ini membantu ?

    sholahuddin

    Laki-laki pencari Tuhan.....

    View all posts

    Add comment