Soloensis

Dari Bersahaja Menjadi Canda

Agama itu sesungguhnya bersahaja. Saya muslim, maka saya akan menggunakan term-term keislaman untuk menjelaskannya. Saya meyakini Islam itu agama yang moderat, bersahaja, berada di tengah-tengah, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri.

Pokoke penak lan kepenaklah berislam itu. Urusan kehidupan diberi panduan sangat lengkap. Islam memberi kelonggaran manusia mengurus hal-hal duniawi, yang penting tidak melanggar kaidah-kaidah keislaman, tidak merugikan diri sendiri (diri sendiri saja dipentingkan lho), dan tentu saja tidak mengganggu manusia lain (termasuk manusia lain yang bukan muslim).

Urusan pascadunia, yang abstrak karena belum pernah ada warga dunia yan memberi konfirmasi faktualitasnya (syaratnya kan mati dulu lalu hidup lagi!), juga diatur sedemikian terperinci. Urusan pascadunia ini masuk dalam dimensi keimanan: kalau percaya dan yakin kamu selamat, kalau tak percaya dan mengingkari berarti imanmu perlu diservis.

Urusan pakaian itu termasuk urusan dunia. Saya memahami berpakaian ala Islam itu ya cukup dengan menutup aurat. Itu saja. Pelajaran mendayu-dayu tentang pakaian atau busana islami sebenarnya bukan urusan yang penting-penting amat. Yang penting itu ya menutup aurat. Nah, setiap muslim wajib tahu apa saja auratnya itu. Gak tahu auratnya sendiri pigimane mau menutupi auratnya itu?

Urusan-urusan agama yang bersahaja itu–terkhusus dalam urusan menutup aurat–kemudian menjadi pelik, rumit, kompleks, mahal, setelah agama dikapitalisasi. Kapitalisme menjadi cara beragama. Urusan menutup aurat kemudian bersyarat merek ini baik, merek itu terbaik, merek ini paling islami, merek itu munafik, merek yang di sana itu islam abangan…. dan sebagainya.

Urusan agama adalah urusan dosa dan pahala. Setiap muslim yang menutup aurat itu mendapat pahala, yang mengumbar aurat berdosa. Ini ajaran yang sangat mulia karena dimensi hakikinya sebenarnya untuk menjaga diri sendiri. Dalam agama yang bersahaja itu, menjaga diri sendiri langsung berimbas pada menjaga orang lain. Artinya kemaslahatan bersama terwujud.

Tentu saja pemaknaan ini harus disesuaikan dengan konteks kebudayaan, ruang di mana manusia beragama itu berada, dan faktor-faktor kemanusiaan lainnya. Sehingga Anda tak perlu mempersoalkan: bagaimana dengan suku-suku pedalaman yang pakaian warganya tak menutup aurat? Ya, dicek saja, mereka berislam atau belum? Kalau belum ya gak usah dipermasalahkan. Kalau sudah ya dicek kebudayaan mereka.

Persoalan yang bersahaja, persoalan yang sederhana, itu kemudian menjadi rumit, kompleks, mahal, ketika berkolaborasi dengan semangat menangguk untung sebanyak-banyaknya dan engan rugi serupiah pun. Gimana tidak kompleks dan rumit kalau urusan menutup aurat baru sah dan diyakini berpahala ketika harus menggunakan merek ini yang mendapat label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

Siapa pun yang telah berpakaian sesuai tuntunan agama, menutup aurat rapat-rapat, menjaga diri sendiri secara maksimal yang berimbas menjaga orang lain dan mewujudkan kemaslahatan bersama (tentu dengan memerhatikan estetika dan kebudayaan sehingga menutup aurat itu tak cuma kalungan dan kerudungan gombal amoh atau gombal mukiya) harus mengerutkan kening, cemas, deg-degan, ketika membaca kalimat-kalimat beraksara kapital berukuran besar yang menyatakan pakaian penutup auratnya itu tidak halal karena bukan bermerek ini.

Ingat, dalam agama yang bersahaja itu urusan halal dan haram–yang juga bersahaja–adalah urusan dosa dan pahala. Dosa itu ancamannya masuk neraka, pahala itu hadiahnya masuk surga. Blaik kan ketika senyatanya sudah berpakaian sesuai syariat–menutup aurat dengan rapat–ternyata penutup auratnya itu tak berlabel halal. Bisa jadi perilaku berbusana yang mencerminkan keimanan itu tak akan mendapatkan hadiah surga karena busananya tidak halal.

Realitas demikian ini kemudian menjadikan beragama yang sejatinya mudah–karena agama itu bersahaja–menjadi “wani pira?” Siapa yang punya rupiah banyak dia menjadi paling beragama.

Saya memaknai pemaknaan teks-teks saya di atas sebagai lelucon. Lelucon ini dihalalkan MUI. Bukankah MUI yang memberikan label halal pada satu merek busana itu? Saya ingat, Karl Marx dalam tesis-tesisnya pernah menyebut “agama itu candu”. Eh, sekarang MUI lebih maju karena–secara tidak langsung–menyebut “agama itu canda”.

Saya kira ini bagus untuk keindonesiaan kita karena belakangan “arus suara besar” keagamaan di Nusantara adalah “agama itu berat, sulit, menakutkan”. Dengan menjadikan “agama itu canda” tentu beragama akan menjadi kian mudah dan menyenangkan. Persoalan faktualnya ternyata kok tidak begitu ya… lha mau menutup aurat secara “terjamin halal” saja harus mahal banget….. padahal kan jelas MUI menjadikan “agama itu canda”. Bercanda kok pakai biaya, mahal pula….

Apa sebutannya kalau bukan “candaan” ketika akan menutup aurat saja kini harus berpikir keras gombal saya ini halal atau tidak?

Ichwan Prasetyo
Buruh di sebuah pabrik koran di Solo
Naskah ini lebih dulu diunggah di blog ananatesa.wordpress.com

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment