Soloensis

Artis

Siapakah yang layak disebut artis? Mereka yang punya talenta seni? Seorang pemain film, penyanyi? Atau mereka yang rajin muncul di televisi?
Merujuk pada Oxford Dictionary, setidaknya ada tiga definisi tentang artis.
1) A person who creates paintings or drawings as a profession or hobby. (Seseorang yang membikin/menciptakan lukisan dan gambar sebagai profesi atau hobi).
2) A person who practises or performs any of the creative arts, such as a sculptor, film-maker, actor, or dancer. (mereka yang bergerak di bidang seni, seperti pematung, pembuat film, aktor, atau penari)
3) A person skilled at a particular task or occupation. (mereka yang punya keterampilan di bidang tertentu).
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artis adalah ahli seni; seniman, seniwati (spt penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama).
Nah, dari definisi tersebut, sejatinya jelas siapa orang yang layak kita sebut sebagai artis atau bukan. Namun di Indonesia, definisi tentang artis barangkali perlu ditambahi. Yakni seseorang yang rajin nongol di layar televisi atau jadi bahan pemberitaan televisi, tak peduli punya karya seni atau tidak.
Tak percaya? Mari tengok sejenak layar kaca di rumah Anda. Bagi Anda yang tidak suka dengan program infotainment, tolong luangkan waktu barang 15 menit saja untuk menontonnya. Atau tonton program-program hiburan lokal yang banyak bermunculan di layar kaca, sejak pagi kita membuka mata hingga malam saat beranjak ke peraduan.
Rasanya siapapun bisa jadi artis di negeri ini. infotainment bertebaran dan tak jarang membikin liputan tentang seseorang—yang disebut sebagai artis–secara berulang-ulang tanpa bosan. Padahal sosok tersebut, justru jarang (jika tidak bisa dibilang tidak pernah) kita lihat karyanya, entah dia sebagai penyanyi, pemain film, sutradara, atau apa. Bukan prestasi yang ditonjolkan dalam tayangan itu melainkan masalah pribadi yang barangkali kita semua juga tidak butuh tahu.
Soal kontroversi kehidupan rumah tangga, soal perceraian, perselingkuhan, nikah siri, lebih sering diumbar ke permukaan ketimbang prestasi yang apik yang didapat oleh mereka yang memang layak disebut sebagai artis.
Begitu mudah orang disebut sebagai artis hanya karena rajin diberitakan dan diwawancarai di televisi, padahal latar belakang keartisan dan karya nyatanya sebagai artis justru tidak tampak sama sekali. Pernah dalam sepekan saya mengamati program tayangan infotainment, yang isinya melulu soal kisruh rumah tangga orang-orang yang justru tidak berprofesi sebagai artis. Aneh rasanya. Lebih aneh lagi sosok-sosok ini justru laris jadi bahan berita. Sulit masuk di nalar saya. Itu hanya salah satu contoh.
Atau ada pula sosok pasangan (pacar/suami/istri) seorang artis yang dikejar untuk ditanyai soal kasus perceraian, keretakan bahtera rumah tangga dan sebagainya. Pasangan artis tidak lantas membuat dia juga menjadi artis, kendati ada pula pasangan artis yang memang berprofesi sebagai artis. Itu lain cerita.
Kita seolah terjebak lebih suka mengejar berita-berita yang sosoknya sendiri menurut saya tidak layak dijadikan bahan berita. Hanya mengumbar kekayaan dan harta, mengumbar gaya hidup mewah padahal sinetron, film, atau albumnya tidak pernah ada, dan hal-hal sejenisnya.
Berita tentang selebriti sejatinya menarik untuk dikonsumsi. Apalagi jika bicara soal prestasi. Saya lebih berharap bisa melihat tayangan yang memberitakan keberhasilan sutradara muda perempuan asal Blitar, Indonesia, Livi Zheng, yang menembus Hollywood dan filmnya yang berjudul Brush with Danger masuk nominasi Oscar 2015.
Saya juga lebih tertarik membaca atau menyaksikan tayangan mengenang kerja keras almarhum Didi Petet sehingga Paviliun Indonesia di Milan Expo menjadi salah satu yang paling laris didatangi pengunjung seluruh dunia. Tak kurang dari 4 juta pengunjung mendatangi paviliun ini, yang justru di awal pembentukannya menuai kritik dari masyarakat Indonesia sendiri.
Atau prestasi musisi-musisi indie yang bisa terus eksis dengan genre dan keyakinan yang mereka usung, atau soal apapun, yang intinya berita positif yang bisa mendorong masyarakat untuk mencontoh semangat atau jejak mereka. Bisa juga membahas soal novelis Eka Kurniawan atau Laksmi Pamuntjak, yang karya-karyanya diakui dunia. Bisa pula bicara soal artis yang jago desain baju, dan sebagainya.
Banyak prestasi yang sudah dihasilkan artis-artis Indonesia. Negeri ini punya banyak potensi dan sumber daya manusia yang mumpuni. Mengangkat prestasi mereka, membicarakan kesuksesan mereka menembus belantara film, musik, atau apapun di dunia, layak diberi porsi lebih untuk disiarkan secara luas kepada masyarakat. Hal ini bisa memacu dan menumbuhkan kreativitas masyarakat untuk mengikuti jejak mereka.
Teramat sayang jika kita hanya disuguhi tontonan-tontonan—yang semestinya hanya jadi urusan domestik rumah tangga—ke ruang publik. Selain tidak mendidik, pertanyaan berikutnya adalah apakah pentingnya saya mengerti kisruh rumah tangga orang?
Saya jadi teringat acara diskusi di TVRI yang saya tonton menjelang pukul 24.00 WIB, Selasa. Acara yang dipandu oleh Ferry Maryadi dan Ruth Permatasari alias TJ ini menghadirkan comedian Didin Bagito dan anggota DPR Ruhut Sitompul. Diskusi membahas soal siapa pun yang kini bisa menjadi artis, meski itu karbitan.
Dalam diskusi itu, Didin dan Ruhut sama-sama sepakat, tidak ada yang instan di dunia ini. Kesuksesan yang didapat secara instan, akan lekas pula hilang. Begitu pun sebaliknya. Didin berkisah, sebelum Bagito tenar, mereka 12 tahun merangkak dari satu festival lawak ke festival lawak lainnya. Perjuangan 12 tahun itu akhirnya berbuah dan mereka pun masuk jadi komedian yang kini dikenal luas di masyarakat. Didin juga menyindir begitu mudahnya orang menjadi artis saat ini. Kalau sudah seperti ini, yang salah siapa?

(sumber foto: imdb.com)

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment