Soloensis

Batar, Solopos dan Kebahagiaanku

Kebahagiaan terbesar seorang guru adalah melahirkan generasi cerdas dan saleh. Itu kata ibuku. Dulu, dulu sekali, sebelum aku punya cita-cita menjadi guru, ibuku sering mengucapkan itu.

Hari ini aku telah mengalaminya. Aku sudah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Ibuku benar, rupanya kebahagiaan seorang guru berkaitan dengan tumbuhkembang siswanya.

Saat ini aku telah memahami kebahagiaan itu. Aku merasakan kebahagiaan itu ada di dekatku. Kebahagiaan itu berhak aku miliki, lantaran aku memiliki anak didik yang telah membuatku berbahagia.

Ia bernama Batar. Ia sedang duduk di bangku kelas 6. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Badannya agak kurus. Ia sangat santun, dan dikenal sebagai anak yang tidak banyak bicara.

Bagiku, Batar telah menjadi anak yang bisa dibanggakan dan diandalkan. Di sekolah, Batar sering mendapat penghargaan besar.

Di sekolahku, apresiasi paling moncer adalah siswa beradab, termasuk beradab di dalam masjid. Dan, Batar adalah siswa yang pertama kali meraih penghargaan itu serta mampu mendapat gelar insan adabi dari tim penilai.

Batar juga telah dinobatkan sekolah sebagai siswa yang rakus membaca. Setiap kali jam istirahat, ia jarang sekali jajan.

Pada jam istirahat sekolah, saya dengan mudah menemukannya. Ia sering kali mengasingkan dirinya di dalam perpustakaan sekolah. Di perpustakaan, ia tak lupa mengambil Solopos dan membacanya dengan “lahap”.

Sebetulnya sekolah menganjurkan supaya Solopos hanya dibaca oleh para guru dan karyawan. Kecuali para guru sudah “menyaringnya”, sehingga semua teks dan gambar bisa dikonsumsi oleh peserta didik.

Akan tetapi, Batar seolah tidak mau menunggu itu. Ia tak membiarkan para guru menyeleksinya terlebih dahulu. Sebelum tiap rubrikasi Solopos diseleksi, Batar selalu membacanya terlebih dahulu.

Di bagian itulah aku merasa ada yang unik. Ia sudah seperti anak SMP atau SMA yang sedang mengalami masa remaja. Aku terkejut setelah melihatnya mendaras rubrik Gagasan di halaman 4.

Kali terakhir aku melihatnya, Batar sedang khusyuk mendaras gagasan mengenai terorisme di Paris. Waktu itu aku penasaran dan ingin mendekatinya seraya berkata, “apa kamu paham, nak?”.

Aku urungkan niatku. Aku biarkan saja dengan dugaan bahwa yang dilakukan hanya main-main saja. Tetapi, setiap harinya begitu. Ia jarang melewatkan untuk membaca gagasan orang.

Setelah hari demi hari memandanginya (dari posisi tempat duduk yang berdekatan darinya), sekarang aku percaya bahwa Batar suka membaca Solopos. Bahkan, aku nyaris hafal urutan halaman pada Solopos yang dibacanya.

Kini, aku berpikir sangat dalam. Apa pengaruh simetris antara aktivitas literasinya dengan budi pekerti yang ia tunjukkan di sekolah?

Aku tak mampu menemukan korelasinya secara detail. Yang aku tahu adalah, kini aku telah merasakan haru kebahagiaan. Aku mencoba untuk terus menyembunyikan kebahagiaanku ini darinya.

Aku senang memiliki siswa yang gemar membaca dan rajin/beradab di masjid. Nilai akademiknya juga baik. Ingin rasanya, secara pribadi, aku berkesempatan memberinya hadiah. Namun, aku takut membuatnya lemah.

Aku menulis secuil pengalaman ini salah satunya untuknya. Suatu saat nanti -saat ia sudah besar-, di mana ketika ia telah bersentuhan dengan internet, aku berharap ia akan membaca tulisanku ini.

Alasan di atas yang membuatku terdorong untuk memberi judul tulisan ini dengan kata awal Batar. Hal ini akan memudahkannya menemukan tulisan ini secara tidak disengaja.

Untuk jangka pendek, yang barangkali mampu aku lakukan serta berharap ia berbahagia ialah, hingga detik ini aku terus berusaha agar tulisan/naskah gagasan saya tembus dimuat di Solopos.

Aku hanya ingin melihatnya tersenyum bahagia setelah ia akan tersadar, bahwa nama dan foto tampan yang dimuat di rubrik gagasan Solopos adalah gurunya sendiri. Batar sudah bisa membuatku bahagia, dan aku juga sedang dalam usaha membahagiakannya!

Oleh Danang Muchtar Syafi’i
Guru MIM Inovatif Gonilan

Apakah tulisan ini membantu ?

Muchtaronichi

Pengisah Buku di MIM Inovatif Gonilan

View all posts

Add comment